[MOJOK.CO] “Konon peci sangga langit Kiai Faizi bukti bahwa beliau kebal.”
Perkara peci—yes, peci hitam ala Sukarno itu—jelas tak sesederhana alat salat yang berfungsi untuk menahan rambut tergerai ke jidat dalam sujud. Faktanya, selain peci tetap saja digunakan oleh orang-orang botak yang tak membutuhkan penahan rambut dalam salatnya, ia pun banyak dipakai di luar kegiatan-kegiatan keagamaan. Mulai dari kelengkapan diri saat menghadiri pengajian, sripahan, hingga bertamu dan jalan-jalan.
Bagi sebagian orang dan tradisi, contohkan saja Madura, posisi strategis peci bahkan jauh melampaui hal-hal yang barangkali dianggap lebih vital, pada sarung misalnya. Cobalah Anda jalan-jalan ke desa-desa di pedalaman Madura, amatlah lazim Anda menjumpai orang-orang sedang berjalan atau mencangkul dengan peci di kepala dan bawahannya hanya bercelana pendek atau tengah memanjat pohon kelapa dengan kepala berpeci dan tentunya bercelana pendek.
Pada peristiwa-peristiwa demikian, peci terlihat jauh lebih eksistensial ketimbang elemen-elemen kepantasan lainnya. Ya, misalnya sarung tadi. Kondisi digunakannya peci tersebut memperlihatkan situasi kultural yang berbeda dengan lokasi-lokasi tradisi lain, yang tentu saja afdalnya jangan dipandang atas bawah atawa hitam putih. Ndak mumet ndyasmu, Lur….
Soal bentuk peci pun, ada berbagai model yang di dalamnya tersemat pula nilai-nilai eksitensial tertentu.
Baiklah, kali ini, saya akan menjadikan sahabat dan guru saya sendiri, Kiai M. Faizi, pengasuh sebuah ponpes di ujung barat Sumenep, sebagai simbol terbesar dari kedalaman eksistensial peci itu.
Begini. Kiai Faizi ini, sebagaimana pernah saya tuturkan di “resensi manusia” sebelumnya, adalah kiai tradisional dalam artian sesungguhnya: tempat pondoknya di desa, postur bangunan hingga metode pengajarannya juga tradisional, dan tentu pula nilai-nilai tradisi yang berdenyar di dalamnya. Namun, karena Kiai Faizi ini lengkap secara keilmuan dan pergaulan—santri iya, sarjana iya—wajar belaka bila akulturasi tradisi kemodernan (sekuler) juga melimpasnya.
Ia sangat ahli dalam jagat perbisan (ingat, beliau adalah kiai khos Bismania), mumpuni luar biasa dalam permusikan (pengetahuan dan main musiknya sendiri)—sampai pernah bikin tercengang kawan-kawan Saltis Band di Sumenep, juga penulis-cum-sastrawan, wabilkhusus penyair. Ia adalah tradisionalis yang telah bertransformasi sedemikian tak terbatasnya hingga ke negeri-negeri jauh.
Kurang transformatif apa coba beliau ini?
Jelas kaffah. Akan tetapi, yang sangat saya takjubi pada konteks ini, kepala beliau selalu lekat dengan pecinya. Selalu! Kecuali pas lagi mandi dan garuk-garuk kepala.
Sebentar, agar Anda lebih mantap dengan statemen tersebut, saya ingin menggambarkannya dengan skema filosofis Immanuel Kant kepada peci kiai satu ini: umpama peci adalah “fenomena” bagi kepala Kiai Faizi, keseluruhan “nomena” Kiai Faizi takkan sempurna tanpa pantulan fenomena kasat mata tersebut. Kiai Faizi tanpa peci bukanlah “nomena”-nya, melainkan hanya sebuah taqiyuddin, eh taqiyah. Allahuakbar!
Ketika beliau sedang ke Jerman beberapa tahun silam, peci selalu melekat di kepalanya. Sudah pasti, buat para bule di negeri sekuler itu, fenomena tersebut amatlah ganjil sekaligus menarik. Sekilas, mungkin saja virus “ekstremisme Islam” dilirikkan kepadanya, tetapi demi kemudian melihat keramahan dan kesumehannya kepada semua orang di sekitarnya—beliau doyan senyum lho—apatisme itu rontok. Ia dikabarkan disukai oleh banyak bule dibanding sejumlah residen asal Indonesia lainnya. Sebabnya, apa lagi kalau bukan peci yang jadi pintu masuknya.
Soal bentuk, peci Kiai Faizi standar saja. Lazimnya yang dipakai orang-orang. Namun, jangan salah, beliau ternyata juga menyimpan satu “peci sangga langit”: ukurannya tinggi sekali, nyaris satu setengah jengkal tangan dewasa. Anda bisa bayangkan, betapa eksotisnya melihat orang mengenakan peci tinggi seperti itu.
Konon, peci tinggi begitu adalah peci khusus: dipesan khusus ke daerah Dungkek di timur Sumenep dan hanya dimiliki oleh kaum balater. Istilah terakhir menunjuk kepada kelompok “santri-preman” atawa orang-orang desa yang pernah nyantri/ngaji ke seorang kiai lalu besarnya jadi preman. Sejenis itu.
Peci sangga langit ini sudah menjadi semacam karakter khas bagi kelompok yang teridentifikasi dekat dengan perilaku kekerasan. Jika Anda berpapasan dengan mereka di jalanan atau pasar, hindarilah segala bentuk kontak negatif. Ini untuk kebaikan Anda dan rencana pernikahan Anda yang hanya Tuhan yang tahu kapan terwujud.
Tentu jadi pertanyaan besar di hati kita, juga saya, bagaimana bisa Kiai Faizi yang bergenetika baik, kalem, dan santun begitu kok bisa punya peci balater ya?
Nah, ini lagi letak keunikan sekaligus kejeniyesan Kiai Faizi.
Di saat umumnya dai jaman now menyerang kelompok-kelompok yang dianggapnya “sesat” atas nama kekudusan Islam, Kiai Faizi istiqamah menghidupkan teladan Wali Songo. Yakni, memasuki alam sasaran dakwahnya. Meletakkan diri sebagai bagian di dalamnya, sembari secara lembut meniupkan nilai-nilai dakwah islamiah. Sudah pasti, seiring jalannya waktu, terjalinlah relasi batin yang mendalam antara kiai dan jamaahnya, plus tentunya internalisasi ajaran-ajaran keislaman yang diusungnya.
Kiai Faizi mendapatkan peci sangga langit itu sebagai hadiah dari santri balater-nya. Dan tentu itu bukan sesuatu yang main-main. Itu adalah sebuah penghormatan besar, ketakziman. Bayangkan, kaum preman yang susah diatur memberikan hormat tingginya kepada Anda, begitulah nilai eksistensial peci sangga langit Kiai Faizi.
Syahdan, ada yang meriwayatkan bahwa peci sangga langit Kiai Faizi menyimbolkan penguasaan ilmu kanuragannya yang memang tak pernah ditunjukkannya dalam bentuk apa pun dan kapan pun. Ya, sejenis ilmu kebal bisa manjat pohon tanpa pegangan atau hidup tanpa uang. Begitulah.
Riwayat terakhir ini memang tak bisa saya verifikasi. Tapi, saya percaya saja. Toh bukankah orang yang sungguh-sungguh kebal sejati adalah orang yang tidak punya musuh? Kiai Faizi jelas di situ posisinya. Selalu di situ.