[MOJOK.CO] “Selamat ulang tahun yang ke-92, NU.”
Waktu kecil sempat ada pertanyaan yang muter-muter di kepala saya, “Seandainya saya lahir bukan dari keluarga Nahdliyin, apa iya saya jadi NU seperti sekarang?”
Pertanyaan itu tidak muncul begitu saja. Salah satunya karena barangkali saya dibesarkan dari keluarga Nahdliyin kenthel tapi hidup di masjid Muhammadiyah yang kaffah.
Lho?
Yap, situ nggak salah baca. Saya besar di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada pertengahan ‘90-an. Periode ketika Pak Amien Rais (sebelum diculik alien dan meninggalkan tiruannya di bumi) masih suka ngisi kultum di sana.
Karena masjid terdekat dari rumah pada waktu itu adalah masjid IAIN yang sangat Muhammadiyah, jelas persinggungan saya dengan Muhammadiyah nggak kalah kenthel-nya dengan Nahdliyin di rumah sendiri.
Lho memangnya dari mana saya tahu perbedaan-perbedaan keduanya, padahal mimpi basah saja saya belum pada waktu itu?
Simpel. Saat masih kecil, kalau mau salat Tarawih di rumah, saya harus mempersiapkan stamina sebaik mungkin karena sadar bakalan “jungkir balik” sebanyak 23 kali. Sedangkan kalau di masjid cuma 11 kali. Itu pun di sela-sela salat di masjid (karena bacaannya lambat dan panjang-panjang ayatnya) saya masih sempat untuk main plusutan di pagar tangga masjid atau sabet-sabetan sarung sebelum imamnya ruku’ pada rakaat pertama. Di rumah? Boro-boro main plusutan, mau kencing aja kudu melambaikan tangan minta time-out karena cuma qulhu yang dibaca.
Sejujurnya, saat itu saya nggak begitu paham kalau keduanya benar-benar beda sampai perihal ormasnya. Sampai suatu ketika saya harus mondok ke pesantren yang cukup jauh dari rumah. Saat masih santri baru, saya sempat kaget ketika mendengar azan jumatan di masjid pondok dikumandangkan dua kali. Ya wajar saja, sudah bertahun-tahun saya ikut jumatan yang azannya sekali. Eh, begitu di pondok, nggak cuma azannya dua kali, yang khotbah bawa semacam tongkat sakti segala. Batin saya waktu itu, ebuset, apa-apaan ini?
Perlu waktu beberapa tahun untuk menerima perbedaan-perbedaan kecil antara keduanya karena tidak dijelaskan benar-benar ketika saya kecil. Pikir saya waktu itu ya sederhana: barangkali dulu Kanjeng Nabi itu waktu nyontohin ibadah (salat misalnya) dilihat oleh banyak orang. Karena banyak orang yang lihat, kerumunan ini mungkin melingkari Nabi.
Nah, kebetulan ada orang yang kebagian di sisi depan Kanjeng Nabi, ada yang di sisi belakang, ada yang di sisi samping. Tentu saja, orang yang lihat dari sisi depan Kanjeng Nabi nggak akan punya sudut pandang yang sama dengan orang yang lihat dari sisi samping, apalagi yang lihat dari sisi belakang. Sama-sama dikasih contoh, sama-sama sumbernya sahih, tapi posisi melihatnya beda, alhasil pembacaan serta penerapannya pun bakalan beda pula.
Pandangan semacam ini saya yakin muncul juga kok dari pembaca jamaah al-Mojokiyah rakhimakumullah seperti situ. Dasarnya seperti ini: perbedaan itu nggak apa-apa asalkan damai sentosa dan nggak memusuhi yang beda. Masalahnya, pandangan semacam ini tidak bisa diberlakukan serta-merta ke semua generasi, apalagi untuk orang-orang di generasi sebelum kita.
Perbedaan kecil antara boleh tidaknya selamatan, tahlilan, qunut, 11 atau 23 rakaat, dan lain-lain bisa jadi isu sensitif bagi golongan-golongan sepuh. Seperti misalnya, saat saya kecil, salat Tarawih di masjid bukanlah hal yang sepenuhnya disetujui oleh orang tua saya. “Mbok salat Tarawihnya di rumah saja,” pesan ibu saya. Boleh kok, asal jangan keseringan. Barangkali orang tua saya takut kalau saya jadi Muhammadiyah diam-diam.
Namun, jika melihatnya dengan kacamata yang sekarang, saya tidak melihat bahwa orang tua saya sedang melakukan tindakan pencegahan untuk mengenal cara ibadah “yang lain”, tapi lebih kepada pembiasaan dengan ritus yang biasa dijalankan di keluarga sendiri.
Sangat sering saya dengar, orang-orang generasi sepuh di kampung-kampung meributkan persoalan perbedaan “cara ibadah” yang berbeda di masjid. Kalau sudah seperti ini, biasanya perkara akan dimulai dari istilah “rebutan masjid” atau “rebutan siapa yang jadi takmir masjid”.
Bagi generasi zaman dulu, hal-hal semacam ini adalah pertarungan terbuka yang mempertaruhkan identitas keislaman mereka di kampung tempat membesarkan anak-anak mereka. Boro-boro ngomongin LDII, MTA, HTI, atau FPI, lha wong sekelas Muhammadiyah-NU saja di kampung-kampung masih sering saling ngrasani satu sama lain og.
Tentu saja saya lebih mendapati yang ngrasani dari pihak NU karena saya hidup di lingkungan NU. Yang saya tangkap (semoga saya salah) ada semacam ketakutan di balik rasan-rasan ini. Takut jamaahnya “diambil”, takut masjidnya “kerebut”, sampai takut kampungnya jadi “nggak-NU” lagi.
Apakah hal semacam itu salah? Tidak juga kalau melihat dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama yang baru saja berulang tahun ke-92 kemarin.
Sejarah berdirinya NU sendiri secara sederhana muncul karena alasan yang sama dengan yang terjadi di masjid kampung-kampung sekitaran kita belakangan ini. NU berdiri sebagai bagian dari respons terhadap perubahan kepemimpinan di Mekkah dan Madinah oleh Abdul Aziz bin Abdul Rahman yang kita kenal dengan sebutan Ibnu Saud (nama yang kemudian jadi nama negara).
Beberapa keputusan Ibnu Saud yang mengkhawatirkan kemudian memang benar-benar muncul. Salah satunya tidak mengakui mazhab-mazhab lain yang nggak sejalan, salah satunya Mazhab Syafi’i yang dirujuk oleh kiai-kiai di Hindia Belanda (waktu itu Indonesia belum ada). Terang saja, bagi golongan ulama dan kiai di Nusantara, pandangan ini sangat mengkhawatirkan. Kekhawatiran yang senada dengan kiai-kiai Nahdliyin di kampung-kampung ketika kemasukan golongan Islam-puritan.
Bagi golongan Ibnu Saud, kiai-kiai di Nusantara bisa saja dikategorikan sesat karena dianggap tidak sejalan. Hal yang malah terjadi betulan akhir-akhir ini dengan munculnya seruan kafir, sesat, munafik kepada kiai-kiai NU yang dianggap tidak sejalan.
Dan karena pada era itu kiai-kiai di pesantren-pesantren tradisional Nusantara tidak punya semacam serikat kiai untuk berbicara di kancah internasional, didirikanlah “Nahdlatoel Oelama” pada 31 Januari 1926 oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asyari atas usulan Mbah Kiai Wahab Chasbullah.
Selain agar suara kiai tradisional bisa didengar ke seluruh dunia, organisasi ini juga digunakan sebagai “tameng” agar Islam puritan tidak berkembang ke Nusantara. Hal ini menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama sebenarnya bukanlah semacam aliran baru, melainkan hanya organisasi kiai-kiai kampung agar suaranya bisa didengar. Kiai-kiai yang belajar ngaji kitab kuning dari satu pesantren ke pesantren yang lain serta menggunakan kultur lokal dalam persebaran ritus-ritus keagamaannya.
Sesuai dengan kredo NU yang terkenal, Al-mukhafadlotu ‘ala qodimisholih wal akhdlu bil jadiidil ashlakh, memelihara sesuatu yang lama yang sudah baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik, sederhananya NU didirikan semata-mata agar orang-orang Islam di Nusantara tidak lupa ia lahir di mana dan diperkenalkan dengan Islam dari mana.
Kondisi yang ditakutkan oleh beberapa sesepuh kiai generasi lama memang belakangan betulan terjadi. Ritus-ritus yang menggandeng beberapa tradisi lokal mulai dianggap sebagai sesuatu yang asing bahkan dicap sesat, gelombang “memurnikan” agama Islam kembali muncul di mana-mana, bahkan semakin banyak kiai-kiai pesantren yang dibid’ah-bid’ahkan.
Dengan masifnya kelompok seperti itu berkembang di Indonesia, akan tetapi di sisi lain di masjid-masjid kampung kita masih bisa meyenandungkan puji-pujian, tahlilan, kenduren, selawatan, sampai berbahagia merayakan maulid Nabi, kita harusnya tahu kepada siapa rasa terima kasih ini harus diberikan.
Pada akhirnya, tidak penting apakah saya lahir dari keluarga NU atau Muhammadiyah. Yang jelas saya kini tahu bahwa tanpa Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Mbah Kiai Wahab Chasbullah barangkali sekarang saya sudah sibuk mengafir-kafirkan saudara seiman saya—alih-alih nulis di Mojok kayak begini.
Selamat ulang tahun Nahdlatul Ulama, tenang… aku tetap padamu kok meskipun besok aku mendadak Muhammadiyah. Uwuwuwuwuwu~