MOJOK.CO – Omong kosong menyesal kuliah di UIN karena susah dapat kerja, lalu minta hapus jurusan. Padahal dia nggak mau mengembangkan diri. Susah!
Saya baru saja membaca dengan saksama Liputan Mojok berjudul “Kuliah UIN: Awalnya Merasa Keren Pinter Teori, Lulus Baru Nyesel karena Nol Keterampilan Kerja hingga Usul Jurusan UIN yang Baiknya Dihapus Saja”.
Dari judulnya, pembaca mojok rahimakumullah bahkan bisa tahu jika isi artikel itu menjurus ke sebuah kondisi kebingungan sosial setelah lulus kuliah. Ini hal lumrah terjadi kepada umumnya mahasiswa soshum, apalagi teologi.
Di sini saya bukan hendak merepetisi kisah Bung Arman, Bung Kamal, dan teman-temannya di dalam tulisan. Kamu bisa baca sendiri artikelnya, sebelum atau setelah mengkhatamkan tulisan ini.
Di sini saya akan memberi perspektif dan pengalaman lain. Tujuannya ya supaya cara pandang kamu tidak fatalis-nihilis ke beberapa jurusan UIN.
Seharusnya bersyukur bisa menjadi alumni UIN
Pertama-tama, pembaca harap mengetahui bahwa saya juga alumni Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT). Tanpa bermaksud menginvalidasi perasaan gundah gulananya, Bung Arman sebetulnya masih bisa sedikit, kalau mau, bersyukur, karena alumni IAT UIN.
Saya memang IAT, tapi bukan UIN. Saya alumni sebuah kampus non-arus utama di bidang Islamic studies. Namanya Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA). Dan, saya termasuk assabiqun al-awwalun, alias angkatan kedua dari 2 angkatan pertama di kampus itu ketika mendaftar medio 2013-an.
Jadi pembaca bisa membayangkan betapa skena-nya kampus saya dan teman-teman seangkatan saya di STAISPA. Kabarnya, kampus saya saat ini sudah berubah nama menjadi Institut Studi Quran Indonesia (ISQI) Sunan Pandanaran.
Selain itu, ketika hendak lanjut S2 dengan mencari sponsor dari LPDP, saya mengisi kolom kampus asal saya dengan: lainnya.
Ya, (((Lainnya))) Kamu nggak salah baca. Sebab kampus saya waktu itu memang belum masuk dalam radar daftar penerima beasiswa dana abadi pendidikan. Berbekal identitas kampus asal “lainnya” itu saya justru mendapat kesempatan buat merasakan bangku Sekolah Pascasarjana UGM, untuk Prodi Kajian Budaya dan Media (KBM).
Ijazah yang tidak ramah industri
Tapi begini. Saya bisa memahami betul kenapa alumni UIN merasakan kegalauan haqiqi seperti itu. Kuliah di IAT memang bergumul dengan bejibun teori. Baik teori sosial, filsafat, komunikasi (profetik), dan tentu saja ulum Al-Qu.’ran, rijal al-hadits, madzahib al-tafsir, dan sebagainya.
Jika kamu membayangkan segudang khazanah teori akan membantu-mudahkan segenap pelajarnya mendapat pekerjaan kantoran layaknya dambaan orang (mer)tua konvensional, itu bahkan sudah keliru sejak jabang bayi.
Ijazah lulusan IAT UIN dan umumnya jelas sangat tidak ramah terhadap industri kita. Apalagi di era kapitalisme lanjut seperti sekarang ini.
Sejauh yang saya amati, alumni IAT paling santer bisa jadi dosen dan peneliti di bidang religious studies, jika bukan penceramah. Ini kalau mau linier.
Baca halaman selanjutnya: Omong kosong menghapus jurusan karena gagal kerja.