Mengoreksi Gerakan Golput dengan Kaca Mata Kaidah Fikih

MOJOK.CO – Gimana kalau golput dibaca dengan kaca mata kaidah Ushul Fiqh? Tentu ini bukan soal hukum halal-haramnya, sobat missqueenku. Tenang.

Saya membaca tulisan Puthut Ea berjudul “Kenapa Yang Menyerang Golput Hanya Dari Satu Kubu Capres Saja?“. Dari judulnya kelihatan bahwa golput dianggap hanya dirasakan satu capres. Meski bukan pengamat politik, saya tidak sepakat. Paling tidak berdasar pengalaman sendiri.

Sejumlah ceramah agama-politik yang saya ikuti sejak 2008, partai-partai Islam model PKS dan PAN lebih dulu menyuarakan kekhawatiran pada golput. Kelompok HTI yang anti demokrasi menjadi salah satu sasaran PKS dalam dakwah politiknya.

Meski berbeda ideologi politik di level atas, tapi di bawah kader PKS dan HTI lebih sering beririsan. Karena itu, sikap golput kader HTI akan menggerus suara PKS, juga PAN.

Lha piye? Ceruk pasar dari partai Islam malah digerogoti pengusung khilafah. Kawan-kawan saya di PKS sering ngoyak-ngoyak jihad konstitusional. Lewat pemilu itu. Di kampus, kedua kelompok itu beradu argumen.

Singkatnya golput adalah ancaman juga bagi mereka. Nah kita tahu ke mana PKS dan PAN berlabuh di 2019 ini, kan? Rugi bagi parpol, rugi bagi caleg, rugi pula bagi capres yang diusung.

Meski begitu, saya sepakat bahwa jika terus dinyinyiri, mereka akan aktif kampanye golput. Bedanya, golputers yang mengancam Jokowi biasanya dari kalangan aktivis-sekuler. Sedangkan golputers yang mengancam PKS-PAN-Prabowo biasanya dari kalangan aktivis-islamis.

Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengajak golputers untuk kembali memilih. Supaya pemilu kali ini disengkuyung bareng. Siapa tahu dengan ini, saya diangkat jadi cebong honoris causa, atau kampret muallaf. Lumayan lah buat manjang-manjangin CV.

Pertama saya ingin mengoreksi logika pemilu sebagai the act of choosing the lesser evil. Istilah ini sebetulnya ada padanannya dalam kaidah Ushul Fiqh. Bunyinya Irtikaab akhoffu ad Dararain. Diterjemahkan bebas menjadi memilih yang paling sedikit kejahatan, kerugian, atau keburukannya.

Contohnya kamu sekarat kelaparan. Di depanmu ada dua pilihan: ayam tiren punyamu sendiri dan daging sapi punya tetangga, lalu tetanggamu kebetulan sama-sama kelaparan. Anggap saja kamu nggak bisa keluar dari dua kondisi ini tanpa memilih  salah satu. Mana yang kamu pilih?

Yaps, pilihlah ayam tiren! Sebab, kerugian dari haramnya ayam tiren hanya kamu yang nanggung. Tetanggamu selamat.

Lha tapi, emang pemilu depan seseram itu apa ya? Memangnya agenda politik kita sesekarat itu po?

Celakanya, kalimat itu yang sering dipakai para relawan dengan klise: “Kita tidak memilih yang terbaik, tapi cegah yang terburuk berkuasa.”

Langsung saja dimentahkan oleh golputers. Lha berarti sama-sama buruk dong? Elect an evil?

Karena itu, menurut saya, istilah ini kurang pas. Sebab, sudah memastikan adanya dua kejahatan dalam dua pilihan berbeda. Itu pandangan pesimis. Penilaian yang berbasis kelemahan. Mungkin ra mashok dalam standar penilaian autentik kurikulum 2013 terbaru.

Kaidah yang cocok menurut saya adalah “ma la yudraku ba’duhu, la yutraku kulluhu”. Terjemahan bebasnya, “jika tak mampu raih sebagian hal, jangan campakkan seluruhnya sama sekali.”

Contohnya, jika tak mampu kuasai salah satu mata pelajaran USBN, jangan tinggalkan begitu saja mapel lain yang mampu dikuasai.

Menurut saya, ini kaidah dashyat dan paling pas dengan pemilu April nanti.

Mantan pendukung petahana yang berniat golput, cobalah berpikir dalam kerangka kaidah di atas. Taruhlah Jokowi tidak selesaikan agenda penyelesaian HAM masa lalu. Tapi, berapa agenda politik lain yang dia selesaikan? Katakanlah reformasi birokrasi belum sukses dijalankan, tapi berapa kebijakan positif yang juga dia telurkan?

Jika ada satu-dua agenda politik yang dulunya kamu kira bisa dilaksanakan Jokowi, ternyata terbengkalai; coba hitung agendamu yang lain. Seperti kata kaidah di atas, jika tak raih sebagian hal, jangan tinggalnya seluruhnya.

Begitu pula dengan mantan pendukung Prabowo jika berniat golput. Katakanlah Prabowo khianati perjuangan ummat karena tidak pilih cawapres ulama. Tapi agenda politikmu yang lain bukankah masih bisa dititipkan ke orang yang sama? Bukankah ia masih sosok yang sama yang dipilih oleh ulama versi kamu itu?

Jika begitu, kita tak lagi memilih dua kejahatan. Tak dihadapkan dengan dua keburukan yang tak terhindarkan. Penilaian kita berbasis keunggulan. Siapa yang paling bisa (sebanyak mungkin) menuntaskan agenda-agenda kita, pilih! Simpel kan?

Selain karena ketidakpuasan pada sosok, golput juga laku protes akan sistem. Sekelompok orang menggugat, mengapa pencapresan hanya boleh lewat partai? Sementara partai hanya bisa didirikan dengan modal besar.

Aspirasi sobat misqueen sangat tidak mungkin bisa tersalurkan karena ongkos mahal tersebut. Akhirnya bisa dinilai kalau golput adalah sikap berontak atau melawan.

Menurut saya itu gambaran perfeksionisme. Kita menjumpainya di kehidupan sehari-hari. Tapi kita dapati pula perfeksionis alami rintangan yang tak perlu dalam hidup.

Kawan saya tidak sudi makan rambutan yang bagian kulit bijinya masih menempel ke daging rambutan. “Kayak makan kayu,” katanya. Ia lebih suka nyesep rambutan yang berair.

Menjadi sempurna atau menginginkan kesempurnaan tentu baik. Tapi tidak semua kesempurnaan bisa terwujud. Soalnya beberapa memang berada di luar kuasa kita.

Dari dulu saya mendambakan kangkung sebagai pengganti sawi dalam Mie Ayam. Tapi di Bantul nggak ada. Toh saya tak tinggalkan Mie Ayam begitu saja.

Oleh sebab itu, kembali saya ingatkan: apa yang tak bisa diraih sebagiannya, jangan dicampakkan seluruhnya.

Sodaqallahul Adzim.

Sebentar, sebentar, kok jadi berasa ngaji begini yak?

Exit mobile version