MOJOK.CO – Kandidat Doktor di salah satu universitas terkemuka di Jepang ini kasih cerita pengalaman unik soal Jepang dan orang-orangnya. Hal-hal yang bisa bikin kita terheran-heran.
Negeri Jepang. Hm, mendengar nama negara di Asia Timur ini saja, mayoritas orang Indonesia yang belum dan sudah pernah menginjakkan kaki di sana, secara otomatis sudah akan membayangkan hal-hal yang baik.
Iya, kan?
Orang-orangnya pekerja keras, teknologinya maju, alam dengan keindahan bunga sakura, kehebatan para Samurai (ingat, samurai itu orangnya ya, bukan nama pedang), anime, manga, kebersihan, ketertiban masyarakatnya de-es-be yang baik-baik.
Imej tentang Jepang yang kurang baik, paling-paling seputar industri film atau komik pornonya saja. Seperti kenakalan Kakek Sugiono, ketenaran Maria Ozawa, atau ekspresi berjengit orang-orang Indonesia ketika mendengar seseorang berkata, “Kimochi.”
Akan tetapi, di balik imej Jepang yang serba baik-baik itu, ada beberapa hal yang mungkin belum banyak diketahui. Imej tentang Jepang yang mungkin lebih baik dari bayangan kita atau bahkan yang membuat kita mengerutkan kening, berpikir: Ah, masa sih?
Beberapa kebiasaan dan kejadian yang random, tidak terlalu penting, tetapi saya yakin akan menarik untuk diketahui, dan akan saya bagi dalam tulisan ini. Yah, bisalah saya anggap sebagai laporan perjalanan, perjalanan dengan rute kampus – tempat kerja apartemen (repeat) selama hampir 5 tahun.
Pengalaman saya tinggal dan belajar di Jepang tanpa beasiswa alias modal nekat, memberikan saya banyak pengalaman yang menarik, yang mungkin tidak akan didapatkan oleh wisatawan, mahasiswa penerima beasiswa atau orang Indonesia lain yang tinggal di Jepang.
Dengan beberapa pengalaman itu, ditambah dengan kurangnya pengetahuan saya tentang budaya Jepang dan masyarakatnya pada awal kedatangan, membuat saya sering bersinggungan dengan hal-hal bodoh yang—ternyata—cukup menarik. Kayak apa sih?
Keluar berdua = Date
Ini rumus yang paling penting yang saya dapatkan dari Senpai, tepat setelah saya melakukan kesalahan terbodoh.
Saya yang notabene mahasiswi dari daerah, yang pengalaman cintanya sebatas dibodohi dan disakiti saja, tidak pernah membayangkan ada rumus semacam ini di Jepang. Yang saya tahu, luntang-lantung berdua dengan teman kampus, tidak akan dianggap kencan kecuali salah satunya modus.
Pengalaman saya belajar mengenai rumus ini begitu bodoh dan lucu. Pada awal kedatangan saya di Tokyo, saya mendapatkan kenalan seorang kakek berumur 70 tahunan. Walau sedikit wagu, beliau bisa berbahasa Inggris, oleh karena itu komunikasi saya dengan beliau tidak bermasalah. Beliau saya hormati, karena ilmu beliau yang luas.
Jujur, saya sangat tersanjung kenal dan dekat dengan beliau. Dalam hati saya selalu berbisik, “Ah, mungkin beliau cuma rindu memiliki anak atau cucu.” Pemikiran yang kalau saya ingat lagi, bikin saya malu.
Suatu ketika, beliau mengajak saya keluar berdua. Ada yang beliau ingin sampaikan. Yang biasanya, ada orang lain di sekitar kami, kali ini tidak ada. Hanya kami berdua (cieee). Tipe manusia yang sangat menghormati orang yang lebih tua seperti saya ini, langsung saja menyetujui ajakan beliau.
Tanpa berpikir panjang, saya datang ke sebuah taman di dekat Universitas Terkemuka di Tokyo. Setelah berbincang lama tentang hal kurang penting yang beliau ulang-ulang, kami pun mulai berjalan santai menuju stasiun terdekat.
Kami harus melewati sebuah taman di dekat stasiun. Di sana beliau agak menahan langkah, lalu mulai menceritakan kesusahannya, permasalahan keluarganya. Otak kepala saya yang dipenuhi imej baik-baik tentang beliau, hanya merasa kasihan. “Ganbatte kudasai,” kata saya berkali-kali karena waktu itu saya cuma tahu kalimat itu.
Mendapat respons positif dari saya, beliau kemudian memulai bertanya, “Kenapa kamu belum menikah? Banyak lho laki-laki yang suka denganmu.”
“Apakah tidak suka dengan lelaki yang lebih tua?” tanya beliau lagi.
Saya hanya berhaha-hihi, menganggapnya bercanda. Ketika sudah mulai larut, saya mulai gelisah karena pembicaraan semakin tidak bermutu. Lalu saya memberanikan diri untuk mengajak pulang.
“Mari, Pak, keretanya hampir tiba,” ajak saya.
Beliau memandang saya agak lama. Lalu tiba-tiba beliau menjulurkan tangan, dan berkata, “Bolehkah saya menggandeng tanganmu?”
Saya belajar banyak dan sejak itu saya menyadari Kakek Sugiono mungkin nyata adanya di dunia nyata.
Kepo
Jangan dikira hanya ibu-ibu, mamah-mamah muda di Indonesia saja yang kepo-nya luar biasa. Di balik ketenangan masyarakat Jepang, tersimpan hasrat ingin tahu yang besar mengenai tetangganya, atau orang yang duduk di sebelahnya. Secara permukaan saja mereka tampak datar seolah tidak memedulikan urusan orang, tetapi sebenarnyanya mereka ya kepo juga.
Karena jarang menggunakan hape saat saya berada di kereta, saya memiliki banyak waktu untuk memperhatikan orang-orang Jepang yang berada di sekitar saya. Itulah mengapa saya dapat mengamati hal-hal yang mungkin terlewatkan oleh orang asing lain yang tinggal di Jepang. Salah satunya adalah hobi orang Jepang mengintip layar hape orang yang duduk atau berdiri di sebelahnya.
Tidak seperti orang Indonesia yang banyak melapisi layar kaca hapenya dengan screen anti nantoka-nantoka, orang Jepang tidak memiliki kekhawatiran seperti itu. Mereka menggunakan telepon genggam dengan santai, dengan jarak pandang yang memungkinkan orang di sebelahnya juga ikut menikmati apa yang sedang mereka nikmati.
Tidak jarang saya lihat seorang mas-mas atau mbak-mbak memegang telepon genggamnya sendiri, tetapi bola matanya miring ke sebelahnya. Nonton apa dia yak? Duh, jadi kepo saya. Eh.
No Tipping
Bagi masyarakat Jepang, pelanggan adalah raja. Industry of Hospitality menjadi hal yang sangat diutamakan. Produsen barang dan jasa berlomba-lomba untuk memberikan jasa yang terbaik bagi pelanggannya.
Meski begitu, sebagai imbalan dari jasa dan pelayanan produsen, pelanggan tidak disarankan memberi tip/tipping berupa uang ala kadarnya. Konon katanya mereka bakal sakit hati kalau diberi tip (hal ini tidak berlaku di hotel-hotel kelas wahid).
Jadi apabila kamu berkesempatan mengunjungi Jepang, sebagai ganti tipping bisa nih hal-hal di bawah ini dilakukan:
- Menjaga adab kesopanan sesuai budaya Jepang.
- Nggak usah norak teriak-teriak.
- Berterima kasih untuk sekecil apapun layanan yang Anda dapatkan.
- Sampaikan pujian seperti; “Sushinya enak sekali,” atau “Pelayanan anda baik sekali,” atau, “Saya akan kembali lagi,” itu sudah cukup.
Wanita Jepang suka orang Indonesia
Sering kali kita dengar, desas-desus bahwa wanita Jepang senang dengan laki-laki Indonesia. Konon karena laki-laki dari Indonesia itu cenderung pengertian dan baik. Tapi maaf, saya harus kasih tahu bahwa kamu para lelaki harus siap-siap kecewa. Sebab, saya bisa jamin bahwa desas-desus itu adalah mbelgedhes alias cuma desas-desus.
Kenyataannya orang-orang Jepang secara umum sangat mendiskriminasi orang-orang dari Asia (yang selain Jepang). Wanita-wanitanya pun sangat logis, realistis, dan materialistis (duh). Bisa jadi, mereka sangat kiyut, menye-menye, kawaii saat pacaran.
Hanya saja, jangan heran kalau nanti sudah menikah. Mereka bisa berubah menjadi wanita singa yang siap nyakari suami-suaminya apabila kebutuhan finansial atau ekonomi keluarganya tidak memenuhi harapan.
Nah, itulah sekelumit tentang tentang Jepang dari pengalaman saya selama hampir lima tahun di Jepang. Mungkin kamu bakal bertanya-tanya, “Masa sih begitu?”
Iya, yakinlah sebaik-baiknya Jepang, di sana juga ada orang yang menyebalkan. Sebaliknya juga begitu, sejelek-jeleknya Indonesia, masih banyak kok orang-orang yang baiknya juga—yang ganteng, apalagi. Eh.