MOJOK.CO – Sungguh aneh dan tidak pada tempatnya ketika Miftah Maulana, dan orang di belakangnya, tertawa karena lelucon yang melecehkan dan sama sekali tidak lucu.
Seorang dai utusan khusus presiden, Miftah Maulana, bikin jengkel warganet setelah potongan video ceramahnya viral di media sosial. Dari atas panggung megah pengajian, Miftah menegur-sapa seorang pedagang es teh dan lalu mengatainya “Goblok!” Untuk kronologi lengkap, teks verbatim, dan analisis teologis, atau bahkan meme Miftah Maulana bisa panjenengan cari dengan sangat mudah di medsos.
Yang ingin saya lencangkan di sini adalah kenapa bapak-bapak yang ada di atas panggung bersama Miftah Maulana bisa terbahak-bahak. Sementara netizen (dan saya salah satunya) terlihat getir dibuatnya. Dan, di atas itu, bagaimana humor di arena keagamaan bekerja? Apakah ia selalu menyatukan, atau justru memicu tensi sosial?
Sebelum lanjut, pertama-tama saya ingin angkat topi dulu sama sang pedagang, sebut saja Pak Pun, yang tak gentar mencari nafkah dengan menjajakkan air mineral dan es teh di tengah pengajian yang, katanya, hujan itu. Pak Pun saya kira layak dikenang sebagai man of the years di penghujung tahun paling gemoy ini.
Kuasa humor dan hal-hal lainnya
Saya belum lama ini mendaras buku David Feltmate (2024). Judulnya, Religion and Humour: An Introduction. Kata dia, humor dalam konteks agama memiliki fungsi kompleks. Bukan saja menjadi alat penguat komunitas, humor juga sering menciptakan ketegangan. Khususnya jika konteksnya tidak dipahami secara universal.
Nah, lepas dari teknik framing yang dilakukan oleh ngab-ngab kameramen dan/atau siapa saja yang pertama kali memotong-unggah ke internet, kasus video viral ceramah Miftah Maulana adalah satu contoh bagaimana humor keagamaan gagal menjangkau audiens lintas-batas.
Memang, humor di dalam dirinya tidak pernah sepenuhnya netral. Dalam format religius, humor bahkan sering digunakan untuk menegaskan (atau justru menantang) hierarki kekuasaan. Jika panjenengan akrab dengan literatur tentang kisah Abu Nawas, misalnya, maka mudah saja kita mengidentifikasi bagaimana humor bisa menjadi medium yang kuat.
Masalahnya adalah Miftah Maulana, sebagai figur yang secara simbolik punya “otoritas” keagamaan, mengendalikan narasi di panggung secara penuh. Sementara Pak Pun? Ya, kita bahkan tak perlu berdebat jika mujahid es teh itu seolah hanya menjadi “subjek pasif” dalam rangkaian adegan majelis pengajian tersebut.
Dan, ketika “lelucon” itu pecah, ditandai gelak tawa bapak-bapak di sebelah Miftah Maulana, itu lebih merefleksikan legitimasi sosial yang diberikan kepada Miftah daripada keberterimaan universal dari lelucon itu sendiri.
Baca halaman selanjutnya: Lelucon yang sungguh tidak lucu, malah menyakiti.