Pati Ora Sepele: Gelombang Kemarahan Rakyat Tidak Lagi Bisa Dibendung, Demo Besar Berjalan untuk Melawan Arogansi Sang Bupati

Rakyat Pati Sakit Hati, Tantangan Bupati Melukai Harga Diri MOJOK.CO

Ilustrasi Rakyat Pati Sakit Hati, Tantangan Bupati Melukai Harga Diri. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBupati Pati seakan-akan lupa bahwa harga diri adalah hal yang utama bagi rakyat. Kini, dia akan menghadapi gelombang besar kemarahan.

Pati dan perlawanan. Terkadang keduanya tampak sulit dipisahkan. Begitulah yang saya rasakan sebagai orang yang tumbuh dan besar di kabupaten pesisir utara Jawa itu. Identitas perlawanan bagi orang Pati seperti sudah melekat dalam DNA kebudayaan masyarakat di sana.

Nama-nama seperti Adipati Pragola Pati, Saridin yang kukuh dengan gaya satire dalam menolak formalisme yg kaku, Syekh Mutamakkin yang tidak mau tunduk dengan narasi agama Kasunanan, Samin Surosentiko yang kita tahu gigih melawan kolonial hingga Yu Patmi, yang gugur saat aksi menolak pabrik semen dengan memasung kakinya menggunakan cor beton di depan Gedung DPR RI pada 2017, masih melekat di ingatan kita. 

Namun hari ini, perlawanan itu disulut kembali. Bukan dari ancaman luar seperti Adipati Pragola Pati ketika menghadang dominasi Mataram, melainkan dari kesadaran kolektif atas kebijakan yang mencekik warganya sendiri, yang dilakukan oleh sang bupati.

Bupati Sadewo yang memulai

Jagat media sosial nasional beberapa hari ini diramaikan oleh perlawanan masyarakat Pati terhadap kebijakan non-populis yang dilakukan Bupati Sadewo. Sebuah kebijakan yang sungguh tidak masuk akal, karena bupati yang baru menjabat beberapa bulan itu menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Dengan alasan perda yang sudah ditetapkan dan kosongnya kas daerah akibat pemerintah sebelumnya, kebijakan itu diambil secara sembrono.

Tentu saja, kebijakan ini memancing amarah warga. Di tengah situasi ekonomi sulit, Sadewo seolah tidak berempati pada warganya.

Kebijakan tersebut memicu banyak reaksi masyarakat di akar rumput. Persis di awal tahun kebijakan itu diberlakukan, ibu saya mengeluh karena pajak rumah dan sawah naik drastis. 

Tidak hanya ibu saya, sebagian besar orang di kampung juga merasa kebijakan itu mencekik. Namun, seperti biasa, masyarakat akar rumput hanya bisa menyuarakan keresahan di antara sesama mereka. 

Bahkan pemerintah desa yang menjadi perpanjangan tangan negara tampak tak berdaya. Mereka tidak mampu memberi penjelasan mengapa pajak, yang selama ini menjadi satu-satunya instrumen penghubung rakyat dan pemerintah, tidak mempertimbangkan kondisi sulit warganya.

Mengabaikan aspirasi masyarakat Pati

Sadewo bergeming. Dengan dalih percepatan pembangunan, dia tetap kukuh pada kebijakannya. Aspirasi masyarakat diabaikan. Aksi mahasiswa pun tidak digubris. 

Hingga akhirnya, gelombang protes yang menyebar di media sosial tak terbendung. Wacana aksi besar bertepatan HUT ke-702 Pati pun diinisiasi. Mendengar kabar itu, Sadewo malah mengeluarkan pernyataan menantang:

“Kalau hanya 5.000 atau 50.000 orang saja, saya tidak akan mengubah kebijakan yang sudah saya tetapkan.”

Pernyataan itu seperti menyulut api di tumpukan jerami. Amarah masyarakat membara. Izin aksi segera diajukan, posko donasi dibuka di depan kantor bupati, dan sejak izin aksi keluar, gelombang donasi, terutama air mineral, terus berdatangan. Halaman kantor bupati pun dipenuhi tumpukan galon air hingga nyaris menutup jalan.

Menyulut amarah warga Pati

Tindakan ceroboh berikutnya datang dari Satpol PP, yang atas perintah Plt. Sekda Riyoso, mencoba mengamankan air donasi. Riyoso turun langsung ke jalan bersama aparat, berhadapan dengan massa di posko. Keributan pun pecah. 

Kang Husain, koordinator Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, mengadang Riyoso dan bahkan menantangnya. Peristiwa itu viral, memancing perhatian publik nasional, dan membuat Pati menjadi sorotan utama media.

Dalam hal ini, Bupati Sadewo dan jajarannya lupa bahwa warga Pati memiliki identitas pejuang yang oleh sejarah tak diragukan lagi. Tekanan dan tantangan justru melecut semangat perlawanan. Hal itu terbukti ketika kantor Satpol PP digeruduk massa yang menuntut pengembalian air donasi. Walaupun akhirnya air itu dikembalikan, gelombang aksi terus membesar berkat arus aktivisme digital yang masif.

Bobroknya sistem birokrasi di Pati

Dalam titik tertentu, kebijakan Sadewo mungkin bisa dipahami. Bayangkan, Kabupaten Pati, kabupaten terluas nomor empat se-Jawa Tengah, hampir beberapa dekade mengalami stagnasi pembangunan. 

Jalan daerah rusak parah, struktur birokrasi gemuk dan tidak efisien, serta sejumlah proyek mangkrak seperti Plaza Pragolo, revitalisasi alun-alun, hingga fasilitas RSUD Suwondo yang rusak parah. Semua itu menjadi alasan munculnya kebijakan yang tidak berempati ini.

Namun, sebagai pemegang KTP Pati, saya tahu ada masalah struktural yang lebih dalam: birokrasi yang bobrok, praktik jual beli jabatan yang dianggap wajar, dan korupsi yang menjamur. Akibatnya, pendapatan daerah hanya bertumpu pada pajak PBB.

Sadewo dihadapkan pada pilihan sulit: menunaikan janji politiknya berupa percepatan pembangunan atau membiarkan kas daerah yang minus. Namun dia ceroboh dengan memilih jalan pintas, yaitu menaikkan pajak hingga 250 persen. 

Dia lupa bahwa pajak adalah isu sensitif, apalagi di mata masyarakat yang merasa negara jarang hadir untuk mereka. Saat warga selama ini dibiarkan keleleran memperjuangkan hidupnya sendiri, tiba-tiba pajak besar mereka harus bayar.

Tantangan yang berujung kemarahan

Kemarahan warga Pati bukan sekadar soal kenaikan pajak, tetapi juga karena tantangan yang dilontarkan bupati. Harga diri adalah hal utama bagi orang Pati. Semakin ditekan, mereka semakin keras melawan.

Sejarah mencatat Adipati Pragola I dan II menolak tunduk pada Kesultanan Mataram, karena Pati dan Mataram sejajar. Identitas itu terus dirawat, salah satunya lewat seni ketoprak.

Ungkapan “Pati ora sepele” yang muncul dalam aksi kali ini bukan sekadar slogan; ia adalah manifestasi identitas masyarakat. Pilihan Sadewo kini hanya dua: menurunkan pajak atau siap ditumbangkan.

Saat tulisan ini dibuat, kabarnya Sadewo sudah membatalkan kebijakan kenaikan pajak. Namun, gelombang massa tak surut. Donasi terus berdatangan, dan aksi tanggal 13 Agustus tetap dinanti. 

Nasi sudah menjadi bubur, dan sepertinya Bupati Sadewo harus bersiap melihat ratusan ribu warga memenuhi Alun-alun Pati, melanjutkan tradisi panjang perlawanan terhadap penguasa yang tak memikirkan rakyatnya. Salam damai.

Penulis: Doel Rohim

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Julukan Pati “Bumi Mina Tani” Sudah Nggak Cocok Lagi, Ganti Saja Jadi Pati “Bumi Wani”: Wani tapi Ngawur! Dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version