MOJOK.CO – Banyak orang tua yang memutuskan melaporkan guru anaknya ke polisi, hanya karena langsung percaya pada aduan cengeng anaknya.
Kesabaran Nur Kalim dalam menghadapi perundungan siswanya menyebar di sosial media. Ia mendapat perhatian luas, mengundang dan menarik simpati. Ia mendapat tawaran umrah, yang kemudian ditolaknya. Hadiah pun berdatangan, termasuk dari Hotman Paris yang mengirimkan uang padanya. Entah karena memang berniat memberikannya atau diam-diam sedang menyinggung pemerintah soal gaji honorer.
Tapi apa iya Nur Kalim benar-benar tidak meladeni perbuatan kurang ajar siswanya itu karena sabar belaka? Ternyata tidak juga. Ia mengaku sempat emosi. Namun, katanya ia ingat dengan video-video tentang guru dan murid yang pernah viral sebelumnya.
Mungkin maksudnya video atau berita viral tentang guru-guru yang sering dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa—syukur kalau tidak dijebloskan ke penjara—padahal niatnya ingin mendidik. Selain dilaporkan ke polisi, ada pula berita tetang guru yang menegur siswanya lalu malah dibalas dengan tonjokan oleh orang tua siswa.
Sementara itu, perhatian besar kepada Nur Kalim ini mungkin karena ia bertindak sebagai korban—sehingga media berpihak padanya dan memviralkannya. Seandainya jika ia tidak menerima perlakuan tersebut dan membalas perlakuan siswanya dengan cara yang tegas, mungkin media akan bersikap sebaliknya.
Apalagi jika ada keluarga siswa yang sengaja mengangkat dan mem-framing berita tersebut ke media seolah-olah ia adalah korban. Lalu media yang memberitakannya adalah media abal-abal yang hanya untuk membedakan penggunaan tanda koma saja tidak becus. Ataupun media yang tidak mengikuti kaidah dan kode jurnalistik seperti cover both sides: hanya melihat dari sisi murid misalnya. Maka, habis sudah kariernya.
Sampai hari ini, mungkin kita masih prihatin jika ada siswa dan keluarganya yang menghajar gurunya sendiri. Mungkin kita masih prihatin sembari diikuti sumpah serapah jika ada guru yang dilaporkan oleh orang tua siswanya, meski sering kali hanya karena persoalan sepele. Tapi yang biasanya terjadi, justru semua ini pelan-pelan menjadi biasa saja—dan malah terjadi berulang.
Ketika guru-guru semakin mudah dikriminalisasi, maka yang ditakutkan, guru tak mau lagi tegas pada siswanya karena khawatir dipolisikan. Inilah salah satu hal yang membuat Nur Kalim harus berpikir berulang-ulang untuk melawan—apalagi kalau ingat tentang video yang pernah viral sebelumnya.
Video dan berita guru yang dipolisikan telah menjadi sebuah ketakutan dan ancaman bagi guru. Lagi pula, siapa, sih, yang mau dipenjara hanya karena mengurus satu anak bandel yang kemudian berlagak seolah-olah adalah korban?
Saya sebetulnya setuju jika guru harus mengubah pendekatan mengajarnya. Tantangan sudah berubah dan pendekatan pedagogi mestinya juga menyesuaikan persoalan zaman.
Tapi, bukan berarti orang tua juga ikut-ikutan mengubah sikapnya dengan gampang sekali melaporkan guru anaknya ke polisi. Jewer dikit melapor, dicubit dikit angkat ke media sambil melebih-lebihkan. Biasanya mereka sambil teriak-teriak bahwa sekolah seharusnya adalah tempat untuk mendidik. Padahal kan, sekolah pertama untuk mendidik adalah keluarga. Sudah jelas bahwa waktu yang dihabiskan siswa di sekolah tidak sebanyak dengan waktunya saat berada di rumah.
Orang tua harusnya juga dapat menjadi teladan. Kalau sedikit-sedikit melapor, kemungkinan besar anaknya tentu bakal mudah mengadu jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Alih-alih guru membentuk karakter siswa, lama-lama karakter guru malah dibentuk oleh orang tua siswa. Ya, bagaimana tidak? Kalau siswa kena masalah sedikit di sekolah, dia lapor orang tua, lalu orang tua—yang katanya sayang pada anaknya ini—hanya mendengarkan pengakuan anaknya dan langsung main lapor ke polisi saja.
Yang terjadi kemudian, guru menjadi takut, dan tidak berani menindak siswanya yang melanggar. Mereka tidak berani menegakkan aturan. Padahal kita tahu, salah satu kunci keberhasilan adalah tegaknya aturan. Ya, tapi mau bagaimana. Kalau anaknya ditegur karena bawa hape ke sekolah, merokok, atau berkelahi, eh, malah nanti gurunya yang dihajar.
Sementara itu, siswa justru semakin berleha-leha karena merasa semua keinginannya bisa terpenuhi. Bisa merokok di sekolah suka-suka, nonton film porno di kelas, membolos dan menganggu temannya yang lain, membully temannya yang lemah. Lantas ketika ditegasi dan dihukum sesuai ganjarannya, si anak yang cengeng ini bakal mengadu ke orang tua. Lagi-lagi, orang tua malah menuruti kemauan anaknya—lalu memilih balas dendam ke sang guru untuk melampiaskan emosi belaka.
Bisa jadi karakter si anak memang hasil dari didikan orang tuanya. Yang berusaha memenuhi semua keinginan anaknya. Anaknya minta hape baru, ya, dibelikan meski belum butuh-butuh amat. Anaknya minta motor juga dibelikan, meski belum cukup umur untuk punya SIM. Kalau anaknya nabrak orang, ya orang lain yang disalahkan. Kemudian anaknya dibela dengan alasan masih di bawah umur. Lah? Gimana, coba?
Tanpa bermaksud membela kekerasan, tapi orang tua sangat perlu melihat ke dirinya terlebih dulu. Apakah mereka sudah mendidik anaknya dan menjalankan perannya sebagai guru pertama bagi anaknya—terutama dalam hal perilaku—dengan baik?
Orang tua berhak protes, kok, jika anaknya dididik dengan cara tidak mendidik—itu pun setelah tabayyun ke gurunya. Tapi, kalau terus-terusan protes dan pengin anaknya dididik sesuai maunya, ya lebih baik silakan mencari sekolah yang sesuai saja.
Banyak orang tua yang petantang-petenteng mengkritik cara mendidik guru di sekolah. Tapi dirinya sendiri ternyata tidak becus mendidik anaknya. Sekolah memang tempat mendidik bagi yang mau dididik. Tapi kalau si anak didik ini justru menimbulkan masalah, ya kembalikan saja ke orang tuanya.