MOJOK.CO – Organisasi Pemuda Pancasila baru saja menganugerahi Jokowi dan Ma’ruf Amin gelar anggota kehormatan. Tapi bagi penulis ini, pengalaman menjadi anggota PP di Medan justru ia sesali.
Saya masih kelas 1 SMA ketika kali pertama mengenal dunia ormas kepemudaan. Itu tahun 1997, 22 tahun yang lalu. Di Kota Medan kala itu, ada dua ormas kepemudaan yang begitu kuat, yakni Ikatan Pemuda Karya dan Pemuda Pancasila.
Di kecamatan kami, ada dua kelurahan yang dihubungkan sebuah jembatan. Kedua kelurahan itu punya pilihan ormas yang berbeda. Di wilayah saya, kami condong ke Pemuda Pancasila yang diketuai Japto Soejoseomarno atau biasa disebut Yapto SS. Sedangkan di wilayah satunya lagi, mereka lekat dengan Ikatan Pemuda Karya yang saat itu lebih dikenal sebagai ormasnya Almarhum Olo Panggabean, orang kuat di Medan.
Dengan alasan ingin terlihat gagah, tambah lagi dunia ormas sangat kental di Medan saat itu, saya yang masih duduk di kelas 1 SMA memutuskan bergabung dengan Pemuda Pancasila. Waktu itu gabung PP juga terasa mengasyikkan karena bisa punya penghasilan tanpa capek-capek kerja. Tambah lagi, sehari-hari saya bisa kumpul dengan teman-teman.
Ketika anak ranting Medan Perjuangan dibentuk, saya dan teman-teman dengan semangat bergerak menyusun daftar pengurus/ tapi, karena saya belum cukup umur, nama saya tidak dimasukkan ke dalam daftar organisasi. Tapi itu tidak terlalu penting. Bagi saya, asal bisa pakai kaus PP, rasanya sudah gagah. Jargon organisasi ini juga sangat macho, “Sekali layar terkembang, surut kita berpantang.”
Itulah awal awal mula kisah buruk yang saya sesali kemudian. Sejak masuk ormas, saya mulai kenal minuman alkohol, mulai kenal istilah nanduk, bahasa Medan buat “memalak”, mulai kenal obat-obatan dan berkelahi.
Sebagai anak yang pernah mondok selama dua tahun di salah satu pondok pesantren di Medan dan lahir dari keluarga yang salah seorang kakeknya adalah ustadz, sudah pasti perilaku saya yang demikian sangat tidak diharapkan keluarga. Saya jadi lebih sering pulang saat keadaan mabuk. Selalu ada berita berbagai macam kasus yang sampai ke keluarga saya.
Di Medan, Pemuda Pancasila kerap bertempur dengan Ikatan Pemuda Karya. Keduanya adalah lawan sejati, musuh bebuyutan. Bukan sekali dua kali kami berperang memperebutkan lahan parkir dan wilayah kekuasaan.
Hal terbodoh yang pernah saya lakukan saat masih menjadi anggota Pemuda Pancasila adalah menyerbu kampung orang hanya bermodalkan pengaruh pil Lexotan dan minuman beralkohol. Kala itu kami bertarung dan menjarah rumah seorang Ketua Ikatan Pemuda Karya sambil berteriak layaknya seorang jagoan. Saya dan teman-teman berperang hanya bermodalkan balok, tanpa ada pengamanan sedikit pun, sedangkan ketua ranting dan pimpinan anak cabang duduk manis di mobil.
Ketika keaadaan tubuh saya sudah kembali normal, saya berpikir, alangkah murahnya nyawa saya, hanya ditebus beberapa puluh pil Lexotan yang kala itu harganya seribu rupiah per butir. Sementara kami anggota rendahan bertarung, para ketua yang mendapat lahan kekuasaan. Dan di lahan itu, kami juga yang akan mencari uang untuk disetorkan kepada ketua. Sementara jika kami terluka karena berperang, yang kami terima hanyalah ucapan “Semoga lekas sembuh”.
Saya kemudian memutuskan keluar dari Pemuda Pancasila karena suatu peristiwa. Pada suatu malam, saat akan ada pelantikan ranting Pemuda Pancasila di satu daerah di Medan bernama Pahlawan, saya menelan 13 butir pil Lexotan sebagai persiapan kalau terjadi kerusuhan. Tidak lupa saya selipkan badik kecil di sela kaki. Tapi karena pengaruh obatnya terlalu cepat, jadilah saya nyemplung ke selokan dekat rumah dan harus digotong balik ke rumah oleh teman-teman saya.
Di rumah, keluarga yang sudah antipati dengan tingkah saya sangat marah. Kakak saya memberi saya makan seolah saya ini binatang. Saya juga dikunci di luar sampai menangis. Setelah kejadian itu, saya tidak mau berurusan dengan dunia ormas lagi. Lebih banyak gila-gilanya daripada warasnya.
Bagaimana tidak, pernah di satu momen, saya dipukuli oleh beberapa orang hanya karena saling ejek. Saya yang tak terima kemudian mencari rumahnya bersama teman-teman saya. Kami hampir membakar rumah itu sampai membuat kakak si orang yang kami cari menangis-nangis minta ampun. Pembakaran itu urung terjadi karena pada akhinya kami tak menemukan orang yang kami cari.
Tapi ada sedikit hal positif yang saya dapat berkat mengikuti ormas PP: saya jadi tidak mudah takut saat menghadapi lawan, dan itu terbawa sampai sekarang. Nyali saya masih tinggi jika harus menghadapi perkelahian. Walaupun begitu, saya bersyukur saya sudah keluar dari dunia itu. Nakal saat muda boleh-boleh saja, tapi goblok sampai tua rasanya keterlaluan. Apalagi ketika kenakalan itu bikin nyawa hanya dihargai murah.
BACA JUGA Medan, Kota Para Ketua atau esai-esai menarik lainnya di rubrik ESAI.