Pak Luhut Ke Mana Aja, Kok Baru Nyuruh Anak Muda Peduli soal Perubahan Iklim?

Ealah. Justru anak muda lah yang sudah minta orang-orang kayak Pak Luhut lebih peduli soal perubahan iklim sejak dari duluuu kalaaa.

Pak Luhut Ke Mana Aja, Kok Baru Nyuruh Anak Muda Peduli soal Perubahan Iklim

Ilustrasi Pak Luhut. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Pak Luhut meminta anak muda untuk peduli dengan perubahan iklim. Hm, ketika ada masalah global begini, rakyat lah yang harus tanggung jawab.

Saat masih jadi jurnalis dulu, saya kerap mewawancarai banyak pejuang lingkungan di Surabaya. Bahkan, ada beberapa kampung yang tidak hanya sudah zero waste, tapi mengubahnya menjadi kas kampung.

Kebetulan, media harian tempat saya bekerja dulu pernah menggelar Surabaya Green and Clean, bekerja sama dengan Pemkot Surabaya untuk membuat semacam lomba kebersihan antar-kampung se-Surabaya.

Hasilnya dahsyat-dahsyat. Di kampung-kampung Surabaya, jarang ada rumah yang tak punya tanaman. Soal kebersihan pun patut diacungi jempol.

Urutan cerita keberhasilan itu seperti ini: para tokoh masyarakat diberi sosialisasi, terus ajakan para tokoh (yang rata-rata sepuh) itu disambut baik ke generasi mudanya. Gerakan ini tidak hanya menyentuh remaja-remaja yang aktif karang taruna, tapi juga sampai ke anak-anak.

Kenapa saya berani bilang seperti itu? Saya beberapa kali menemani juri yang sengaja menguji tingkat kesadaran lingkungan sampai sejauh mana. Caranya, dengan ketika berkeliling dan kemudian berdialog dengan anak-anak, juri pura-pura membuang bungkus permen sembarangan.

Hasilnya? Anak-anak itu langsung mengambil bungkus dan membuangnya ke tempat sampah, dan beberapa kali jurinya malah diomelin.

Artinya, kesadaran anak muda—bahkan anak kecil—jauh lebih tinggi ketimbang yang tua. Ada banyak survei yang membuktikan hal tersebut. Ini belum kita sebut nama Greta Thunberg, anak muda yang suaranya begitu keras bergaung terkait perubahan iklim.

Artinya, saya agak terkejut ketika Oktober 2021 lalu, Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan memberikan pernyataan ke sejumlah media, dengan judul besar seperti ini: “Luhut Meminta Anak Muda Beri Perhatian Khusus ke Perubahan Iklim”.

Saya baca sampai penuh, karena siapa tahu Pak Luhut yang dikenal sakti mandraguna, memberikan solusi tepat guna untuk mengatasi perubahan iklim. Setidaknya, paling tidak, ketika ada seorang anak muda yang menemukan pencemaran lingkungan oleh industri, atau kerusakan lingkungan, maka boleh mengadu ke Pak Luhut dan langsung ditindak seketika itu juga.

Tapi, ternyata tidak ada apa pun dalam pernyataannya. Dalam berita tersebut, Pak Luhut hanya bilang bahwa saat dia muda dulu belum ada kesadaran akan climate change.

“Harapan saya anak muda bisa berkarya menangani serius soal hal ini, dulu zaman saya tidak dianggap penting, sekarang tidak bisa diabaikan climate change ini, jadi masalah,” ujar Pak Luhut sebagaimana dikutip banyak media.

Pak Luhut juga mengatakan bahwa anak muda sekarang sangat mudah beradaptasi, sehingga bisa mengikuti gaya hidup yang rendah karbon.

Selain itu, tutur Pak Luhut, pemuda yang memiliki karakter idealis, inovatif, dan terhubung di mana saja, bisa jadi kunci menangani perubahan iklim. “Pemuda mudah beradaptasi dan cepat mengikuti gaya hidup rendah karbon dan pilihan karier sebagai bagian kehidupan sehari-hari mereka,” ucap dia.

Nah, sudah paham untuk tidak paham kan? Bingung kan? Sama.

Bagaimana karakter idealis, inovatif, dan terhubung-di-mana-saja bisa menangani perubahan iklim? Lalu, seperti apakah maksud gaya hidup rendah karbon dan pilihan karier sebagai bagian kehidupan sehari-hari mereka?

Jadi, begini. Bumi kita adalah sebuah dunia yang rentan. Entah karena kesambit meteor, entah kesedot lubang hitam, entah tiba-tiba magnetnya ngadat dan berhenti memberi perlindungan dari matahari, ozon yang robek di sana-sini, entah karena bakteri purba berbahaya yang selama ini membeku di Antartika terlepas karena esnya mencair dan menjadi pandemi baru, entah karena over-populasi manusia, dan sebagainya.

Namun, dalam kasus perubahan iklim, yang menjadi biang keladi adalah manusianya sendiri. Lepas dianggap sebagai sistem ekonomi terbaik dari yang terburuk, kapitalisme sangat mengagungkan pertumbuhan skala. Dan ini akan membawa banyak eskalasi kerusakan lingkungan yang luar biasa. Celakanya, kerusakan yang dibuat manusia sudah melampaui ambang batas (tipping point).

Jika ada uang lebih, cobalah beli buku “Bumi yang Tak Bisa Dihuni” tulisan dari redaktur New York Magazine, David Wallace-Wells.

Redaktur itu mengumpulkan riset dan fenomena dari seluruh dunia untuk menunjukkan bahwa lingkungan Bumi sudah jelas mengarah pada jalur tak bisa dihuni manusia.

“Lebih buruk, jauh lebih buruk dari yang Anda pikirkan,’’ begitu kalimat pertama David.

Ini bukan sekedar soal naiknya permukaan air laut saja (meski itu sudah parah), tapi ada sesuatu yang jauh lebih parah.

Kita hidup dalam sebuah sistem yang sangat mengeksploitasi lingkungan. Bahkan, jentikan jari untuk menekan saklar lampu sudah memberikan kontribusi kerusakan lingkungan (karena listrik kita kebanyakan menggunakan batu bara sebagai energi-nya). Itulah kenapa ada COP 26, konferensi tertinggi tentang lingkungan untuk mencapai zero emisi pada 2060.

Indonesia? Presiden Jokowi ikut menandatanganinya, namun beberapa hari kemudian Menteri KLH Siti Nurbaya mengeluarkan cuitan kontroversial, di mana Indonesia menolak definisi deforestasi dari negara Barat dan tetap akan melakukannya demi kemandirian bangsa.

Sebuah pernyataan ironi dari seseorang yang seharusnya menjadi garda terdepan upaya penyelamatan lingkungan di Indonesia. Ini masih belum menyoal tentang UU Ciptaker dan pemberian konsesi pengelolaan hutan di Indonesia yang meningkatkan laju deforestasi.

Maka, boleh dibilang pernyataan Pak Luhut dibandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, meminjam istilah yang digunakan Redaktur Lingkungan The Guardian, Damian Carrington, sebagai climate bulshitters. Kelihatan peduli lingkungan di permukaan, menyadari bahayanya, tapi malah terus-menerus melakukan upaya perusakan lingkungan.

Apalagi, seorang Luhut jauh lebih punya kemampuan untuk melakukan upaya pelestarian lingkungan ketimbang seribu pemuda yang cerewet di media sosial. Atau bahkan dari Greta Thunberg sekalipun. Tapi, apa yang dilakukan seorang Luhut dalam konservasi? Semua pihak saya rasa sudah tahu jawabannya.

Jadi apa yang dikatakan Pak Luhut itu memang benar, tapi ya agak mblesek. Luput.

Faktanya, seperti cerita saya di awal tadi, anak muda sekarang jauh lebih tinggi kesadaran soal climate change ketimbang orang-orang tua. Bahkan kesadaran ini pun sampai menjadi tren.

Itu pertama. Kedua, kalau kita mau bicara skala kerusakan lingkungan, pihak paling merusak itu bukan kelakuan anak muda atau individu-individu, melainkan kegiatan skala industri yang mana justru kerap menyeret nama Pak Luhut sendiri di sana. Dari sawit, batubara, peternakan, minyak, perikanan, you name it.

Ketiga, kalau Pak Luhut minta anak-anak muda ini memberikan perhatian khusus soal lingkungan begini, terus anak muda ini disuruh gimana? Datang ke pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan tambang? Bikin demonstrasi menuntut pembubarannya?

Lah, ntar ditangkap polisi, dianggap menghasut dan menghambat kemajuan profit para investor politisi negara? Apa yang harus mereka lakukan untuk menyambut permintaan Pak Luhut ini coba?

Bukan gimana-gimana, Pak. Anak muda disuruh peduli, tapi pejabatnya malah terus keluarkan izin demi izin dalam kerusakan lingkungan.

Kalau Pak Luhut sendiri bingung memulai dari mana soal isu lingkungan ini, jangan khawatir. Sudah dari dulu banyak orang yang juga sama bingungnya.

Setidaknya, David Wallace-Wells (dalam bukunya) sudah mengakui bahwa dirinya tidak tahu solusi konkrit dari permasalahan lingkungan ini. Sebab, masalah ini terlalu global dan dibutuhkan kerja sama semua negara di dunia. Hal yang tampaknya mustahil, karena masing-masing negara punya agenda berskala industri sendiri-sendiri.

Terutama untuk negara yang sedang punya agenda mau pindah ibukota, pembangunan infrastruktur yang arahnya lebih menguntungkan aspek industri ketimbang kebutuhan rakyatnya, dan jadwal kampanye pemilu yang tidak hanya bakal mengotori lingkungan tapi juga mengotori pandangan visual dengan kemunculan baliho sampah di mana-mana.

Tapi, meski begitu, tenang, Pak Luhut. Itu tadi saya bukan sedang ngomongin Indonesia kok.

BACA JUGA Ada Banyak Rupiah di Tumpukan Sampah dan ESAI lainnya.

Penulis: Kardono Setyorakhmadi

Editor: Ahmad Khadafi

 

Exit mobile version