Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mencari Kebahagiaan dari Hidup yang Bajingan ala Vincent van Gogh

Sarah Amany oleh Sarah Amany
23 Maret 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Hidup memang memble dan bajingan. Tapi, bukankah kita harus terus mencari bahagia, seperti Vincent van Gogh dan cat kuningnya?

Baru-baru ini seorang teman saya, yang mari kita sebut sebagai Juleha, harus menghadapi kenyataan bahwa mas-mas yang disayanginya tiba-tiba berada dalam hubungan dengan seseorang lain. Yah, tidak setiba-tiba itu sih, mereka sudah kelihatan dekat dari awal semester ini dan tetap saja kami—saya dan teman-teman saya yang lain—kaget ketika mereka akhirnya betulan bersama. Juleha jadi sering pulang cepat usai kelas dan tidak mau berlama-lama nongkrong di kampus, yang kami asumsikan sebagai caranya menyikapi patah hati.

Pada suatu malam, karena saya jadi sungguhan khawatir terhadap keadaan Juleha, saya pun menanyakan kabarnya lewat ponsel karena kami tidak kunjung punya waktu mengobrol kalau sedang di kampus. “Melihat apa yang baru-baru saja ini terjadi, Jul,” kata saya, “kamu sebenarnya baik-baik saja, tidak?”

Pertanyaan yang bodoh karena saya tahu ia tidak baik-baik saja, tapi Juleha kemudian menjawab, “Aku tidak benar-benar bahagia, tapi aku tidak sesedih yang kupikir. Kalau ditanya aku baik-baik saja atau tidak, jawabannya baik-baik saja!

“Aku bahagia karena aku ternyata bisa menghadapi ini dengan baik. Aku mungkin kecewa dengan beberapa hal yang ia lakukan, tapi itu juga karena aku punya ekspektasi yang bisa jadi terlalu tinggi untuk dia,” jawab Juleha.

“Bagian paling penting adalah aku rasa aku tidak kapok jatuh cinta lagi—dan itu cukup, setidaknya untuk sekarang.”

Obrolan itu pun berlanjut ke mana-mana, dan saya lega karena ternyata Juleha betulan “baik-baik saja” dan “bahagia”, apa pun definisinya.

Percakapan ini, anehnya, membuat saya teringat pada sebuah kisah tentang Vincent van Gogh.

Alkisah, pelukis asal Belanda itu pernah memakan cat kuning dalam upayanya bergulat dengan kesedihan. Melihat bahwa warna kuning hadir dalam cahaya dan bunga matahari dan hal-hal cantik yang lain, ia juga mungkin berpikir bahwa cat kuning dapat memberinya secercah kebahagian walau sedikit.

Bertahun-tahun kemudian, saya tahu kalau cerita itu tidak pernah terjadi: Vincent van Gogh ternyata tidak pernah memakan cat kuning walaupun memang dokternya pernah menyatakan bahwa ia pernah punya pemikiran seperti itu.

Cerita ini tetap bercokol di bagian belakang kepala tiap saya mencoba menjelaskan apa itu kebahagiaan. Vincent van Gogh pernah memotong telinganya dan kehidupannya secara umum bukanlah sesuatu yang bisa disebut membahagiakan sehingga sangat wajar menurut saya bahwa ide gila seperti memakan cat kuning akan terasa lazim. Ini mirip orang yang merokok atau minum alkohol dengan harapan bisa membuat diri menjadi baik-baik saja, walaupun hal-hal ini jelas membunuh perlahan-lahan.

Lantas, kalau bukan menenggak cat kuning, apa yang bisa kita lakukan demi bahagia?

Seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa manusia bisa bahagia kalau sudah mewujudkan seluruh keinginannya. Well, saya ingin membeli tiket liburan ke Alaska dan mencium seseorang, tapi saya tidak punya cukup uang dan seseorang yang ingin saya cium sudah punya pacar yang lebih cantik dari saya.

Ya, nyatanya, tidak selamanya keinginan-keinginan kita dapat tercapai dengan mudah, atau bahkan mungkin tidak bisa tercapai sama sekali.

Iklan

Seperti kata Gus kepada Hazel Grace, “The world is not a wish-granting factory.” Dunia ini, Sayangku, bukanlah sebuah pabrik pengabul permintaan. Kalau kita terus-terusan berharap semua permintaan kita akan terwujud supaya kita bisa menjadi bahagia, saya rasa selamanya kita tidak akan pernah bisa.

Pendapat tentang mewujudkan keinginan, yang sejujurnya membuat saya gerah itu, akhirnya memancing saya untuk menanyakan kepada teman-teman saya yang lain pertanyaan besar ini: apa itu kebahagiaan?

Kebahagiaan adalah melihat langit yang warnanya cantik, kata seorang teman. Kebahagiaan adalah bangun dari tidur dan mendapati pesan selamat pagi dari seseorang yang kita sayangi, kata teman yang lain. Benang merahnya jelas: kebahagiaan, rupanya, adalah sesuatu yang bersifat eksternal bagi saya dan teman-teman saya—mungkin bagi kalian yang membaca juga.

Tulisan yang mendadak jadi filosofis ini berangkat dari sesuatu sesederhana kekhawatiran saya terhadap teman yang sedang patah hati, tapi saya rasa kebahagiaan memang selamanya akan menjadi misteri yang tidak terpecahkan.

Sampai sekarang, saya masih melestarikan “cat-cat kuning” ala Vincent van Gogh versi saya—merokok, misalnya; dan berpindah dari satu orang ke orang lain agar tidak terlalu memikirkan mas-mas yang terakhir saya sayangi. Tapi, saya pun sadar hal-hal ini tidak akan banyak membantu. Bagaimana kalau saya tidak akan pernah bisa bahagia?

Intinya, yang ingin saya coba sampaikan adalah bahwa hidup ini memang memble dan bajingan. Ia penuh dengan hal-hal menyedihkan, seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan, nilai yang merosot, anak-anak yang kelaparan, kucing-kucing yang telantar, hutan-hutan yang dibakar, sampai bintang-bintang yang meledak, lalu mati jadi bubuk. Bukan sesuatu yang salah dan dangkal juga kalau kita bergantung pada hal-hal eksternal untuk merasa baik-baik saja, karena kita toh tidak punya banyak pilihan, kan?

Seperti Juleha yang sedang patah hati, saya rasa banyak orang juga sedang mengalami perjalanan mencari kebahagiaannya masing-masing.

Pesan saya selalu: tidak apa-apa untuk mencari emas di ujung pelangi. Tapi, kalau kamu mulai lelah berlari, jangan lupa untuk duduk dan menangis dulu kalau perlu.

Sepenting-pentingnya mencari bahagia, menjadi sedih pun adalah tanda bahwa kamu manusia!

Terakhir diperbarui pada 23 Maret 2019 oleh

Tags: Bahagiabajinganhidupkebahagiaan itu apapelukisVincent van Gogh
Sarah Amany

Sarah Amany

Sarah Amany Wisista lahir di Cirebon, besar di Purwokerto, sekarang berkuliah di Antropologi Budaya UGM Yogyakarta, dan kalau liburan pulang ke Jakarta.

Artikel Terkait

Wisatawan dan Musafir Jogja kelaparan.MOJOK.CO
Ragam

Nestapa Para Musafir hingga Wisatawan Kelaparan di Jogja, Berharap Sebungkus Nasi dan Tempat Singgah

21 Januari 2024
djoko pekik mojok.co
Kilas

Maestro Lukis ‘Berburu Celeng’ Djoko Pekik Meninggal Dunia

12 Agustus 2023
Miftahur Rizaq: Perupa Muda yang Hidupnya Diselamatkan Rokok
Video

Miftahur Rizaq: Perupa Muda yang Hidupnya Diselamatkan Rokok

20 Maret 2023
bahagia mojok.co
Uneg-uneg

Benarkah Bahagia Itu Pilihan?

11 Desember 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.