MOJOK.CO – Pengembaraan spiritual bocah Santiago mencari Sang Alkemis.
Anda pernah punya cita-cita? Kemungkinan besar jawabannya iya. Namun, pernahkah Anda berpikir untuk mewujudkan cita-cita tersebut? Jika belum, mari belajar pada bocah kecil bernama Santiago.
Santiago adalah penggembala dari sebuah kampung kecil di dataran Andalusia. Ayahnya ingin Santiago menjadi pastur. Oleh karena itulah ia dikirim ke sebuah seminari. Namun, sejak kecil ia sudah ingin tahu tentang dunia dan hasrat ini lebih bermakna baginya daripada mempelajari dosa-dosa manusia. Lagi pula ia merasa tidak akan menemukan Tuhan di seminari.
Awalnya ia cuma hendak melihat keindahan kastil-kastil di luar kampungnya. Hasrat ini mendorongnya untuk bepergian. Sang ayah meyakinkannya bahwa tempat terindah, perempuan-perempuan tercantik, semua ada di kampung mereka. Jadi untuk apa bepergian?
Iming-iming itu tetap tidak bisa mencegat keinginan Santiago untuk berkelana. Maka, pergilah ia untuk mewujudkan mimpinya. Dari Spanyol ia menyeberang ke Tangier di Maroko dan melintasi gurun Afrika untuk mendatangi piramida di Mesir. Ia bergabung dengan sejumlah kafilah kemudian bertemu dengan Sang Alkemis yang ia idam-idamkan. Pada akhirnya, setelah pengembaraan yang panjang, bertemu dengan banyak orang, menghadapi banyak peristiwa, melintasi berbagai kota, ia sampai ke suatu tempat yang sangat dikenalinya: kampungnya sendiri.
Banyak yang menggolongkan buku Sang Alkemis karya penulis Brazil Paulo Coelho (1947) sebagai buku motivasional. Anggapan itu bukan tak berdasar. Muatannya berisi semangat untuk berpikir positif, kecepatan mengambil keputusan, keberanian menghadapi risiko, dan dorongan untuk terus berkembang. Kalimat-kalimat seperti “Hanya ada satu hal yang membuat mimpi tak mungkin diraih: perasaan takut gagal” atau “Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya” bukankah sering kita dengar dari mulut motivator?
Terus terang saya tidak terlalu suka buku motivasi terutama karena penyederhanaannya pada masalah-masalah kehidupan. Buku motivasi kebanyakan memandang hidup sebagai sesuatu yang gampang dijalani. Dan pula, buku motivasi sering mengarahkan orang pada usaha-usaha pemenuhan ekonomi dan hasrat memiliki yang duniawi sehingga isinya jadi penuh petuah menggurui.
Akan tetapi, Sang Alkemis tidak dalam kecenderungan tersebut. Ia lain dan berbeda karena Paulo Coelho menyampaikannya dalam bungkus sebuah kisah perjalanan dengan alur cerita yang unik. Pengembaraan sang tokoh utama juga bersifat spiritual, lebih kepada pengayaan jiwa daripada pengayaan materi.
Pengembaraan Santiago membawanya pada pertemuan dengan banyak orang dengan beragam karakter. Ketika sampai di Tangier, Santiago bekerja dengan lelaki tua pedagang kristal. Lelaki tua itu seorang muslim yang saleh. Ia memperkenalkan Santiago pada lima dasar ajaran Islam, salah satunya berziarah ke Mekkah. Lelaki tua itu bersemangat menjalani hidup karena ada impian pergi ke Mekkah. Kenapa ia belum juga pergi ke Mekkah? tanya Santiago. Karena saya takut jika impian itu saya penuhi, saya tak lagi memiliki semangat untuk hidup, jawab si lelaki tua itu. Mekkah lebih jauh dari Mesir, daerah yang hendak didatangi Santiago.
Perjumpaan seperti ini banyak kita temukan dalam buku ini. Bukan hanya dengan orang, tapi juga dengan peristiwa, serta akhirnya dengan Tuhan. Salah satu bagian paling memikat adalah ketika Santiago berada di oasis yang sangat luas. Di sini ia berjumpa dengan Sang Alkemis dan Fatima, dua sosok yang ia buru dan cari. Perjalanannya terhambat karena peperangan—peperangan yang disebutkan oleh Sang Alkemis sebagai cara membentuk keseimbangan dunia, dan karena itulah Tuhan berada di kedua belah pihak yang berperang.
Dialog-dialog antartokoh dalam pertemuan ini membentangkan pengetahuan dan kearifan yang sangat kaya. Peristiwa-peristiwa yang dilukiskan memberikan pelajaran berharga. Alam, bintang-bintang, suara burung, badai gurun memberikan tanda-tanda pada arah kehidupan.
Sang Alkemis bukan cuma sesosok manusia. Ia himpunan kearifan yang diwakili tiga simbol pengetahuan: karya agung, obat hidup, dan batu filsuf. Karya agung adalah bahasa yang dengannya orang bisa mereguk berbagai pengetahuan dan berkomunikasi. Obat hidup adalah penawar segala penyakit. Batu filsuf adalah pembersih jiwa.
Santiago bisa dilihat sebagai seorang “pelintas batas”. Seorang yang melakukan keluar sejenak dari tradisinya untuk menyelami tradisi lain. Tradisinya menjadi lebih kaya karena proses tersebut dan, bukan tidak mungkin, tradisi orang lain juga menjadi lebih berpendar karena perjumpaan dengan dirinya. Ia belajar pada banyak orang, pada banyak peristiwa, juga pada tanda-tanda alam.
Suara hatinya membawanya pergi berkelana sangat jauh, tapi pada akhirnya ia kembali ke kampung halaman, terdampar di gereja kecilnya. Tampaknya di sini kita berjumpa lagi dengan suatu tema abadi dalam pencarian spiritual: yang dicari ada di dalam “rumah”, di dalam diri kita sendiri.
Baca edisi sebelumnya: Siapa Bilang Biarawati dalam Masyarakat Islam Tidak Ada? dan tulisan di kolom Iqra lainnya.