MOJOK.CO – Bagi beberapa orang miskin, mereka menikah tanpa cinta. Pilihan ini merupakan sebuah usaha untuk bertahan hidup. Bikin sesak, tapi itu terjadi.
Sudah beberapa bulan ini saya putus sama mas pacar. Sedih? Jelas. Nyari pacar lagi? Sek sebentar. Kemarin saya bertemu dengan bude saya. Dan seperti kebanyakan bude pada umumnya, dia terus menasihati saya buat cari pacar lagi.
Nasihatnya klise sekali. Tapi yang membuat saya tergelitik adalah ketika dia bilang, jangan menunggu cinta buat nikah. Cinta itu nggak penting-penting amat. Menikah tanpa cinta itu bisa terjadi, jangan mau dibodohi sinetron, begitu katanya. Padahal, yang bersangkutan ini tiap hari nonton sinetron.
Kalau mendengar nasihat bude waktu saya masih remaja, haqul yakin saya bakal mencak-mencak dramatis. Tapi di usia yang makin menua ini, nggak mungkin saya “sekocak” itu lagi. Saya sudah cukup lama hidup untuk “menikmati” kegetiran akibat mengabaikan mentah-mentah nasihat orang yang lebih tua.
Kadang nasihat mereka memang tidak masuk akal. Tapi seperti orang Bantul bilang, “Ya pancen urip ra mesti masuk akal je.” Hidup itu tidak selalu harus masuk akal. Makanya jangan heran kalau nasihat by experiences yang sering dilontarkan orang tua kadang ajaib dan tidak sesuai teori dan novel-novel romansa.
Misalnya saya sendiri. Masa awal pacaran saya mirip pembukaan sebuah novel romantis. Kalau hidup saya ini ditulis oleh penulis best seller, mestinya saya sudah menikah, dong. Ya, kan? Ya, kan? Nyatanya apa? Saya putus.
Kira-kira si penulis novel best seller ini bakal dikeplak nggak sama editornya kalau bikin cerita anti-klimaks ala hidup saya? Duh, jadi curhat. Yuk, ah, kembali ke omongan bude saya.
Ada seorang kenalan saya dari daerah X (saya nggak mau sebut namanya karena nanti terkesan stereotyping). Ia berkata, dari 5 bersaudara, hanya ia yang mati-matian cari beasiswa buat kuliah. Yang lain-lain memantapkan hidupnya buat nyari suami kaya.
Kenapa mereka melakukan itu? Amoral? Bejat? Tidak idealis? Bukan, bukan. Mereka melakukan itu semata-mata karena mereka berasal dari keluarga miskin dan capek dengan kemiskinannya. Bagi mereka, menikah tanpa cinta menjadi lumrah saja.
Saya pernah bertemu ibu teman saya itu. Sampai sekarang, omongannya berhasil menancap ke hati saya yang susah peka ini. Katanya, bagi orang miskin, menikah karena cinta itu sesuatu yang mewah. Sebuah privilege kalau saya simpulkan.
Adapun buat orang seperti dirinya dan anak-anaknya, menikah itu soal survival, soal usaha bertahan hidup. Nanti kalau sudah kaya, baru deh, kita bisa kasih privilege ke anak buat nikah atas nama cinta. Kalau sekarang menikah tanpa cinta pun tidak mengapa. Jleb. Saya ngelu mendengar perkataan itu.
Salah seorang adik teman saya sendiri akhirnya berhasil menikah. Ia menikah dengan seorang pengusaha sebagai istri kedua karena alasan ekonomi. Saya nggak ngerti mesti bilang apa. Tapi semoga anaknya kelak bisa menikmati privilege menikah dengan cinta sebagai alasannya.
Tentu tidak semua orang miskin seperti ini. Di desa saya, warga memandang pernikahan sebagai kesenangan yang tak perlu dijadikan bagian dari “usaha bertahan hidup”. Hidup mereka saja tiap hari isinya soal “bertahan hidup”, masa untuk menikah pun prinsipnya survival juga? Capek!
Ya, mereka menikah karena cinta. Nggak masalah dengan mahar di bawah Rp1 juta dan rela utang untuk pesta pernikahan yang makanannya cuma semur telur dan nasi. Tapi cinta mereka bukan tanpa ujian. Hati mana yang mudah menjaga cinta ketika tiap hari berjuang dalam kemiskinan?
Saya simpulkan di sini bahwa antara cinta dan menikah memang tidak sesimpel kisah romansa di sinetron, persis seperti kata bude saya itu. Bahkan ketika variabel kemiskinan dihilangkan, rasanya sama aja. Tuh, lihat anak konglomerat yang menikah karena bisnis, gengsi, dan
segala macamnya. Mereka menikah tanpa cinta pada awalnya. Ya kalau jatuh cinta beneran, itu bonus. Bude saya juga salah satu contohnya.
Bude saya ini seorang PNS golongan 4 yang nyambi usaha dagang. Pemasukannya membuat Bude saya masuk golongan kelas menengah ke atas. Ia menikah cukup terlambat untuk standar orang Indonesia. Ia baru menikah saat sudah mendekati 40 tahun.
Kok bisa telat nikah? Yah, masalahnya, ia menghabiskan waktu mudanya untuk kerja, kerja, dan kerja. Persis seperti jargon Pak Jokowi.
Ketika sudah mendapatkan karier dan status keuangan yang ia impikan, kebanyakan laki-laki menjadi takut kepadanya.
Bude saya tidak sadar, banyak laki-laki Indonesia takut dengan perempuan yang lebih sukses. Mereka mudah minder. Kalau sudah begitu, mereka kadang jadi serem karena suka “muring-muring” sambil bawa-bawa ayat kitab suci.
Tapi untunglah bude saya tidak sentimentil. Ia sudah tak peduli dengan cinta-cintaan. Ia tak menunggu lamaran dari pangeran berkuda putih. Setelah lama hidup mengejar karier, ia merasa takut dengan kesendirian. Ketakutannya itu tampak sekali waktu menasihati saya. Berkali-kali ia menekankan kalau hidup sendiri itu tidak enak.
Bude saya butuh teman hidup. Dia menikah tanpa cinta. Dia tidak bertemu seorang pria di “somewhere and some place romantic” lalu mengucapkan janji suci sehidup semati.
Saya kira, bude saya menikah karena naluri bertahan hidup. Bukan survive dari kemiskinan, tapi kesendirian. Eee…jangan salah, kesendirian bisa mencekam, lho. Kesendirian, bagi beberapa orang, bisa berujung depresi dan segala jenis penyakit mental yang mengikuti.
Okelah, saya ngerti sudut pandang bude saya. Dan pada akhirnya, mungkin cari jodoh dan nikah itu nggak perlu harus pake alasan cinta. Tiap orang punya tujuan dan pandangan masing-masing. Tapi mau pakai cinta atau nggak, yang sebetulnya tak kalah penting adalah “calonnya” ada dulu. Kalau calonnya aja nggak ada, sia-sialah segala perenungan nan ajaib ini.
BACA JUGA Mempertanyakan ‘Target Menikah’: Menikah Bukan Ending Cerita atau tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.