Mencari Akar Penyebab Larangan Beribadah Terjadi Lagi dan Lagi

larangan beribadah intoleransi bantul pajangan SKB menteri agama peraturan bersama kebebasan beragama penelitian intoleransi mojok.co

larangan beribadah intoleransi bantul pajangan SKB menteri agama peraturan bersama kebebasan beragama penelitian intoleransi mojok.co

MOJOK.COPercaya atau tidak, tindakan warga sekitar menyatakan larangan beribadah pada warga beragama tertentu ada dasar hukumnya. Wow.

Penghentian kegiatan beribadah Paguyuban Padma Bhuwana Mangir yang dilaksanakan di rumah Utik Suprapti di Dusun Mangir Lor, Desa Pajangan, Bantul, D.I. Yogyakarta pada Selasa pekan lalu (12/11) menunjukkan bahwa isu kebebasan beragama dan beribadah masih menjadi persoalan serius di Indonesia.

Sebagaimana yang dilaporkan Tirto dan BBC Indonesia, upacara pemujaan leluhur yang sedianya dilaksanakan dua kali pada pukul 13.00 dan 18.00 hari itu akhirnya berhenti di tengah jalan karena tekanan dari masyarakat sekitar dan intervensi kepolisian.

Alasan pemberhentian konon karena acara tersebut belum mengantungi izin dari berbagai instansi terkait. Pihak kepolisian juga ingin menyelidiki apakah paguyuban tersebut telah terdaftar di Departemen Agama dan apakah ada indikasi penyimpangan.

 Pengamat yang menekuni isu kebebasan beragama di Indonesia tidak akan terkejut dengan apa yang terjadi di Dusun Mangir Lor. Tekanan pada kegiatan beribadah dan usaha mendirikan tempat ibadah kerap terjadi di Indonesia dan terdokumentasi dengan baik oleh lembaga penelitian seperti CRCS UGM, Setara Institute, dan Wahid Institute.

Di level global, tekanan dari masyarakat yang berujung pada pembatasan kegiatan beragama kelompok tertentu diukur dengan instrumen yang bernama Social Hostility Index. Pada waktu pengukuran terakhir di  2016, Indonesia termasuk dalam 23% negara dengan level Social Hostility Index yang tinggi dari total 198 negara yang diukur.

Tingginya level Social Hostility Index tidak akan mengherankan jika Indonesia adalah negara yang tidak demokratis dan tidak mempunyai dasar konstitusional untuk kebebasan beragama. Namun, persis di sini letak ironinya: Indonesia adalah negara demokratis dengan perlindungan konstitusional atas kebebasan beragama. Lebih tegas lagi, jika mau bicara lepas, Indonesia adalah negara yang memaksa warga negaranya untuk beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya tersebut.

Sila pertama Pancasila serta Pasal 29 dan Pasal 28E ayat 1 dalam Amandemen UUD 1945 menjamin kebebasan perseorangan untuk memeluk dan beribadah menurut kepercayaannya masing-masing.

Penegak hukum pun memahami dengan baik dasar konstitusional ini. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di tahun 2015 sempat tercatat menyatakan bahwa “[…] di mana pun di negara demokrasi tidak ada kegiatan ibadah dilarang. Itu ada di dalam konstitusi dan hak asasi manusia.” Begitu pula menteri agama saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, di tahun 2015 tercatat menyatakan bahwa larangan beribadah di Indonesia dapat tergolong melanggar konstitusi.

Lalu kenapa masih ada kelompok masyarakat yang melakukan larangan beribadah kepada orang lain? 

Mungkin jawabannya ada di tumpang tindih peraturan. Sebagaimana ada dasar hukum untuk menjamin kebebasan beragama di Indonesia, ada pula dasar hukum yang membatasinya. Salah satu pembatasan tersebut hadir dalam hal pendirian rumah ibadah.

Pada tahun 1969 terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 yang mengatur peranan aparatur negara dalam menjamin ketertiban dan kelancaran ibadah agama. Dalam SKB tersebut diatur kebutuhan untuk meminta izin kepala daerah atau pemerintah setempat dalam mendirikan rumah ibadah. Dalam gilirannya, pemerintah daerah butuh mempertimbangkan pendapat perwakilan Departemen Agama setempat dan kondisi masyarakat sekitar.

SKB ini kemudian diperbarui pada 2006 dengan munculnya Peraturan Bersama Menteri Agama No. 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 2006 yang juga salah satunya mengatur tata cara pembangunan rumah ibadah. Syarat-syarat mendirikan rumah ibadah merujuk peraturan baru ini, termasuk rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat, Kepala Kantor Departemen Agama, 90 nama pemohon pendirian rumah ibadah, dan 60 orang pendukung dari kalangan masyarakat setempat.

SKB dan Peraturan Bersama ini tentu saja membatasi kebebasan beribadah bagi kelompok minoritas yang butuh dukungan dari warga sekitar, yang umumnya beragama mayoritas, untuk dapat mendirikan rumah ibadah.

Politisi dari Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie termasuk salah satu dari sedikit wakil rakyat yang memahami kontradiksi ini. Grace sempat mengajukan usulan mencabut Peraturan Bersama yang menghalangi usaha pendirian rumah ibadah.

Di mana letak kontradiksinya? Peraturan Bersama dan SKB ini memungkinkan sekelompok masyarakat untuk menghalangi perizinan pendirian rumah ibadah. Kalau masyarakat sekitar ternyata kurang dari 60 orang yang mendukung pendirian, izin tidak dapat turun. Dan ini terjadi di negara yang konstitusinya menjamin kebebasan beragama dan beribadah.

Kembali ke kasus penghentian peribadahan di Dusun Mangir Lor, salah satu pokok persoalan adalah batasan publik dan privat. Pada poin ini, kontradiksi dari tumpang tindihnya peraturan kebebasan beragama terlihat sangat jelas.

Sebagaimana dilaporkan oleh Tirto, salah seorang peserta peribadahan menganggap ritual doa leluhur di rumah Utik adalah persoalan privat. Maka logikanya, kegiatan peribadahan di rumah pribadi, walaupun mengundang khalayak umum, tidak perlu meminta izin instansi terkait.

Pemeluk agama Hindu memang melakukan upacara pemujaan leluhur di dalam lingkungan rumah. Sebagaimana dilaporkan BBC Indonesia, menurut ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia cabang Yogyakarta, kegiatan di rumah Utik tersebut adalah kegiatan pemujaan leluhur.

Tentu saja dasar pembelaan dari argumen ini adalah jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut.

Dalam kasus Mangir Lor, usaha meminta perizinan selalu kandas di tingkat dusun.

Di lain pihak, sekelompok masyarakat yang mendesak penghentian kegiatan beribadah tersebut berpendapat bahwa kegiatan tersebut bukan termasuk wilayah privat. Sebagai akibatnya, kegiatan tersebut memerlukan izin dari berbagai instansi terkait. Dasar pembelaannya tentu saja nanti mengarah ke Peraturan Bersama dan SKB.

Lalu di mana keberpihakan negara dalam bentroknya dua pendapat di atas? Sebagaimana yang diberitakan media, dan tampaknya semakin umum menjadi pola yang berulang, negara kerap berpihak pada kelompok yang berusaha melakukan larangan beribadah atau membatasi kegiatan peribadahan. Alasannya kerap kali: untuk menjaga kerukunan umat beragama.

Pertanyaan selanjutnya tentu saja, kenapa negara sulit sekali berpihak pada kelompok minoritas yang justru ingin menjalankan kewajiban konstitusi untuk memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaannya masing-masing?

Jawabannya, bukan karena negara takut pada kelompok intoleran. Kelompok ini jumlahnya kecil sekali. Pertanyaan soal dinamika internal dari aparatus negara, utamanya kepolisian, dalam menangani konflik pendirian rumah ibadah dan kebebasan beragama sayangnya masih belum diteliti dengan lebih intensif.

Ini pekerjaan rumah para peneliti isu-isu kebebasan beragama di Indonesia.

BACA JUGA Kalau yang Lain Tak Boleh Bikin Tempat Ibadah di Rumah Sendiri, Kenapa yang Islam Boleh? atau esai GDE DWITYA lainnya.

Exit mobile version