Mengantar Bayar Bayar Bayar Sukatani ke Pemakaman dengan Sukacita

Mengantar Bayar Bayar Bayar Sukatani ke Pemakaman MOJOK.CO

Ilustrasi Mengantar Bayar Bayar Bayar Sukatani ke Pemakaman. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSukatani dan “Bayar Bayar Bayar” menunjukkan bahwa jika jujur adalah kejahatan, lantas apa yang disebut sebagai kebaikan?

Pesan dari grup WhatsApp masuk tanpa permisi. Seorang teman mengirim tautan sebuah konten di Instagram. Konten tersebut sukses membuat hati ini semakin panas, menyusul sinar matahari yang memang sedang begitu terik. 

Makin tidak nyaman setelah menonton konten di grup WhatsApp yang diberi taburan kalimat: “Ada-ada aja hidup”. 

Saya tidak langsung membuka pesan dari teman itu. Namun, saya justru menyempatkan berkomentar, “Asu, wagu tenan!” sebagai respons jengkel atas link Instagram yang berisi video reels dari “pembredelan” lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Sukatani.

Hari-hari yang gelap di depan mata

Sepertinya akhir-akhir ini adalah hari-hari yang gelap. Dan mungkin masih dan akan semakin gelap di hari-hari selanjutnya. Belum usai gaduh isu Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu, kini riuh perkara Sukatani yang meminta maaf dan “membuat klarifikasi” atas karyanya.

Unit punk new wave asal Purbalingga, menarik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari seluruh platform streaming musik. Mereka meminta maaf dengan muka telanjang, alias tidak memakai balaclava seperti ciri khas mereka saat di panggung. Mereka juga meminta maaf atas nama terang mereka, yang tidak pernah muncul di proyek musik bernama Sukatani.

Seperti gulma, kabar Sukatani tumbuh liar di media sosial. Beberapa musisi dan akun-akun media musik dengan cepat mengabarkan berita buruk di siang bolong.

Setelah muncul klarifikasi dan permintaan maaf dari Sukatani, lagu tersebut langsung menjadi bahan perbincangan di berbagai media sosial. Selayak hukum alam yang terus berlaku, “Semakin dilarang akan semakin dicari”. Itu pula yang terjadi di lagu yang “sengaja” dikubur sang empunya sendiri. Seperti bola salju, upaya membungkam lagu ini justru menguatkan pesan yang ingin disampaikan.

Realitas dalam lagu Sukatani nyatanya diamini oleh banyak orang. Namun, masalah ketersinggungan masih menjadi hantu para seniman untuk berkarya. 

Setelah beberapa waktu lalu ramai soal pameran lukisan yang “dipaksa” batal. Kini giliran Sukatani yang harus meringkuk karena teremat jujur atau… entahlah. Jika jujur adalah kejahatan, lantas apa yang disebut sebagai kebaikan?

Musik memang selalu mengusik!

Musik menjadi refleksi zaman, cermin dari apa yang terjadi dalam masyarakat. Ia selalu mengambil peran dalam perang maupun kekacauan. Tidak heran jika dalam sejarah, lagu-lagu dengan lirik kritis kerap dianggap sebagai ancaman yang mengusik.

Lagu “Genjer-Genjer” masih “dikutuk” menjadi sejarah kelam sampai saat ini. Juga, lagu dangdut berjudul “Tumpang Pitu Menangis” yang merekam eksploitasi tambang emas di ujung timur Pulau Jawa. Sukatani menambah panjang daftar lagu yang mengusik kekuasaan.

Musik selalu punya cara sendiri untuk menyampaikan kebenaran yang enggan didengar. Di buku Musik Protes: Kilas Sejarah dan Studi Pendengar, Soni Triantoro menulis begini: 

“Ketika orang-orang dihadapkan dengan musuh yang berkekuatan lebih besar, bahaya yang nyata, ngeri yang hebat, atau maut yang tinggal seinci, musicking menopang apa yang tersisa.”

Saat harapanmu semakin tipis, dan jelaga kekalahan hanya beberapa inci di atas kepalamu, musik adalah bahan bakar untuk terus hidup. Musik dan lirik tidak hadir dalam ruang hampa dan bukan sekadar hiburan. Ia adalah catatan sejarah dan realitas yang terus hidup dan tak bisa dihapus begitu saja. Musisi, secara sadar atau tidak, adalah penjaga ingatan kolektif, seniman yang merekam realitas dalam harmoni dan distorsi.

Mengantar lagu Sukatani ke pemakaman dengan sukacita

Saat matahari tepat di atas kepala, saya menembus jalanan menuju Titik Nol Kilometer Jogja. Meski telat, saya tetap berniat datang ke aksi demonstrasi yang sudah berjalan sejak pukul 10 pagi. 

Saya berjalan menuju kerumunan massa aksi yang berkumpul di depan gedung kepresidenan. Sayup dari jauh saya mendengar lagu Sukatani dimainkan melalui peranti musik digital dari mobil komando yang bermahkota toa 2 biji.

Seorang perempuan berorasi tepat setelah lagu Sukatani tandas diputar. Dia berbicara tentang kebebasan berekspresi di negara yang demokratis. Di negeri yang amat indah ini, kata “bicara realitas” adalah sinonim “kesalahan besar”. 

Rasa jengkel saya nyatanya belum benar-benar redup. Rasa jengkel saat melihat unggahan Sukatani menuju pusara yang membawa lagunya sendiri.

Sekarang, Sukatani telah meminta maaf. Mereka telah membuka identitas aslinya. Apakah dunia kembali damai? Oknum yang jadi objek kritiknya sudah bisa tidur nyenyak? Apakah pungli akan lenyap? Bukankah ini kemenangan yang patut mereka dirayakan?

Pada akhirnya, musik tetap akan mengusik, karena sejarah membuktikan bahwa seni bukan sekadar hiburan. Ia adalah suara zaman, ingatan kolektif, dan yang paling penting: senjata melawan lupa. 

Pesan Sukatani sudah menyebar!

Sukatani “mungkin dipaksa” meminta maaf, tetapi pesan mereka sudah terlanjur menyebar. Dan seperti yang kita tahu, menarik kata-kata tak akan semudah menarik pelatuk pistol ke arah anak SMP, bukan?

“Mulai hari ini saya akan mendengarkan lagu Sukatani tiap malam.” Kata seorang ke pada temannya. Saya tak sengaja menguping percakapan mereka. 

Sembari mengisap rokok, saya tersenyum. Setidaknya lagu Sukatani diantar ke tempat paling layak dengan sukacita.

Batu nisan “Bayar Bayar Bayar”

Sukatani telah menancapkan batu nisan dengan nama “Bayar Bayar Bayar”. Ia menjadi monumen pengingat kebebasan adalah keniscayaan. Sebab, mereka akan tumbuh lebih subur dari gulma.

Lalu, siapa lagi yang akan kita antar ke pemakaman selanjutnya? Hari ini Sukatani, besok bisa saja aku, kamu, atau bahkan kita semua? Sebab yang tidak terjadi pada kita hari ini, belum tentu tidak mengancam kita esok hari.

Dan yang paling akhir, #KamiBersamaSukatani

Tabik, Sukatani!

Penulis: Deby Hermawan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kata Adalah Senjata dan Lagu Adalah Meriam: Dari NWA Sampai Sukatani dan catatan perlawanan lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version