Orang Jogja Ternyata Lemah Sekali ketika Ketemu KA Babaranjang yang Memang Menyebalkan di Jalanan Bandar Lampung

Orang Jogja Lemah Mental di Depan KA Babaranjang Lampung MOJOK.CO

Ilustrasi Orang Jogja Lemah Mental di Depan KA Babaranjang Lampung. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTeman saya, Wawan, asli Jogja. Dia mengalami culture shock ketika berhadapan dengan KA Babaranjang di Bandar Lampung. Sabar ya, Wan!

Wahai warga Jogja, pernah nggak kalian menghitung waktu yang dihabiskan untuk menunggu kereta api melintas? Misalnya sebuah kereta api dengan 10 gerbong melintas. 

Lamanya kereta melintas sekitar 2 menit dan jika mempertimbangkan kemacetan, kita anggap 5 menit menunggu. Apa? Baru 5 menit saja sudah mengeluh? Lemah!

Makian “Lemah!” itu juga yang saya lemparkan ke teman saya, Wawan. Warga asli Jogja ini baru kali pertama menginjakkan kakinya di Sumatera. Dia rela naik bus selama 20 jam dengan membawa rasa penasaran akan keindahan pantai eksotis di Pesisir Barat. 

Dia juga memendam keinginan luhur untuk menikmati kopi asli Lampung di atas tanahnya secara langsung. Satu dari sedikit keseruan yang bisa saya tawarkan sebagai tuan rumah. Maklum, kali ini saya menyambut tamu dari kota istimewa. Meski nanti dia agak shock ketika berhadapan dengan KA Babaranjang.

Menguji iman Wawan di Lampung

Siang itu Wawan sampai di Bandar Lampung dan saya menjemputnya di terminal. Di perjalanan pulang menuju rumah saya, sebuah ide nakal tiba-tiba muncul di kepala. 

Tentu saja saya tidak berharap kami menyaksikan pembegalan atau tindak kriminal secara langsung seperti yang sering terjadi di Lampung. Namun, bagi orang luar, apalagi Jogja, kurang afdal rasanya kalau ke Lampung tapi tidak menemukan satu keanehan saja. Setelah beristirahat sejenak di rumah, saya langsung mengajak Wawan untuk melaksanakan agenda pertamanya, ngopi.

Untuk menuju tempat kami akan ngopi, saya sengaja memilih Jalan Urip Sumoharjo di Kecamatan Kedaton, Lampung. Ini adalah salah satu jalan yang amat sempit untuk menampung kesibukan warganya di jam-jam tertentu. 

Sudah begitu, jalur rel yang membentang ke arah stasiun Tanjung Karang, hingga ujung jalur kereta yang berada di stasiun Tarahan memotong jalan ini. Saya beruntung, sekitar pukul 9 malam, adalah waktunya, KA Babaranjang tampil dan bikin sebal orang Jogja.

Baca halaman selanjutnya: KA Babaranjang, kereta yang menjaga Pulau Jawa…

KA Babaranjang, kereta yang menjaga Pulau Jawa tetap benderang

Kamu harus tahu bahwa pada akhir 2023 lalu, KA Kertajaya memecah rekor sebagai kereta penumpang dengan rangkaian terpanjang. Rangkaian 16 gerbong itu sanggup ditarik dari Stasiun Pasar Senen Jakarta sampai Stasiun Pasar Turi Surabaya

Namun, KA Kertajaya dan rekornya minggir dulu. Kenalkan, KA Babaranjang, akronim dari Kereta Api Batu Bara Rangkaian Panjang. Panjang bukan cuma nama, gerbong kereta ini bisa beroperasi dengan 61 gerbong sekali jalan! Iya, orang Jogja bayangin aja dulu.

Panjang barisan gerbong bisa sampai 1 kilometer. Dengan jumlah itu, KA Babaranjang sanggup mengangkut kurang lebih 3 ribu ton batu bara milik PT. Bukit Asam. 

Perjalanan bahan utama pembangkit listrik ini dimulai dari stasiun Tanjung Enim Sumatera Selatan menuju Pelabuhan Tarahan, Lampung. Kapal PLTU Suralaya kemudian mengangkut batu bara tersebut menuju Banten, demi membuat Jogja dan Pulau Jawa jadi pulau paling benderang se-Indonesia.

Tapi sebelum itu, KA Babaranjang akan melintas di tengah kota Bandar Lampung terlebih dahulu. Dan, sudah pasti, kereta yang pasti bikin kesal ini akan menyita waktu Wawan yang sudah tidak sabar mencecap kopi robusta racikan tangan ahli khas barista lokal. 

Orang Jogja yang marah-marah, tapi ternyata lemah 

Dari kejauhan, terlihat palang pintu kereta menutup ditambah iringan sirine. Saya memperlambat laju motor, lokomotif KA Babaranjang belum melintas, dan Wawan masih belum merasakan keanehan. 

“Lha, kok nggak lewat-lewat,” orang Jogja itu mulai merasakan kejanggalan. 

KA Babaranjang sudah pasti menarik rem dari jarak jauh, posisinya sudah tak jauh dari Stasiun Tanjung Karang, Lampung. Malam itu, pengendara motor dan mobil tidak terlalu ramai. Posisi kami sendiri tidak terlalu jauh dari palang pintu. 

Di sebelah kami, satu pengendara lain menurunkan standar samping motornya, lalu membakar rokok. Dari spion motor saya melihat Wawan menyembunyikan tawa tapi tetap tampak cemas. “Santai banget ni orang,” bisiknya. 

Saya hanya membalas dengan senyum. Tak lama itu, ada satu pengendara lain mengunci dan meninggalkan motornya untuk beli donat goreng yang ada di pinggir jalan. 

Ekspresi heran sudah tidak bisa disembunyikan oleh orang Jogja ini. “Kok santai-santai banget ya orang Lampung, Zi? Ditinggalin, lho, motornya,” kata Wawan dengan sedikit bingung. 

“Ya santailah, agak lama emang keretanya lewat,” terang saya dengan sedikit tawa. 

“Halah, paling berapa lama sih?” sambut Wawan lagi. 

Lokomotif KA Babaranjang baru saja lewat dan Wawan makin memberondong saya dengan banyak pertanyaan. 

Kereto opo iki, Cuk?” 

Jingan! Pirang gerbong e iki?” 

Asui! Sui tenan!” 

Tidak satu pun keluhan orang Jogja satu ini yang saya respons. Namun, saya tidak bisa menyembunyikan tawa melihat ekspresi Wawan yang kesal.

Kereta yang membuat kesal

Yah, sesungguhnya, semua ini adalah wajar. KA Babaranjang jauh berbeda dari yang sering melintasi Stasiun Lempuyangan atau Stasiun Tugu di Jogja. Kereta yang lewat kali ini tidak ada jendela, cuma deretan besi yang berbaris tidak ada habisnya, serta atap yang terbuka lebar.

Rokok filter pengendara di sebelah saya sudah terbakar setengah, donat yang dibeli pengendara lainnya juga rampung dikemas. Tapi, KA Babaranjang masih melintas, dan saya mesti meladeni kerungsingan Wawan sekaligus memberinya penjelasan apa itu KA Babaranjang serta detail-detail lainnya. 

Dan sungguh, pemandangan saat KA Babaranjang melintas sangat menjemukan. Sekitar 10 menit sampai palang pintu kereta terbuka, akhirnya keluhan orang Jogja satu ini mereda. 

“Lemah!” Maki saya pada Wawan sambil bercanda, dan makian itu menyembur bukan tanpa alasan. Sebab, Wawan belum merasakan pengalaman terjebak saat KA Babaranjang melintas di pagi hari, saat orang-orang memadati jalanan sebelum beraktivitas. 

Menunggu KA Babaranjang melintas ditambah macet bisa menyita 10-15 menit. Memang, di beberapa jalan utama kota Bandar Lampung sudah ada flyover. Namun, masih ada jalan kecil di sekitar permukiman warga Lampung yang dilintasi rel kereta api. Beberapa di kabupaten dan desa-desa kecil bahkan tanpa palang pintu. Selain menyita waktu, juga cukup berisiko bagi lalu-lalang warga sekitar.

Meskipun demikian, KA Babaranjang masih berjasa menyumbang pendapatan fantastis untuk PT KAI. Bahkan, laba yang diperoleh dari pengangkutan batu bara ini diyakini mampu menambal biaya operasional kereta penumpang di Pulau Jawa. 

Di tahun 2023 saja, PLTU Suralaya Banten sebagai salah satu penyuplai listrik terbesar di pulau terpadat sedunia itu menerima total 25,4 juta ton batu bara. Hal ini tentu berperan penting menjaga cahaya di Jogja dan Pulau Jawa tetap menyala. Dan justru fakta inilah yang tidak banyak dipahami oleh warganya.

Manfaat sebuah kereta yang biasanya bikin sebal

“Kamu nggak perlu bersimpati ke kami kok, Wan,” goda saya pada Wawan. 

Sejak jadi orang paling gelisah di depan palang pintu rel kereta tadi, kini mood-nya terlihat lebih baik. Duduk santai di kedai kopi kecil yang syahdu di bilangan Way Halim Lampung sambil menelusuri kisah KA Babaranjang memang menyenangkan. 

Wawan menyeruput kopinya lebih dalam ketika dia membuktikan sendiri fakta-fakta penting di balik KA Babaranjang. Fakta-fakta yang orang Jogja temukan ini, seperti berita kecelakaan yang melibatkan KA Babaranjang di banyak lokasi hingga merenggut nyawa. Sebuah kekhawatiran bagi warga Lampung dan Sumatera Selatan, namun tidak dirasakan orang-orang di Pulau Jawa yang justru banyak merasakan manfaat dari kerja keras KA Babaranjang. 

Gelas kopi Wawan yang mengering sudah diisi ulang. Obrolan dilanjutkan dengan menyusun rencana berangkat ke Pesisir Barat keesokan harinya. Kami akan start sejak pagi dan mencari perlintasan kereta api lebih dulu. Wawan mesti merasakan sensasi KA Babaranjang lagi, tapi kali ini di jalan yang lebih ramai, dan di waktu lebih yang sibuk. Biarin, kan katanya orang Jogja itu orangnya sabar. Ya, kan? Hehe.

Penulis: Razi Andika

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pengalaman Keliling Indonesia Naik Honda Beat: Catatan Kebodohan yang Berakhir di Jogja dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version