Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

Kalis Mardiasih oleh Kalis Mardiasih
8 Juli 2020
0
A A
Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Jika perempuan selalu dididik untuk mencegah jadi korban kekerasan seksual, kenapa laki-laki tidak dididik hal yang sama agar tak jadi pelaku?

Beberapa hari linimasa twitter cukup menakutkan buat saya. Resah saja tidak cukup. Saya benar-benar ketakutan.

Kebebasan seseorang untuk menyuarakan pendapat di muka publik akhirnya memberitahu kita semua mengapa usaha mencari keadilan kepada korban kekerasan seksual tidak selalu mendapat dukungan.

Saya menemukan sebuah akun yang punya pendapat bahwa jika seorang ayah memperkosa anak sendiri, itu karena intensitas ayah dan anak yang sering berdua-duaan di rumah, sedangkan ibunya sibuk bekerja. Celakanya, ia merasa pendapatnya dibangun dari fondasi kaidah fikih.

Benar-benar sebuah cara berpikir yang tak bisa saya pahami, sebab saya masih percaya bahwa fikih merupakan produk hukum Islam yang dibuat untuk tujuan rasa keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan.

Baca Juga:

Ketika Anakku Nyaris Menjadi Korban Pelecehan Seksual Teman Sepermainannya

Penyanyi R. Kelly Dihukum 30 Tahun Penjara Atas Sejumlah Kasus Kekerasan Seksual

Universitas Jadi Lahan Subur Kasus, UGM Deklarasi Antikekerasan Seksual

Sebuah akun lain, kali ini tidak menggunakan kaidah agama, punya pendapat yang tampak empatik tapi intinya sama saja: mendikte perempuan untuk berhati-hati, sebab lingkungan yang kami tinggali ini tak ideal.

Wujud kehati-hatian itu, tentu saja adalah tahu diri dalam hal berpakaian agar tidak “memancing” pelaku kekerasan seksual.

Yang paling banyak beredar adalah pandangan yang memaklumi tindakan kekerasan dengan mengibaratkan laki-laki sebagai binatang. Lelaki diibaratkan sebagai kucing memangsa ikan asin atau semut yang merubuti gula, sehingga dianggap “wajar” melecehkan perempuan.

Jika perempuan selalu dididik dengan ketentuan agama, mengapa laki-laki diwajarkan menjadi binatang, padahal ia juga subjek manusia beragama yang dapat mendidik dirinya sendiri?

Saya yakin betul para perempuan sudah sangat kenyang dengan kata hati-hati. Sejak kecil, anak perempuan selalu dididik untuk berpakaian sopan, tidak pergi-pergi sendirian, tidak bersuara lantang hingga menarik perhatian, tidak pulang malam, sebab dunia sejak dulu tampak terlalu mengerikan buat anak perempuan. Sekadar nongkrong di depan rumah saja, anak perempuan bakal ditegur orang tua untuk pakai celana panjang.

Tapi, apakah anak laki-laki diajari untuk menghormati tubuh perempuan? Bahwa, sama seperti tubuh anak laki-laki, tubuh anak perempuan adalah milik perempuan itu sendiri. Semua tubuh berhak akan rasa aman. Oleh karena itu, anak laki-laki tak boleh melecehkan dan tak boleh menyerang tubuh perempuan.

Lagipula, harus bagaimana perempuan berhati-hati jika lembar fakta CATAHU Komnas Perempuan 2020 melaporkan 75,4% kekerasan seksual yang dialami perempuan justru terjadi di ranah personal, yang artinya pelakunya adalah orang dekat seperti ayah kandung atau ayah tiri, kakak laki-laki, paman, tetangga atau teman dekat.

Menurut data survei Koalisi Ruang Publik Aman, kejadian pelecehan atau kekerasan seksual terhadap perempuan justru banyak terjadi pada siang hari (35%), diikuti dengan sore hari (25%), malam hari (21%), dan pagi hari (17%).

Selain itu, jenis pakaian yang digunakan korban juga beragam, seperti rok, dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%).

Artinya, mitos soal tempat, waktu dan pakaian yang dikenakan korban pelecehan dan kekerasan seksual semua terpatahkan. Yuyun, siswi SMP kelas 2 di Bengkulu yang diperkosa lalu dibunuh oleh 14 laki-laki itu memakai seragam sekolah dalam perjalanan pulang ke rumah ketika para pelaku kekerasan menyerangnya.

Akar masalah kekerasan seksual bersumber pada otak pelaku yang ingin merendahkan, mengancam serta menyerang harga diri, atau martabat seseorang lewat tindakan kekerasan seksual.

Pelaku memiliki pandangan bahwa korban tak berdaya dan tak berharga, sehingga ia dapat menaklukan korban untuk menyampaikan pesan bahwa ia lebih kuat dan lebih berdaya. Oleh karena masalah ada pada otak, maka otak pelaku yang mesti dibongkar.

Tapi, saya juga mesti sadar kalau tradisi menertibkan “moral” perempuan adalah tradisi yang sangat tua dan lebih disukai oleh masyarakat yang bias kuasa laki-laki.

Opini-opini yang bersifat menyalahkan korban dan tetap berusaha membuka ruang untuk memaklumi kebejatan pelaku itu adalah hasil pewajaran pandangan dehumanisasi terhadap kemanusiaan perempuan berdasarkan budaya dan media yang patriarkal. Ribuan tahun lamanya.

Belasan tahun lalu, kita familiar dengan Bang Napi yang selalu muncul di segmen terakhir acara berita semi hiburan bertajuk Sergap di RCTI. Bang Napi selalu berpesan: “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!”

Lihatlah pesan yang begitu meneror itu. Seolah-olah, sejak belasan tahun lalu kita telah diingatkan bahwa kita semua tak akan selamat dari pelaku dengan cara apa pun.

Bahkan sampai tahun 2020, sebuah media nasional masih bisa membuat judul: Dihajar Sampai Hamil, Guru Olahraga Mengaku Saling Cinta. Isi berita tersebut adalah seorang guru olahraga berusia 50-an tahun memperkosa seorang siswi berkali-kali sampai korban hamil.

Bayangkan, menjadi korban perempuan yang mengalami kehamilan tak direncanakan pada usia anak akibat perkosaan? Korban mengalami trauma psikis dan trauma fisik tak mudah, sementara dari ke hari, ia tetap menyaksikan ada yang berubah pada tubuhnya. Kondisi alat reproduksi rentan.

Sudah begitu korban yang masih pelajar pun terputus dari segala akses menuju cita-citanya di masa depan karena sistem pendidikan nasional pada umumnya mendiskriminasi perempuan dengan kehamilan.

Tapi, jurnalis menulis pengalaman sulit korban dengan kata “dihajar”, seolah memerkosa anak perempuan di bawah umur adalah tindakan jantan serta heroik yang layak dirayakan.

Pahit memang untuk mengakui bahwa kita semua adalah anak kandung dari budaya yang melecehkan dan merendahkan martabat perempuan. Meski begitu, saya percaya ada cara sederhana untuk menyelamatkan akal sehat kita.

Paling tidak, kita bisa menggunakan cara kita ketika berkomentar soal kasus kekerasan seksual dengan berbagai pertimbangan. Metodologi atau kaidah apa saja tentang peristiwa kekerasan seksual, pastikan kita semua telah mencoba mendengar suara korban, berupaya memahami pengalaman korban dan mencari tahu apa kebutuhan korban kekerasan seksual.

Teori-teori pemakluman sudah terlalu banyak, kini saatnya memberi kesempatan kepada pihak yang suara dan pengalaman mereka yang tak pernah didengar, tak pernah dipandang utuh, serta tak pernah dicatat.

Sebab, mendengar suara korban adalah langkah pertama menuju keadilan, bukan memaklumi tindakan pelaku sampai jadi kebiasaan.

BACA JUGA Laki-Laki Mendukung RUU PKS, Sebab Ia Memang Nggak Takut Dilaporin Istrinya ke Polisi atau tulisan Kalis Mardiasih lainnya.

Tags: fikihkekerasan seksualkorbanpelakupemerkosaan
Kalis Mardiasih

Kalis Mardiasih

Artikel Terkait

Ketika Anakku Nyaris Menjadi Korban Pelecehan Seksual Teman Sepermainannya MOJOK.CO

Ketika Anakku Nyaris Menjadi Korban Pelecehan Seksual Teman Sepermainannya

19 Juli 2022
r. kelly mojok.co

Penyanyi R. Kelly Dihukum 30 Tahun Penjara Atas Sejumlah Kasus Kekerasan Seksual

30 Juni 2022
UGM antikekerasan seksual

Universitas Jadi Lahan Subur Kasus, UGM Deklarasi Antikekerasan Seksual

9 Juni 2022
lpsk mojok.co

LPSK Temukan 400 Lebih Kasus Kekerasan Seksual

2 Juni 2022
uu tpks mojok.co

Kementerian PPPA Minta UGM Bantu Buat Aturan Turunan UU TPKS

18 Mei 2022
Penyalin Cahaya dan Catatan Saya untuk Penontonnya

Film Penyalin Cahaya dan Catatan Saya untuk Penontonnya

26 Januari 2022
Pos Selanjutnya
Kejeniusan Anies Baswedan Membungkam Pendukung Sendiri Lewat Diksi dan Museum Nabi

Kejeniusan Anies Baswedan Membungkam Pendukung Sendiri Lewat Diksi dan Museum Nabi

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

8 Agustus 2022
Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

8 Juli 2020
Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Perguruan Tinggi Favorit MOJOK.CO

Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Masuk Perguruan Tinggi Favorit

5 Agustus 2022
pola pengasuhan anak mojok.co

Psikolog UGM Jelaskan Tipe Pola Asuh yang Bisa Berdampak pada Hasil Akademik Anak

5 Agustus 2022

Cara Hadapi Henry Subiakto Menurut Mahasiswanya, Itu Lho Staf Kominfo yang Unggah Liputan Narasi TV Tanpa Watermark

3 November 2020
Lampu merah terlama di Jogja. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Menghitung Lampu Merah Terlama di Jogja, Apakah Simpang Empat Pingit Tetap Juara?

9 Agustus 2022
Musimin, petani di lereng Gunung Merapi yang menolak ekspor kopi ke Jepang.

Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang 

5 Agustus 2022

Terbaru

world water forum mojok.co

Persiapan Dua Tahun, Indonesia Dipercaya Gelar Forum Air Dunia 

11 Agustus 2022
Teror Hantu Penghuni Patung Loro Blonyo MOJOK.CO

Teror Hantu Penghuni Patung Loro Blonyo

11 Agustus 2022
Kezaliman Barcelona Terhadap Frenkie De Jong

Kezaliman Barcelona Terhadap Frenkie De Jong

11 Agustus 2022
Ketua LPSK mengatakan perlindangan istri Ferdy Sambo bisa dibatalkan

Kurang Kooperatif, LPSK Sebut Permohonan Perlindungan Istri Ferdy Sambo Bisa Dibatalkan

11 Agustus 2022
mendag zulhas mojok.co

Mendag Zulhas Sebut Harga Kebutuhan Pokok DIY Paling Rendah

11 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In