Jangan-Jangan, Pencetus Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran adalah Tan Malaka

MOJOK.CO Sudah alim, progresif pula. Ini dia: Tan Malaka, inspirator lahirnya gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang revolusioner sesungguhnya!

Menurut data dari Komite Perlindungan Anak Indonesia dan Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 lalu, tercatat sebanyak 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah. Menyikapi hal ini, opsi melulu yang ditawarkan oleh para social justice warrior a.k.a SJW adalah satu: menghendaki pendidikan seks sejak dini kepada anak. Ini, sesungguhnya, adalah suatu upaya yang basi dan meniru negara liberal Barat; melanggengkan budaya asing dan aseng, gerakan penghapusan adat Timur yang bermartabat.

Maka dengan gagah lagi saleh, sekumpulan akhi dan ukhti memberikan alternatif lain. Mereka secara masif mengampanyekan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran.

Masyaallah, sungguh suatu perilaku yang mulia menuju terwujudnya total destruction masyarakat madani. Tentu, sebagai alternatif, jalur yang mereka tempuh sangat kreatif dan orisinal. Dengan menawarkan pernikahan muda sebagai jawaban atas semua permasalahan cinta-cintaan remaja, jelas langkah ini adalah usaha yang elegan. Pasalnya, dengan menikah, sepasang remaja bisa indehoy di kosan tanpa takut digerebek warga.

Terus, dampak soal riskannya pasangan muda terhadap perceraian itu gimana, dong? Ah, itu mah urusan lain. Yang penting halal dulu~

Menolak zina dan memilih menikah muda bagi mereka tak ubahnya seperti keluar dari mulut singa, masuk ke lubang buaya berjalan. Sangat nikmat. Dengan cermat, mereka menunjukkan data faktual mengenai perilaku seks bebas yang terjadi di Indonesia beserta akibatnya.

Apa? Soal dalil-dalil agama? Wih jangan ditanya! Jelas, mereka sangat hafal, sampai ke akar-akar. Tentu, dengan tafsir dari ulama konservatif yang mereka anggap final tanpa bisa diganggu gugat.

Fakta di lapangan sudah, dalil ayat suci sudah. Jadi, tidak ada lagi alasan untuk menolak gerakan ini. ITP, Indonesia Tanpa Pacaran, lantas menjadi mutlak. Sangat mbois memang.

Tapi siapa sangka, konsep gerakan Indonesia Tanpa Pacaran ini diinspirasi oleh Tan Malaka, seorang aktivis revolusioner yang pertama kali memberikan konsep republik bagi Indonesia lewat buku Naar de Republiek Indonesia (1925). Duh, sudah alim, progresif pula!

Jadi ceritanya begini:

Suatu hari, Adam Malik bertanya kepada Tan Malaka, “Bung, apa Bung  pernah jatuh cinta?”

Tan, seperti ditulis Adam dalam Mengabdi Republik, langsung menjawab, “Pernah. Tiga kali, malahan. Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali lagi di Indonesia. Tapi, ya, semua itu—katakanlah—hanya cinta yang tak sampai. Perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan.”

Hadeeeh, perempuan mana tak meleleh mendengar kalimat itu? Tapi, sebagai seorang pemuda cerdas dan berkarisma, ia memang bukan sembarang jomblo. Jadi, tidak usahlah ia disama-samakan dengan pengertian jomblo mainstream.

Sebagai anak lelaki tertua di keluarga Simabur, Tan Malaka yang saat itu belum genap  berusia 17 tahun harus menerima gelar Datuk sebelum ayahnya meninggal. Dan jika Tan menolak, ibunya memaksa agar Tan menikah. Dengan alasan ideologis, ia lebih memilih opsi pertama: Tan menyerah dan menerima gelar tertinggi dalam adat Minang itu.

Sejak itu, nama lengkapnya berubah menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Sebagai datuk, ia membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta penobatannya, pada 1913, digelar tujuh hari tujuh malam.

Namun ternyata, penolakan perjodohan Tan bukan alasan ideologis semata—nyatanya, telah ada ukhti lain di hatinya. Adalah Syarifah Nawawi yang telah merebut hati sang revolusioner ini.

Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Bahkan ketika ditanya oleh Poeze mengenai hubungan mereka, Syarifah menjawab “Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh.”

:(((

Karena dianggap aneh oleh orang yang ditaksirnya, ada yang berpendapat Tan menjadi Marxis sebab kegagalannya dalam cinta pertama. Dia  menjadi amat anti-borjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya.

Hmmm, memang ya, urusan hati ini sulit sekali.

Tan kemudian mulai membuka hatinya untuk gadis lain: Fenny Struyvenberg, mahasiswi Jurusan Kedokteran berdarah  Belanda. Dia terlihat sering datang ke pondokan Tan. Dengan Fenny, Tan kabarnya menjalin hubungan cukup serius.  Fenny bahkan sempat ke Indonesia menyusul Tan, tapi sungguh malang, kisah cintanya kembali kandas.

Persoalan hati Tan tidak berhenti sampai di situ, Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan menulis nama-nama perempuan di sekitar hidupnya. Namun, tak ada penjelasan apakah hubungan itu juga dilandasi cinta.

Di Kanton, misalnya, ia menyebut “Nona Carmen”, anak  perempuan rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina dan mengajarinya bahasa Tagalog. Lagi-lagi, Nona Carmen yang bersahaja tidak mampu meruntuhkan tembok keperjakaan Tan.

Ya, mereka terjebak dalam friendzone!

Sesudah Proklamasi 1945, Tan yang tak lagi klandestin, tersiar punya hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrachman. Perempuan 25 tahun ini merupakan keponakan Menteri  Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Tapi, suasana politik yang belum stabil membawa Tan Malaka kembali bersembunyi dari kejaran kempetai Jepang.

Akhirnya, cinta mereka tidak benar-benar berujung pada pernikahan yang sah.

Mendengar lika-liku perjalanan cinta Tan semestinya kita patut menanggung malu: ia memilih jomblo bukan karena menghindari perkara remeh temeh semacam kegagapan membendung hasrat seksual. Malah, ia memilih jalan kejombloan sebab perkara yang luar biasa: separuh hidupnya digunakan untuk memerdekakan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme.

Sungguh, jika semua pemuda adalah Tan, barangkali ITP akan berubah lema dari Indonesia Tanpa Pacaran menjadi INDONESIA TANPA PENINDASAN! MERDEKA!

Exit mobile version