Penyair vs Prosais: Sebuah Komparasi Asmara dan Jodoh

Penyair vs Prosais: Sebuah Komparasi Asmara dan Jodoh

Penyair vs Prosais: Sebuah Komparasi Asmara dan Jodoh

UJI COBA

1) Tiga penulis sedang nongkrong di sebuah kafe sambil membaca dan menjual bukunya. Satu membaca dan menjual cerpen, satu lagi membaca puisi dan menjual buku puisi, satunya lagi bengong menekuri kitab esai yang dia tulis lebih dari tujuh tahun.

2)  Sepuluh wanita jomblo diberi uang untuk membeli buku tersebut. Buku apakah yang akan mereka pilih?

Berdasarkan pengalaman saya sebagai penjual buku, dibantu tim survei saingan Denny JA, sembilan wanita membeli buku puisi, satu membeli cerpen, dan si penulis esai malah dipanggil tamu lain untuk memesan minum. Maaf, ini tidak meremehkan, ini fakta lapangan.

Saya punya banyak teman, baik penyair maupun prosais. Dari perbandingan yang sering saya lakukan, sepengamatan saya, beberapa di antaranya memang memiliki kuantitas jodoh yang  benar-benar timpang. Grafik perbandingan jodoh mereka laksana jamur dijejer pohon jati. Jauh langit dengan bumi.

Sebut saja salah satu yang muda dan sedang populer, Dea Anugrah. Dea awalnya hanyalah mahasiswa cupu di kampusnya, model rambutnya menjuntai ke bawah karena keberatan gel. Ia ingin mirip Sun Goku, tapi keringat membuat rambut-rambut remajanya merunduk bebas semaunya. Menurut gosip intelejen di Filsafat UGM, saat Ospek Dea pernah berteriak , “Nama saya Dea Anugrah. Saya Cina, tapi saya Islam!”

Tapi pengalaman buruk ini tidak menjadikan Dea ngenes dalam nasib asmara. Ia mengalami banyak kemajuan dalam hal perjodohan. Beberapa kali dia mengganti status hubungannya di facebook dengan beberapa wanita. Dan konon, menurut pengakuan banyak temannya, ini terjadi setelah ia makin rajin menulis puisi. Makin bagus puisi, makin bagus pula jodohnya.

Dea punya sebuah grup bernama Rawa-rawa, anggota lainnya adalah Rozi Kembara dan Dwi S. Wibowo. Belakangan, Rozi selalu membawa ceweknya di acara-acara sastra di Yogyakarta. Beberapa pekan lalu, di acara baca puisi, ia bahkan memperkenalkan calon istrinya.  Luar biasa. Rozi yang kerap dijuluki sebagai penyair debus, karena memiliki kesaktian dan gaya dandan ala jawara Banten, toh berhasil mendapatkan calon istri. Kelihaiannya memainkan kata-kata, barangkali jauh lebih berguna dibanding kemampuan membuat atraksi menyayat tubuh dengan cara yang baik dan benar.

Dwi S Wibowo, anggota grup lainnya, adalah seorang pendiam. Tapi kita tidak pernah tahu bagaimana ia mengirim sms atau mengirim inbox facebook kepada para wanita. Ia punya pacar, beberapa kali bahkan ganti, meskipun kebanyakan LDR. Seringkali ia pergi ke Bali, dengan alasan bertemu Wayan Jengki Sunarta atau Umbu Landu Paranggi, tapi kami sudah tahu, dia sedang merajut asmara di sana.

Indrian Koto? Jangan ditanya lagi, meski lima tahun lalu ia pernah menulis status facebook dengan membuat 29 alasan kenapa ia belum menikah, Juni lalu ia sudah cengengesan di atas pelaminan. Dan saya yakin, ini karena puisinya yang syahdu membiru itu.

Keempat nama yang saya sebutkan tadi hanyalah contoh kecil. Sebetulnya mereka bisa dibilang tidak punya keahlian lebih selain menulis puisi. Grup Rawa-rawa dan Indrian Koto bahkan selalu kalah main poker lawan saya. Mereka punya bakat curang yang buruk dalam berjudi. Tapi begitulah, penyair punya rejeki jodoh lebih baik secara kualitas dan kuantitas dibandingkan prosais.

Menjadi penyair tak harus memamerkan kejombloan, seperti deretan para penjaga gawang indoprogress yang butuh satu rubrik rutin untuk mengumumkan kejombolan mereka. Ramuan satire dengan mengutip teori-teori sosial itu, alih-alih membuat mereka tampak keren, beberapa wanita malah mungkin berpikir, “koe ngopo e mz? Hidupmu kok berat bingit!”.  Tulisan njelimet mereka mengucur deras layaknya air mata. Berbeda dengan puisi Dea Anugrah dkk, “aku berjalan di kota tua gerimis itu, tapi tak ada tanganmu dalam genggamanku”, membaca sepenggal puisi ini saja sebagai status facebook, para perempuan akan segera berebut komentar. “Gandeng aku aja kaka…. ada tanganku kaka…”,  ucap mereka  sambil mengirimkan foto-foto selfie.

Bandingkan pula dengan beberapa penulis nonpuisi lainnnya. Arman Dhani membom banyak situsweb dan portal baru dengan tulisannya. Ia sukses membuat Jakartabeat kebanjiran pengunjung  sampai tidak bisa diakses beberapa jam. Tapi apa komentar orang tentang tulisan-tulisannya itu? Apa komentar wanita? Percayalah, wanita tak butuh daftar buku wajib baca dan tidak wajib baca. Kesuwen, Bung Mblo!

Dhani salah langkah. Ia mengubur diri dalam lumpur hitam kemelaratan perasaan. Seandainya Dhani bisa berbelok sedikit saja, mengganti 5 buku sastra terbaik atau tidak terbaik dengan lima bait puisi, mungkin sang nasib akan sedikit melunakkan siksaannya.

Lalu Nody Arizona. Malang-melintang di pers kampus dan mengurus banyak media, ia bahkan sempat menulis tips bagi para jomblo. Apa hasilnya? Nihil. Tulisan-tulisan semacam itu tak akan laku di kalangan gadis-gadis, malah jadi bacaan para fakir asmara sebagai bahan menertawakan diri sambil menangis bersama.

Dan Nuran Wibisono, ia memang seorang blogger dan penulis esai yang bagus. Apakah ia kekurangan jodoh? Nyaris. Nyaris, Bung! Nuran tahu kelemahan kawan-kawannya. Ia berbelok ke arah review musik. Ia berusaha mati-matian membuat daftar musik-musik romantis dan syairnya bisa dipakai merayu. Lihat sendiri hasilnya, ia telah menikah, meninggalkan kawan-kawan lainnya yang merana sepanjang masa. Nuran punya stok lirik lagu yang bisa dia kirimkan tengah malam. Mangsa tertangkap, Nuran tersenyum gembira.

Gita Wiryawan kurang apa? Ia jadi selebtwit akibat Pemilu, karena memiliki kesamaan nama dengan balon presiden dari Partai Demokrat. Ia mencoba mati-matiaan meniru Agus Mulyadi yang sudah dasarnya Jomblo ngenes, ia memamerkan kenjombloannya di blog dengan pura-pura gembira, padahal semua orang tahu ia berlinang air mata saat mengetiknya. Melebihi Agus, ia bahkan membuat 10 kopi buku spesial tentang kenelangsaan jiwanya untuk dikirim ke seorang wanita. Hasilnya nihil. Jabatannya sebagai PNS muda mengurusi keuangan negara tak membantu apa-apa. Anak muda, kaya raya, tampang juga lumayan—mirip Ryan d’Massiv—tak mengubah nasibnya. Ia gagal, lagi-lagi karena tidak menulis puisi.

Gita, Agus, Dhani, Berto Tukan, Windu Jusuf dan anggota genk lainnya bukanlah orang sembarangan, ada yang cerdas-kritis, progresif-revolusioner, ada yang superlucu, ada yang kaya di usia muda. Tapi mereka terperosok dalam dunia hitam kehampaan cinta, hanya karena belum berani menulis sajak cinta.

Ketahuilah, Bung, menjadi penulis tak harus mengeruk rezeki lewat honor dan royalti. Andrea Hirata yang novelnya mega best seller toh konon jomblo juga.

Prosais, cerpenis dan novelis membutuhkan waktu berpikir lebih lama dibandingkan penyair. Penyair tak harus memikirkan plot, latar atau tokoh seperti layaknya cerpenis. Cukup intens latihan memainkan kata, set set set, tebarkan bunga kata ke linimasa.  Penyair juga tak harus memikirkan lead yang bagus, kutipan teori yang meyakinkan.

Penyair macam kelompok Rawa-wawa hanya butuh ketemu momen dan agenda puitis, lemparkan diksi lewat jemari.  Begitulah. Jangankan Dea yang sekarang sudah agak bisa merawat diri, menyisir rambut dan memadupadankan pakaian ala Korea, Andi Gunawan yang jelas-jelas sama sekali tidak tertarik wanita saja digandrungi sedemikian luar biasa, bukunya laris, twit-twitnya bertabur RT dan Favorite wanita! Gila.

Tapi sebelum saya mengakhiri studi komparasi ini. Baiknya saya berpesan kepada para penyair, atau beberapa penulis di atas yang mungkin akan segera banting stir jadi penyair. Benar bahwa penyair hampir jarang tuna asmara, tapi ada kasus besar yang melanda seorang penyair yang tak bisa mempertahankan syahwatnya. Maka jangan sampai kalian masuk penjara karenanya.

Exit mobile version