Pentingnya Belajar Seni Membuat Alasan

pendapat argumen orang bodoh mojok.co pendapat argumen orang bodoh mojok.co Pentingnya Belajar Seni Membuat Alasan

pendapat argumen orang bodoh mojok.co pendapat argumen orang bodoh mojok.co Pentingnya Belajar Seni Membuat Alasan

MOJOK.CO – Seni membuat alasan sering kita perlukan. Ini bukan keterampilan kaleng-kaleng. Keahlian inilah yang akan menyelamatkan kita saat tergencet pada situasi dituduh. Dituduh mengudeta partai, misalnya.

Seorang perempuan yang telanjang bulat mencegat taksi yang sedang melaju. Sopir cepat-cepat menghentikan mobilnya. Ketika kemudian perempuan itu membuka pintu, mata sopir tak berhenti memandangnya, mulai ujung kaki hingga kepala.

“Tak pernah lihat perempuan bugil ya?” bentak perempuan tersebut karena merasa risih dengan pandangan si sopir.

“Bukan begitu, saya hanya sedang mencari di mana kau menyimpan dompet. Kalau tak bawa uang, taksi tak akan berangkat,” kilahnya dengan tenang.

Ada banyak tafsir tentang cerita tersebut. Sebagian mengatakan cerita itu mengajarkan tentang perlunya fokus dalam berbisnis sehingga tidak mudah dibelokkan oleh gangguan yang tiba-tiba. Sebagian lainnya menyebut bahwa humor itu menjelaskan pentingnya kemampuan berkelit, mengalihkan pembicaraan dari maksud sebenarnya tetapi tetap terdengar logis.

Saya lebih cenderung pada tafsir kedua. Kemampuan berkelit sering kita perlukan. Ini bukan keterampilan kaleng-kaleng. Ia membutuhkan pikiran yang tangkas dan cekatan. Orang yang tidak terlatih niscaya akan gelagapan bila tergencet pada situasi yang mendadak seperti itu lalu memberikan argumen yang janggal.

Ketika Pak Anies Baswedan menjelaskan bahwa alasan Jakarta banjir adalah curah hujan yang tinggi banyak netizen yang mencibirnya. Meme tentang respons beliau terhadap banjir banyak dibuat. Salah satunya adalah tentang jawaban beliau bahwa solusi banjir itu mudah, tinggal menunggu musim kemarau.

Tentu saja Pak Anies tidak senaif itu. Namun, jawaban beliau bahwa penyebab banjir adalah hujan dianggap tidak sebanding dengan kewenangan yang dimilikinya sebagai seorang gubernur. Dengan pengalaman banjir tiap tahun, ia seharusnya punya metode dan kebijakan untuk mengatasinya. Menjadikan hujan sebagai alasan untuk berkelit bukan saja terdengar tidak logis, tapi juga melarikan diri dari tanggung jawab. Itu tak berbeda dengan jawaban mahasiswa yang malas datang ke kampus karena hujan lebat dan lebih memilih tidur di kamar kos.

Membuat alasan yang masuk akal akan menimbulkan reaksi yang baik. Dan itu ada seninya. Seorang suami yang kepergok istrinya menyembunyikan uang di pecinya, seorang pacar yang tertangkap basah menerima telepon dari mantannya, seorang karyawan yang ketahuan bermain-main hape di jam kerja, semua perlu belajar berkelit dengan indah.

Bahkan seorang pelajar pun perlu belajar berkelit, membuat alasan dengan baik. Saya pernah membaca cerita, kalau tidak salah dari Gus Mus, tentang seorang murid yang lupa mengerjakan PR untuk pelajaran agama.

Sebelumnya sang guru memberi tugas agar murid-muridnya mengumpulkan foto orang sedang beribadah. Ketika hari pengumpulan telah tiba, si murid baru teringat. Dilihatnya teman-temannya sudah siap dengan tugasnya. Ada yang berfoto sedang salat, memberikan sedekah, orang yang haji, dan lainnya. Karena tak tersedia lagi waktu untuk mencari foto, ia akhirnya memberikan fotonya sendiri yang sedang berdiam diri.

Ketika gurunya bertanya tentang pose ibadah yang dilakukan, si murid itu dengan gaya yang dimantap-mantapkan menjawab, “Itu sedang berpuasa, Pak.”

Dalam cerita tradisional di Timur Tengah ada banyak cerita semacam itu. Misalnya tentang seorang anak dan penjual sayuran. Suatu hari, seorang anak diminta orang tuanya membeli kurma di sebuah warung. Kurma itu harganya 60 dirham. Ketika menerima barangnya, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Kurma itu terasa terasa lebih ringan dari seharusnya.

“Pak, kenapa kau kurangi timbangan kurma ini?” ia melayangkan protes kepada si penjual.

“Ya, agar kau tidak terlalu berat membawanya, Nak,” jawab penjual itu untuk berkilah sambil meminta uang dari si anak. Uang diangsurkan dan penjual menghitungnya.

“Harga kurma itu 60 dirham, kenapa cuma kau bayar 50?”

“Agar kau mudah menghitungnya,” timpal di si anak kemudian berlalu.

Selain menghibur, cerita-cerita semacam itu juga memberikan pelajaran bagaimana mengatasi permasalahan dengan cerdas, jenaka, dan selow. Kita mungkin tidak asing dengan cerita Juha atau Nasruddin Hoja yang selalu punya jawaban menggelitik dan cerdas atas setiap pernyataan dan permasalahan yang ditujukan padanya.

Di Indonesia kita juga tumbuh dari cerita tentang kancil yang cerdik. Binatang yang identik dengan pencurian timun itu hampir selalu bisa lolos dari bahaya yang mengancamnya. Sayangnya, kecerdikan itu sering kali dilakukan dengan menumbalkan orang lain.

Kisah kancil begitu lekat dengan kehidupan kita sehingga, kita pun tak jarang berperan sebagai kancil ketika mendapat masalah. Kita mencari kambing hitam untuk menyelamatkan diri. Kita menciptakan oknum-oknum untuk mengaburkan kesalahan diri kita dan membiarkan orang lain menanggungnya.

Seni berkelit juga membuat kita memiliki banyak siasat untuk menghadapi hidup tanpa harus bersikap bodoh. Kisah Abu Hanifah mungkin bisa jadi contoh. Pendiri mazhab Hanafi ini diceritakan pernah tersesat di padang pasir. Kantong airnya kosong dan ia dilanda kehausan yang sangat. Setelah berjalan lama akhirnya ia melihat seorang gembala di kejauhan. Ia menghampiri si gembala. Abu Hanifah memohon agar diberi barang seteguk dua teguk air untuk memadamkan rasa haus yang membakar tenggorokannya.

Namun, melihat keadaan Abu Hanifah, si gembala justru berniat mengambil keuntungan. Ia menjual air dengan mematok harga 50 dirham. Abu Hanifah berada dalam situasi yang tidak punya pilihan. Ia merogoh koceknya dan menyerahkan sejumlah uang yang diminta.

Setelah minum beberapa teguk. Abu Hanifah menawari si gembala dengan roti. Si gembala menerima dengan riang gembira. Keduanya lalu duduk bersama menikmati roti. Si gembala dengan lahap memakan roti gratis tersebut. Sampai kemudian kerongkongannya terasa seret. Abu Hanifah pura-pura tidak tahu. Lalu dengan leher tercekat ia mengiba kepada Abu Hanifah agar diberikan air.

Abu Hanifah di atas angin. Ia pun menjual air itu kepada seharga 50 dirham. Kini giliran si gembala yang tak punya pilihan. 50 dirham di genggamannya pun kembali ke tangan Abu Hanifah. Sebuah kudeta, eh, strategi yang indah bukan?

BACA JUGA Kisah Nu’aiman dan Betapa “Woles”-nya Kanjeng Nabi dan esai-esai Muhammad Zaid Su’di lainnya.

Exit mobile version