MOJOK.CO – Prabowo menyampaikan beberapa hoaks sejarah, sementara kita dikejutkan dengan keengganannya ikut andil dalam uji baca Alquran.
Tidak ada yang paling menyita perhatian kita dalam dua hari terakhir ini, kecuali tentang serangan politik dari Aceh. Perkara yang tepat menusuk ulu hati perpolitikan nasional ini datang melalui dua hal: hoaks sejarah dan uji baca Alquran bagi calon presiden. Mengejutkan. Hampir-hampir tidak ada yang mengira bahwa dua serangan ini menimbulkan goncangan politik tidak sedikit. Membuat lidah kelu. Napas menjadi sesak. Oksigen menipis. Bisa-bisa collapse.
Perkara pertama, gegara Prabowo Subianto menyampaikan dalam pidatonya bahwa dalam masa konflik dahulu, dia mengejar-ngejar Muzakkir Manaf, tapi kini malah berpelukan. Tidak cukup sampai di situ, dengan percaya dirinya, Prabowo berujar, kalau ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, ikut andil dalam pembelian pesawat Seulawah RI-001.
Untuk soalan pertama, memburu Muzakkir Manaf, seperti yang disampaikan oleh aktivis Arus Baru Indonesia (ARBI), Helmy Nyak Hakim, memang bisa saja terjadi pada masa DOM. Akan tetapi dalam soal pembelian pesawat, ia telah menimbulkan kegaduhan. Gempar! Kok tetiba, nama Sumitro masuk, Pak Eko? Duh, jangan selonong boy, gitu! Bisa kacau frekuensi kalau referensi dibelok-belokkan sedemikian rupa.
Baik, saya terangkan cepat-cepat (Rocky Gerung mode on).
Agar sedikit menemukan konteks, perlu diterangkan setting sejarahnya. Apabila kita pergi ke Blang Padang, alun-alun yang berada di ibu kota provinsi Aceh, tepat di tengah lapangan itu, ada satu monumen replika pesawat Dakota Seulawah RI-001, sebab pesawat aslinya teronggok di Anjungan Aceh, TMII. Di bawah monumet itu, terdapat sarakata yang bertuliskan bahwa pesawat tersebut merupakan sumbangan rakyat Aceh di masa mempertahankan kemerdekaan.
Perlu you-you ketahui. Sejarah pembelian pesawat untuk perjuangan Republik Indonesia adalah hal yang selalu diulang-ulang, terutama dalam agitasi politik: “Lihat, kami orang Aceh, telah membeli sumbangan pesawat demi mempertahankan kedaulatan Republik ini!” Kalau orang Aceh sudah mengeluarkan jurus maut ini, biasanya elite Jakarta agak terdiam.
Namun, bukan elite Jakarta namanya kalau tidak banyak akalnya. Untuk mengambil hati orang Aceh, soalan pesawat itu juga jadi andalan: “Aceh adalah daerah modal sejak dahulu untuk Indonesia. Ingat, ketika kita sedang kesulittan mempertahankan eksistensi Republik ini, rakyat Aceh-lah yang berbondong-bondong memberikan sumbangan untuk membeli pesawat.” Plok-plok! Tepuk tangan pun membahana.
Jadi, ya, pesawat terbang tersebut merupakan simbol dari gegap gempitanya revolusi kemerdekaan di Aceh, selain perang Medan Area. Bahkan, tidak jauh dari monumen pesawat tersebut, ada Tugu Proklamasi di Taman Sari Banda Aceh. Area ini berdekatan pula dengan Aceh Hotel, tempat Sukarno dijamu dan berbicara dengan elite Aceh tentang upaya mempertahankan Republik Indonesia.
Sebenarnya pula, perbincangan mengenai perlunya pesawat terbang itu terjadi bersamaan dengan datangnya Presiden Sukarno ke Aceh untuk kali kedua.
Pada kali pertama, tahun 1947, Sukarno datang untuk meminta dukungan dari rakyat guna membantu mempetahankan Indonesia yang mulai dicabik-cabik serangan sekutu. Proklamasi terancam. Melalui Daud Beureuh ajakan itu diterima oleh orang Aceh. Tapi hal ini punya syarat tersendiri: kelak, ketika keadaan sudah membaik, Aceh dapat mengurus dirinya sendiri dan wewenang untuk memberlakukan Syariat Islam.
Kedatangan kedua, tahun 1948, Sukarno meminta bantuan material. Demi memperjuangkan Indonesia di mata internasional, maka diperlukanlah armada udara. Untuk itu, dimintalah Aceh membelikan satu pesawat terbang. Bahkan dengan teatrikal, Sukarno mengatakan, “Saya tidak akan makan apabila permintaan itu tidak dipenuhi.” Aksi teatrikal serupa pernah dilakukannya ketika mengucurkan air mata, sewaktu Daud Beureuh menyodorkan kertas untuk ditandatangani sebagai komitmen hitam putih dari janji Sukarno untuk Aceh kala kunjungan pertamanya.
Pesawat berhasil dibeli. Bukan hanya satu, seperti permintaan Sukarno, melainkan dua! Plok-plok! Tepuk tangan pun membahana.
Ali Hasjmy (1984) dalam otobiogafinya, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, menceritakan permintaan Sukarno tersebut,
“Alangkah baiknya apabila kaum Saudagar dan Rakyat Aceh berusaha membuat “jembatan udara” antara satu pulau dengan pulau lain di Indonesia. Untuk ini, saya anjurkan agar kaum Saudagar bersama-sama Rakyat mengumpulkan dana untuk membeli kapal udara, umpamanya Pesawat Dakota, yang harganya hanya 25 kilo gram emas,” (h. 382)
Permintaan itu, sebagaimana yang diceritakan oleh Ali Hasjmy, direspons dengan cepat oleh saudagar Aceh yang tergabung dalam organisasi Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA). Dalam jangka waktu dua bulan, GASIDA dapat mengumpulkan dana sebanyak S$120.000, yang dapat membeli dua pesawat Dakota.
Jadi, tidak ada nama Sumitro Djojohadikusumo. Tidak ada sama sekali.
Baik, tentang perkara kedua: uji baca Alquran. Ya, itu merupakan cara orang Aceh menguji keabsahan calon pemimpinnya. Di Aceh, tidak sah menjadi pemimpin, dari tingkat calon legislatif, wali kota/bupati sampai ke gubernur jika tidak melewati tahap ini.
Kalau lulus bacaan Alqurannya, baru si calon boleh ikut pilkada/pemilu. Kalau tidak lulus, ya mbok belajar lagi.
Nah, karena Aceh masih jadi bagian dari NKRI, coraknya pun ikut juga dalam hajatan mileh presiden lima tahunan itu, dengan segala kebisingannya, terutama tentang perdebatan siapa yang lebih Islam di antara kedua calon. Siapa yang mendapat restu ijtima ulama, siapa yang dibela oleh aksi bela ini bela itu, siapa yang fasih ngajinya, siapa yang paling khusyuk salatnya, siapa yang santri beneran, siapa pula yang santri pos-posan? Pertanyaan-pertanyaan ini pun berseliweran di timeline–nya orang Aceh. Bikin jengkel, to?
Ada seseorang bernama Tgk. Marsyuddin Ishaq, pemiliki organisasi Ikatan Dai Aceh, menyelenggarakan acara mulia: Uji Baca Alquran Capres dan Cawapres. Niatannya baik. Di poster yang disebar, tertulis dengan khidmat: Akhiri Polemik Keislaman Capres dan Cawapres 2019 dengan Uji Baca Alquran. Sungguh mulia, kan?
Yah, daripada ribut-ribut terus, jaenuddin vs hulaihi melulu, mending diuji sekali pukul.
Melalui juru bicara tim kampanyenya, Jokowi siap memenuhi tantangan itu. Ma’ruf Amin lebih gahar lagi. Secara terbuka, dia mengatakan akan memenuhi undangan tersebut, “Saya terbiasa membaca Alquran,” katanya.
Sayangnya, ujian terbuka yang pasti dinanti oleh seantero negeri ini, sepertinya akan batal. Pagi-pagi, melalui tim kampanyenya, Prabowo-Sandi enggan memenuhi tantangan itu. Alasannya macam-macam, mulai dari lebih baik mendengar tausiah ulama Aceh demi sikap penghormatan, atau alasan karena pilpres ini untuk memilih pemimpin dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahkan, ini yang savage, menolak untuk ikut uji kemampuan membaca Alquran, karena yang lebih penting memahami isi kitab suci tersebut. Wow, punya ilmu laduni kali, ya?
Ya begitulah, akhir dari hiruk pikuk uji kemampuan baca Alquran ini. Layu sebelum berkembang, gegara Prabowo enggan. Lalu begitu, benarlah sudah apa yang pernah ditulis oleh Soegiarso Soerojo: Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai.