MOJOK.CO – Hidup memang memble dan bajingan. Tapi, bukankah kita harus terus mencari bahagia, seperti Vincent van Gogh dan cat kuningnya?
Baru-baru ini seorang teman saya, yang mari kita sebut sebagai Juleha, harus menghadapi kenyataan bahwa mas-mas yang disayanginya tiba-tiba berada dalam hubungan dengan seseorang lain. Yah, tidak setiba-tiba itu sih, mereka sudah kelihatan dekat dari awal semester ini dan tetap saja kami—saya dan teman-teman saya yang lain—kaget ketika mereka akhirnya betulan bersama. Juleha jadi sering pulang cepat usai kelas dan tidak mau berlama-lama nongkrong di kampus, yang kami asumsikan sebagai caranya menyikapi patah hati.
Pada suatu malam, karena saya jadi sungguhan khawatir terhadap keadaan Juleha, saya pun menanyakan kabarnya lewat ponsel karena kami tidak kunjung punya waktu mengobrol kalau sedang di kampus. “Melihat apa yang baru-baru saja ini terjadi, Jul,” kata saya, “kamu sebenarnya baik-baik saja, tidak?”
Pertanyaan yang bodoh karena saya tahu ia tidak baik-baik saja, tapi Juleha kemudian menjawab, “Aku tidak benar-benar bahagia, tapi aku tidak sesedih yang kupikir. Kalau ditanya aku baik-baik saja atau tidak, jawabannya baik-baik saja!
“Aku bahagia karena aku ternyata bisa menghadapi ini dengan baik. Aku mungkin kecewa dengan beberapa hal yang ia lakukan, tapi itu juga karena aku punya ekspektasi yang bisa jadi terlalu tinggi untuk dia,” jawab Juleha.
“Bagian paling penting adalah aku rasa aku tidak kapok jatuh cinta lagi—dan itu cukup, setidaknya untuk sekarang.”
Obrolan itu pun berlanjut ke mana-mana, dan saya lega karena ternyata Juleha betulan “baik-baik saja” dan “bahagia”, apa pun definisinya.
Percakapan ini, anehnya, membuat saya teringat pada sebuah kisah tentang Vincent van Gogh.
Alkisah, pelukis asal Belanda itu pernah memakan cat kuning dalam upayanya bergulat dengan kesedihan. Melihat bahwa warna kuning hadir dalam cahaya dan bunga matahari dan hal-hal cantik yang lain, ia juga mungkin berpikir bahwa cat kuning dapat memberinya secercah kebahagian walau sedikit.
Bertahun-tahun kemudian, saya tahu kalau cerita itu tidak pernah terjadi: Vincent van Gogh ternyata tidak pernah memakan cat kuning walaupun memang dokternya pernah menyatakan bahwa ia pernah punya pemikiran seperti itu.
Cerita ini tetap bercokol di bagian belakang kepala tiap saya mencoba menjelaskan apa itu kebahagiaan. Vincent van Gogh pernah memotong telinganya dan kehidupannya secara umum bukanlah sesuatu yang bisa disebut membahagiakan sehingga sangat wajar menurut saya bahwa ide gila seperti memakan cat kuning akan terasa lazim. Ini mirip orang yang merokok atau minum alkohol dengan harapan bisa membuat diri menjadi baik-baik saja, walaupun hal-hal ini jelas membunuh perlahan-lahan.
Lantas, kalau bukan menenggak cat kuning, apa yang bisa kita lakukan demi bahagia?
Seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa manusia bisa bahagia kalau sudah mewujudkan seluruh keinginannya. Well, saya ingin membeli tiket liburan ke Alaska dan mencium seseorang, tapi saya tidak punya cukup uang dan seseorang yang ingin saya cium sudah punya pacar yang lebih cantik dari saya.
Ya, nyatanya, tidak selamanya keinginan-keinginan kita dapat tercapai dengan mudah, atau bahkan mungkin tidak bisa tercapai sama sekali.
Seperti kata Gus kepada Hazel Grace, “The world is not a wish-granting factory.” Dunia ini, Sayangku, bukanlah sebuah pabrik pengabul permintaan. Kalau kita terus-terusan berharap semua permintaan kita akan terwujud supaya kita bisa menjadi bahagia, saya rasa selamanya kita tidak akan pernah bisa.
Pendapat tentang mewujudkan keinginan, yang sejujurnya membuat saya gerah itu, akhirnya memancing saya untuk menanyakan kepada teman-teman saya yang lain pertanyaan besar ini: apa itu kebahagiaan?
Kebahagiaan adalah melihat langit yang warnanya cantik, kata seorang teman. Kebahagiaan adalah bangun dari tidur dan mendapati pesan selamat pagi dari seseorang yang kita sayangi, kata teman yang lain. Benang merahnya jelas: kebahagiaan, rupanya, adalah sesuatu yang bersifat eksternal bagi saya dan teman-teman saya—mungkin bagi kalian yang membaca juga.
Tulisan yang mendadak jadi filosofis ini berangkat dari sesuatu sesederhana kekhawatiran saya terhadap teman yang sedang patah hati, tapi saya rasa kebahagiaan memang selamanya akan menjadi misteri yang tidak terpecahkan.
Sampai sekarang, saya masih melestarikan “cat-cat kuning” ala Vincent van Gogh versi saya—merokok, misalnya; dan berpindah dari satu orang ke orang lain agar tidak terlalu memikirkan mas-mas yang terakhir saya sayangi. Tapi, saya pun sadar hal-hal ini tidak akan banyak membantu. Bagaimana kalau saya tidak akan pernah bisa bahagia?
Intinya, yang ingin saya coba sampaikan adalah bahwa hidup ini memang memble dan bajingan. Ia penuh dengan hal-hal menyedihkan, seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan, nilai yang merosot, anak-anak yang kelaparan, kucing-kucing yang telantar, hutan-hutan yang dibakar, sampai bintang-bintang yang meledak, lalu mati jadi bubuk. Bukan sesuatu yang salah dan dangkal juga kalau kita bergantung pada hal-hal eksternal untuk merasa baik-baik saja, karena kita toh tidak punya banyak pilihan, kan?
Seperti Juleha yang sedang patah hati, saya rasa banyak orang juga sedang mengalami perjalanan mencari kebahagiaannya masing-masing.
Pesan saya selalu: tidak apa-apa untuk mencari emas di ujung pelangi. Tapi, kalau kamu mulai lelah berlari, jangan lupa untuk duduk dan menangis dulu kalau perlu.
Sepenting-pentingnya mencari bahagia, menjadi sedih pun adalah tanda bahwa kamu manusia!