Ala-ala opening cerpen tahun 2000, saya buka tulisan ini dengan pisuhan: “Asssuuuuuuuuu!!! Ayooo, kapan mau jihad ke kantor pajak?!”
Tahun 2016. Kebetulan, waktu itu saya sedang riyadhah. Nah kan, jadi riya. Di sebuah pantai yang niscaya tak pernah ingin kau dengar namanya, di tepi laut yang amat jauh, sunyi, senyap, pekat, gelita, bersanding dengan hutan lebat yang masih menyimpan banyak ular, dan biawak. Bahkan sesekali saya dengar auman macan kumbang di malam buta.
Pagi baru saja mekar saat utusan dari pondok itu membawa pesan dari istri bahwa perusahaan saya yang bergerak di bidang penerbitan buku dituntut utang pajak sebesar 650 jutaan.
Saya baca surat-surat dari kantor pajak itu. Tak banyak paham saya kecuali banjiran angka tagihan plus ancaman denda 2% per bulan (itu artinya 13 jutaan/bulan) serta kalimat-kalimat medeni yang membuat saya bengong. Intinya, saya diklaim menunggak PPN buku tahun 2014.
Riyadhah lebih dari sebulan itu saya tuntaskan. Dan pada suatu Jumat yang basah datanglah saya ke kantor pajak. Menjumpai seorang supervisor yang katanya menangani pajak saya.
Pada pertemuan itu rembukan mengerucut begini.
Saya minta penjelasan, kenapa tiba-tba ada tagihan PPN sebegitu mengerikan yang sangat mengancam keberlangsungan cash flow saya? Apa dasar pengenaan PPN kepada semua judul yang saya terbitkan?
Pada poin ini, katanya, sebelum dimunculkan klaim utang pajak tersebut sudah berkali-kali kantor pajak mengirimkan surat kepada saya. Surat itu tak pernah sampai ke tangan saya! Demi Tuhan tak pernah saya terima.
“Jadi, prosedurnya memang begitu, Pak,” katanya, “Kalau Wajib Pajak tak merespons dalam kurun tertentu, otomatis yang dijadikan dasar klaim tagihan ialah perhitungan kami.”
Saya lalu mengisahkan kepadanya bahwa kasus tersebut terjadi bukan karena saya mengabaikan surat-surat kantor pajak, tapi staf yang saya pasrahi ngurusi perpajakan ternyata ngemplang uang pajak saya.
Begini, Pak. Sebab saya awam benar soal pajak, saya minta seorang staf untuk mengurusnya. Ia bermitra dengan seorang konsultan pajak yang ternyata abal-abal. Namanya Bu Bajingan. Nah, tiap bulan saya bayar biaya konsultasi. Juga saya berikan sejumlah uang untuk membayar tagihan pajak setiap bulan kepada staf tersebut. Ternyata, sejak 2014 uang-uang pajak itu tak pernah ia setorkan. Ditilep! Surat-surat dari kantor pajak ia sembunyikan untuk menutupi perbuatannya.
Petugas itu menuturkan bahwa sudah telat. Sudah kadung di-print surat tagihannya. Tak bisa direvisi. Jadi, nasib orang dikalahkan oleh kertas print. Bagus ….
Saya lalu mempertanyakan kenapa semua buku dikenakan PPN. Bukankah aturannya tak semua judul buku dibebani PPN?
Jawabannya, “Umpama Bapak merespons surat-surat kami dan melakukan klarifikasi sebelum dicetak, pasti takkan terjadi demikian.”
“Apa dasar Bapak mengenakan PPN ke semua judul terbitan padahal Bapak tahu untuk kategori agama, anak, dan pendidikan tak dikenakan PPN?”
“Ya, karena Bapak tidak melakukan tanggapan itu.”
“Berarti Bapak dengan sengaja memasukkan semua judul yang Bapak tahu sebagian besarnya tak dikenai PPN. Berarti Bapak sengaja benar tidak memilah dan memilih dulu antara judul-judul yang bebas PPN dengan yang kena PPN?”
“Kami sudah mencoba melakukannya dengan maksimal, Pak.”
“Faktanya, rincian tagihan Bapak tak ada pemilahan sama sekali, semuanya Bapak bebani PPN. Semuanya. Terus, jumlah penjualan buku yang Bapak bebankan PPN juga atas dasar apa? Misal, novel ini lakunya berapa, dasar datanya dari mana? Main pukul rata saja kan?”
“Ya, itulah data yang terakhir muncul, Pak.”
“Data dari mana?”
“Data yang kami ketahui.”
“Staf saya yang lain sudah memberikan klarifikasi resmi setelah datangnya surat tagihan mengerikan itu, isinya adalah pemetaan judul-judul yang kena PPN dan tidak. Kenapa itu Bapak tolak?”
“Ya sudah telat tadi, Pak, surat tagihan itu sudah kadung kami print.”
Saya diam, kesal dan marah campur aduk. Sampai di sini saya merasa sungguh dizalimi. Satu, oleh staf saya yang melakukan penggelapan pajak tadi. Dua, oleh orang pajak sendiri yang mengabaikan fakta yang terjadi. Mereka ambil mudahnya saja, ngejar omzet belaka, pokoknya semua judul kena PPN, padahal mereka tahu pasti, mayoritas terbitan saya bebas PPN.
Saya minta dipertemukan dengan kepala kantornya. Tapi ngunukuilah: tak di tempat, sibuk, sudah sama saya saja, saya petugas yang menangani masalah pajak Bapak, dll.
Di perjalanan pulang, saya membatin berkali-kali, ya Allah, betapa zalimnya perlakuan orang pajak kepada saya. Bukannya diedukasi, tapi dimanfaatin!
Saya tak segera membayar klaim pajak tak berdasar itu. Dengan harapan akan muncul solusi atau revisi terhadap pengenaan PPN buku yang jelas-jelas melanggar aturan pajak itu sendiri. Saya berpesan demikian kepada supervisor itu.
Tapi hal itu tak kunjung datang. Yang ada justru surat, surat, dan surat, hingga ancaman-ancaman sita aset dan sejenisnya, plus jumlah tagihan yang terus membengkak karena dikenakan bunga yang lebih kejam daripada bunga KPR bank paling plecit sekalipun.
Oh ya, nyaris lupa, di pertemuan itu saya juga menyampaikan: jualan buku itu berat, Pak, beda banget sama jualan sup ayam Pak Min. Buku yang notabene bukan kebutuhan pokok masyarakat akan makin tak terjangkau jika dibebani PPN.
Jawabannya: “PPN itu yang menanggung bukan Bapak sebagai penerbit, tapi konsumen ….”
“Coba bantu saya beri tahu cara mewujudkannya.”
“Gampang, Pak. Tinggal Bapak terakan PPN 10% di faktur penjualan Bapak. Otomatis konsumen yang membayarkannya kan?”
Astagfirullah! Dasar orang nggak tahu pasar buku, nggak pernah beli buku. Buku kok disamakan sama kopi Starbucks.
Anda bayangkan, ketika membeli buku ke penerbit atau bakul online atau toko buku, terjadi obrolan begini.
“Berapa harga buku Hujan Tere Liye?”
“68.000.”
“Diskonnya?”
“10%. Belum ongkir. Belum PPN.”
Matiiikkk! Mana sudi orang membeli buku dengan cara demikian?
Saya juga menanyakan, bagaimana prosedur yang harus saya tempuh jika keberatan dengan klaim tagihan PPN ini?
Jawabannya: “Gugatan pengadilan, Pak. Hanya saja ada syaratnya. Bapak harus deposit dulu senilai tagihan itu sebagai niat baik Bapak untuk membayarnya, lalu mari kita bersidang. Jika Bapak menang, uang deposit Bapak akan dikembalikan penuh. Jika Bapak kalah, uang deposit Bapak akan dimasukkan ke kas negara plus denda 50% dari jumlah tersebut.”
“Kenapa harus ada denda umpama saya kalah di sidang?”
“Aturannya begitu.”
“Wah, nggak adil dong. Sedari awal orang yang merasa dirugikan oleh petugas pajak sudah dibebani bayangan denda saja, mengesankan Anda sengaja menggiring orang untuk tidak melakukan gugatan hukum apa pun karena berisiko bengkak pengeluarannya.”
“Aturannya begitu.”
Pendek kisah saya melanjutkan riyadhah lagi. Istri yang menjalankan bisnis di rumah memutuskan menjual Camry, moge, dan menambahkan sejumlah tabungan yang dikumpulin dengan syusyah-payah-lagi-hasyuh untuk membayari tagihan PPN tak berdasar itu.
Saya protes, “Kenapa kamu bayarin?“
“Aku mumet, stres, ancaman-ancaman bunga dan sita-sitaan terus datang. Sudahlah, anggap itu bukan rezeki kita.”
Saya diam, tapi aslinya kzl banget! Uang saya dirampas oleh petugas pajak dengan cara kerja main simpel, main pukul, dan ngejar omzet muluk! Tak ada empati kemanusiaan dan asas keadilan blas.
Selesai?
Belum, Lur. Perkara pajak yang bikin pengsan ini masih banyak hikayatnya. Saya nukilkan beberapa saja. Terlalu besar dosa-dosa pajak buku kepada saya jika saya laporkan semua kepada Rakib-Atid.
Tepat tiga minggu setelah istri membayar tagihan pajak yang tak bakal pernah saya lupakan itu, terbitlah Tax Amnesty. Apes benar saya, salipan.
Saya memutuskan ikut Tax Amnesty bukan karena saya patuh sama fatwa orang pajak. Tapi, males benar saya urusan sama data, data, dan data pajak yang hanya merobohkan fokus, energi, dan waktu saya dari perjuangan keras bertahan di binis buku ini. Siapa bilang bayar pajak itu mudah? Gomballl ….
Usai urusan Tax Amnesty datang surat dari pajak lagi. Kali ini menyoroti aset personal saya, bukan badan.
Dalam surat ini disebutkan bahwa saya dapat kucuran dana dari Bank Panin untuk KPR sebuah rumah berdasar data BI. Nilainya 920 jutaan.
Ya Allah, apa-apaan ini?!
Adanya KPR itu benar. Berdasar checking BI, masuk akal. Tapi, masak iya petugas pajake buta sampai tak bisa bedain nilai agunan estimasi bank dengan riil pencairan dananya sih?
Saya lalu buat surat balasan dengan menerangkan bahwa angka 920 jutaan itu hanyalah nilai agunan dalam estimasi bank kepada aset itu, adapun riil pencairannya jauh di bawahnya. Dan aset itu sudah saya sertakan dalam Tax Amnesty.
Picek po micek ini?
Jelas surat itu telah diterima. Tak ada apa pun lagi kemudian. Saya jadi mikir, oh memang benar begini ya model kerjanya, pakai mekanisme probabilitas. Alias nggolek-nggolek-ukoro-mbok-menowo-cair.
Beberapa waktu kemudian datanglah pesan dari supervisor pajak yang katanya menggantikan supervisor lama karena telah naik pangkat dan pindah tugas berkat prestasinya mengeduk uang saya. Supervisor baru ini mengatakan bahwa saya masih punya utang PPN dan harus dibayarkan. Jika telat, kena denda. Persis banget sama pola sebelumnya yang kebacut dibayarkan sama istri.
“Ini utang PPN tahun berikutnya,” katanya.
“Saya sudah ikut Tax Amnesty lo, semua diputihkan lo.”
“Tax Amnesty itu tidak menghapus utang PPN.”
KZL. Kzl kzl kzl banget. Sumpah, sumpah, sungguh saya merasa jadi sapi perah. Kalau urusan sama preman kampung, solusinya sederhana: minta orang ngatasin atau ajak single sisan. Lha ini berseragam je ….
Saya mencari informasi apa benar utang PPN tidak turut diputihkan melalui Tax Amnesty. Saya lalu menemukan keterangan resmi yang dirilis pemerintah bahwa Tax Amnesty memutihkan segalanya, termasuk utang pajak baju, celana, sempak, perasaan, dan PPN.
Saya lantas sampaikan kepada supervisor itu dengan mengirimkan screenshot poin penghapusan PPN melalui Tax Amnesty tersebut. Pesan itu sampai dan tak pernah ditanggapi. Artinya, simak baik-baik bagaimana logika seorang supervisor pajak yang tidak tahu juklak dan juknis peraturan pajak, dalam hal ini Tax Amnesty menghapus utang PPN. Apa Bu Sri Mulyani bisa bantu memberikan penjelasan bahwa motivasinya bukan hanya nggolek-nggolek-ukoro-mbok-menowo-cair-dadi-omset?
Hikayat terakhir, biar nggak kepanjangan, adalah soal restitusi. Jika ada yang ngomong di medsos bahwa kelebihan bayar pajak itu mudah saja di-cross-kan dengan mekanisme restitusi, saya ingin bilang kepadanya: nggak usah sok tahu deh. Fakta di lapangan yang saya alami sama sekali tak semudah nyocot begitu. Udah sepelik usaha melupakan kenangan tentang nangkapin belut yang kecemplung oli.
Bahwa buku-buku yang kena PPN otomatis dipotong oleh distributor atau toko buku, begitulah adanya. Otomatis distributor atau toko buku menyetorkan PPN saya tersebut ke kantor pajak setempat.
Sementara di sini saya tetap harus melaporkan jumlah PPN. Dalam pembelian bahan-bahan buku, ada sejumlah item yang juga sudah terbayarkan PPN-nya. Otomatis lebih bayarlah saya. Secara teoretis restitusi bisa saya ambil.
Inilah salah satu contoh betapa tafsir-tafsir orang pajaklah yang mendominasi para Wajib Pajak.
Saat pengajuan restitusi pertama, orang pajak mengatakan bahwa restitusi bisa dilakukan dengan jumlah yang dibatasi 2 juta/bulan. Entahlah ini benar ada dasar hukumnya atau tidak, intinya saya wegah ruwet. Manut sajalah.
Berselang bulan muncul tafsir kedua: restitusi berlaku hanya setahun. Kelebihan bayar pajak di tahun 2016 hanya bisa diklaim di tahun 2016 pula. Jika lewat tahun, hangus. Otomatis saya bayar lebih banyak dan banyak hangusnya. Sekali lagi, karena wegah ruwet saya diam saja.
Tahun 2017 muncul tafsir ketiga: restitusi ditolak semua dengan dalih kenapa PPN-nya kok tidak signifikan jumlahnya. Saya jelaskan bahwa kenyataan penjualan buku memang menurun.
Dengan sangat mulia orang pajak berkata, “Kalau Anda masih menghendaki restitusi, kami akan lakukan investigasi ….”
Biasalah, Bro, biasa, nggak usah ngarep mendapat edukasi dari pejabat atau petugas itu, di lapangan mereka hobinya mengancam, mengintimidasi, mengeksploitasi keawaman kita.
Yang Mulia Ibu Sri Mulyani benar, mengandaikan semua petugas pajak sama seperti Gayus itu tidak adil untuk petugas pajak yang bersih dan bermartabat. Tapi, Bu, mohon Ibu juga membuka mata bahwa demi menaikkan penerimaan negara dari sektor pajak, amat banyak anak buah Ibu yang menghalalkan segala cara, terutama dengan memanfaatkan keawaman pelaku bisnis kelas ecek-ecek perihal tata aturan pajak dengan menggunakan metode tekanan-tekanan yang bermuara tunggal pada omzet!
Tafsir-tafsir atas peraturan perpajakan yang umumnya kami nggak paham diubah-ubah sesuka hati oleh anak buah Ibu sesuai dengan kepentingan target mereka dan situasi yang berkembang di hadapan para Wajib Pajak.
Bakul-bakul pasar kaki lima kok disibuki bener dengan kunjungan para petugas pajak; para penerbit Indie Yogya yang limbung soal tagihan utang cetak kok diburu-buru soal PPN. Nooohhh, nooohhh, noohhhh, yang gajah-gajah berjibun yang mestinya diberesin. Iissshhh … kzl, zbl!
Nggak usah lagilah khotbahi kami tentang pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk pembangunan bangsa. Prek, wes basi! Pada praktiknya, di kantor-kantor pajak daerah, yang mendesak untuk dibenahi secepatnya ialah perlakukan para Wajib Pajak dengan spirit edukatif, bukan intimidatif. Toh kami semua bukan bakul narkoba atau bajingan, dan terapkan juknis aturan yang baku, jangan kayak karet ditafsir sesuka-sukanya macam pasal pencemaran nama baik.
Soal mana buku yang kena PPN atau tidak saja ditafsir sesukanya, gimana mau benar eksekusinya dan terasa adil bagi para Wajib Pajak? Masak iya agar para anak buah Ibu melek dan adil eksekusinya kepada pajak buku, mulai sekarang semua buku harus diterakan kata “pendidikan” di judulnya agar benderang itu bebas PPN?
Tidak lucu kan kalau buku-buku jadi berjudul: Sepotong Pendidikan untuk Pacarku, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Pendidikan, Norwegian Pendidikan Wood, Setangkai Pendidikan di Sayap Jibril, Animal Pendidikan Farm, Orang-Orang Pendidikan Bloomington, Pendidikan Pelisaurus, Pendidikan Bakat Menggonggong, Sarapan Pendidikan Penuh Dusta, Pendidikan Tak Pernah Tepat Waktu, Pendidikan Itu Luka, dlsb.
Eiiittt, mau memperkarakan tulisan ini dengan pasal karet pencemaran nama baik?
Kulaporin ke PBNU lo ….