MOJOK.CO – Dear Pak Luhut yang selalu memikirkan warga, bukan investor. Warga Lebak Banten itu sudah sangat lama menderita, lho.
Libur Lebaran sudah usai. Saatnya melanjutkan kembali rutinitas kehidupan di ibu kota tercinta. Tapi, tahukah Anda, Pak Luhut, batin ini sepertinya masih merasakan kegalauan saat mudik ke Rangkasbitung, Lebak, Banten beberapa hari yang lalu.
“Mudik lebaran kali ini enak ya, Kel”, ujar saya kepada Maikel, yang duduk menyetir di samping saya. Pak Luhut, Maikel ini adalah keponakan istri saya, sekaligus warga Rangkasbitung asli yang menjemput kami di Bekasi, untuk mudik ke rumah orang tua di Rangkasbitung, Banten.
“Enak gimana Om?”, tanya Maikel.
“Iya, sekarang sudah ada Tol Serang Panimbang yang bisa keluar langsung di Rangkasbitung. Dari Bekasi sekarang bisa sampai ke Rangkasbitung dalam waktu dua jam saja. Tolnya juga sepi dan lancar banget. Cuma satu atau dua mobil yang kadang-kadang berbarengan sama kita.”
Maikel tidak berkata apa-apa, Pak Luhut. Namun, sekilas, saya melihat senyum kecut penuh arti. Belakangan, saat keluar tol Rangkasbitung, saya jadi paham arti senyumannya itu.
Ongkos yang terlampau mahal untuk warga Lebak Banten
Cring!
Enam puluh empat ribu rupiah! Itu adalah biaya yang harus terpotong dari kartu tol saya untuk keluar tol di Rangkasbitung, Pak Luhut. Mahal banget!
“Ini bener, Kel? Tarif tolnya semahal ini?”
“Iya Om.”
“Lha, berarti kamu kalau kerja tiap hari bolak-balik Rangkasbitung-Tangerang harus bayar tol hampir Rp150.000 per harinya?”
“Hehehe… saya ngekos, Om. Dan itu juga nggak lewat tol ini. Saya lewat jalan biasa saja. Kalau harus lewat tol tiap hari ya nggak cukup gaji saya, Om. Rata-rata warga Rangkasbitung, Lebak, memang jarang lewat tol ini.”
Walah. Ternyata keponakan saya ini walau punya mobil ternyata nggak mampu memanfaatkan tol baru nan mulus ini. Lalu, kalau sudah begitu, Pak Luhut, apa gunanya Tol Serang Panimbang ini kalau rakyat Lebak, Banten, khususnya Rangkasbitung tidak mampu bermobilitas menggunakan tol ini?
Saya sangat paham taraf perekonomian warga Rangkasbitung, khususnya warga asli. Bagi mereka, tarif tol Serang Panimbang sungguh terlalu mahal untuk sekadar bermobilitas rutin ke kota-kota sekitar. Pantas saja tol ini begitu sepi seperti jalanan menuju kota mati!
Proyek nasional dan pandangan Pak Luhut
Tol Serang Panimbang mempunyai panjang 83,67 kilometer. Saya paham, Pak Luhut, kalau jalan tol ini merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah Provinsi Banten, hasil kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dengan total investasi sebesar Rp8,58 triliun.
Jalan tol ini mulai dikerjakan pada 2018 dan selesai 2024. Yang bertanggung jawab atas pembangunan ini adalah Kementerian PUPR. Tol Serang Panimbang ini mempunyai tiga seksi. Seksi 1 meliputi Serang-Rangkasbitung (26,5 kilometer). Lalu, Seksi 2, adalah Rangkasbitung-Cileles (24,17 kilometer). Terakhir, Seksi 3 antara Cileles-Panimbang (33 kilometer). Yang sudah selesai dan beroperasional baru Seksi 1 saja.
Nah, saya mendengar kalau Pak Luhut, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yakin kalau tol ini akan memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk berwisata ke kawasan Tanjung Lesung.
“Tol yang jadi jalan ke Tanjung Lesung kita dorong. Di situ akan jadi wisata baru. Ini selesai akhir tahun ini atau (paling lambat) awal tahun depan,” kata Pak Luhut sebagaimana dikutip oleh DetikFinance.
Oh, gitu ya, Pak? Jadi prioritasnya untuk wisata? Untuk turis? Pantas saja tarif tol Seksi 1 yang exit di Rangkasbitung harganya bisa semahal itu. Rupanya peningkatan hak mobilitas warga Lebak Banten bukan target utama dan sangat terabaikan dalam proyek ini.
Mobility Right atau yang lebih terkenal dengan istilah Freedom of Movement itu merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati secara universal. Pak Luhut, pemerintah seharusnya menjadikannya pembangunan Tol Serang Panimbang sebagai momentum. Khususnya untuk menunjukkan kepedulian kepada rakyat Lebak Banten yang selama ini kesulitan melakukan perjalanan di dalam maupun keluar wilayahnya. Tarif tol yang mahal sungguh tidak mencerminkan kepedulian itu.
Kepentingan siapa yang menjadi prioritas, Pak?
“Aku terlalu banyak menderita”. Itu sepenggal kalimat Multatuli, yang merupakan nama samaran Eduard Douwes Dekker, penulis buku terkenal Max Havelaar (1860). Dia juga adalah mantan Asisten Residen Lebak di Rangkasbitung dan pengkritik keras kebijakan kolonial Belanda. Salah satunya adalah kebijakan sistem tanam paksa yang hasilnya hanya menguntungkan pemerintah kolonial dan mengabaikan kesejahteraan rakyat Lebak Banten itu sendiri.
Rakyat Lebak, Banten, telah banyak menderita karena kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Mereka hanya dijadikan “sapi perah” yang siap pecut dan gampang dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi orang kaya, tanpa berani melawan.
Bukan maksud saya menganalogikan secara apple-to-apple kondisi rakyat Lebak Banten yang tereksploitasi pada masa lalu dengan kondisi sekarang. Memang, Pak Luhut, pemerintah Indonesia saat ini begitu getol membangun berbagai infrastruktur yang menuntaskan sejumlah problem keterbelakangan dan ketertinggalan bangsa. Tapi apa yang ditulis oleh Multatuli dalam Max Havelaar menunjukkan adanya riwayat pengabaian oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap kepentingan rakyat Lebak, Banten.
Ingat, “Mengembangkan perekonomian Lebak Banten sebagai daerah tujuan wisata dan memudahkan turis-turis dari Jakarta mencapai daerah tersebut,” adalah premis pembangunan Tol Serang Panimbang.
Kepentingan utamanya adalah pemodal, pengusaha industri wisata, turis, dan mungkin pemerintah sendiri. Seolah tidak terpikir bahwa rakyat Lebak Banten selama ini relatif “terisolir” karena miskinnya infrastruktur jalan yang seharusnya bisa menghubungkan mereka dengan kota-kota sekitar seperti Tangerang, Jakarta dan Bogor.
Jadi, Pak Luhut, nggak heran jika warga Lebak Banten begitu tertinggal dalam berbagai bidang pembangunan, pendidikan, perdagangan, apalagi industri yang seharusnya bisa memberi lapangan kerja yang luas bagi mereka.
Warga Lebak Banten yang menderita sejak dulu
Sepuluh tahun lalu, saya pernah naik semacam angkot dari Sumur Panimbang saat beberapa anak sekolah SMA berangkat sekitar pukul delapan pagi. Tadinya saya pikir sekolah mereka hanya beberapa kilometer saja dari rumah.
Namun, setelah beberapa jam bersama di angkot dengan menempuh jarak hampir 60 kilometer, ternyata mereka baru sampai di depan sekolah di Labuhan sekitar pukul 12 siang. Lha, kalau baru jam segitu mulai belajar, jam berapa mereka pulang dan jam berapa sampai di rumah lagi?
Belum lagi kasus yang pernah viral dan disiarkan oleh berbagai media internasional. Pak Luhut masih ingat ketika beberapa anak SD di Lebak tertangkap kamera sedang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk sampai ke sekolahnya dengan bergelayutan di jembatan tali yang rapuh ala Indiana Jones melintasi sungai yang deras, berbatu dan sangat berbahaya?
Supaya bisa terhubung dengan “dunia luar”, memang ada akses KRL atau commuter-line dari Rangkasbitung ke Tanah Abang. Namun, saran saya, jangan terlalu berharap sama jalan provinsi. Kualitas aspalnya buruk, masih ditambah kesibukan truk pengangkut pasir basah yang berkontribusi terhadap rusaknya jalan. Dari tahun ke tahun, kondisi jalan yang mulus hanyalah merupakan impian warga Lebak banten.
Sekadar udar rasa untuk Pak Luhut
Pak Luhut, apakah dengan membangun akses tol ke daerah wisata, masalah keterbatasan mobilitas rakyat Banten dapat teratasi? Betulkah daerah wisata akan menciptakan lapangan kerja luas bagi rakyat Lebak? Memangnya kita berharap bahwa mayoritas rakyat Lebak akan berduyun-duyun bekerja di industri wisata sehingga perekonomian daerah meningkat?
Beberapa tahun lalu, warga Lebak Banten seperti mendapatkan kabar baik. Sebuah kabar yang kelak akan membuat hidup mereka lebih cerah. Iya, ini kabar soal pembangunan tol melintasi daerah Lebak. Sayang, ketika tarif tol yang tinggi disodorkan untuk para pengguna, harapan indah itu sirna. Menjadi sekadar harapan palsu karena ternyata “hadiah” itu memang bukan untuk warga.
Bapak Luhut, bisakah tarif tol selangit itu disesuaikan-ulang untuk meningkatkan mobilitas rakyat Lebak? Kalau tidak bisa, tolonglah fasilitasi rakyat dengan transportasi massal yang terjangkau seperti bus antar-kota yang memanfaatkan tol baru itu, atau apalah solusi kreatif lainnya.
Ayo, Pak, kasih kabar baik buat rakyat Banten. Saya sangat yakin kalau Anda adalah menteri yang hebat dan selalu memikirkan semua rakyat. Buktinya, Bapak mendapatkan kepercayaan penuh dari Pak Presiden untuk memegang banyak jabatan. Itu bukti kalau Bapak selalu memikirkan nasib rakyat, bukan investor. Ya, kan, Pak!
Penulis: Toto Suprianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Luhut Binsar Panjaitan itu Orang Baik dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.