Membaca Masalah Papua dari Imigran di Tanah Papua

MOJOK.CO – Masalah Papua bukan hanya soal Bintang Kejora, bukan juga soal Freeport saja, tapi juga persoalan kelompok imigran yang lahir dan besar di sana.

Kadang memang kita harus tinggal beberapa lama di salah satu daerah agar tahu keadaan dan dinamika yang sebenarnya. Apalagi kalau hanya melihat berdasar berita di media nasional atau hanya melihat dari status media sosial para aktivis HAM yang “mahabenar”.

Pertengahan bulan lalu, Juni 2018, hampir sebulan lamanya sa di Jayapura, Ibukota Provinsi Papua—kota paling timur Indonesia yang syantik tapi bukan sok syantik.

Ini berawal dari keinginan saya untuk lebaran di sana. Kebetulan banyak teman sekolah yang awalnya merantau, bisa kembali pulang ke Jayapura untuk lebaran dengan keluarga besar. Yah, bisa sekalian reuni.

Sa lahir dari keluarga PNS yang dipindahtugaskan ke Jayapura tahun 1980 dari Jakarta. Almarhum Ayah dari Palopo-Sulawesi Selatan, sedangkan Mamak berasal dari campuran suku Jawa dan Bugis. Sa sendiri lahir dan besar di Jayapura. Hal-hal yang sa tahu soal kedua daerah asal orang tua hanya sekelebat lalu saja.

Tumbuh jadi pribadi dari budaya yang campur kadang gampang-gampang susah. Gampang dijalani susah jelasinnya. Kadang sa cukup lelah ketika ditanya tiap kenalan dengan orang baru. Percakapan seperti ini kerap terjadi.

“Asli mana mas?”

“Jayapura”

“Kok tidak kelihatan seperti orang Papua?”

“Orang tua bukan asli sana sih. Saya yang lahir besar di sana.”

“Oh, kalau gitu Mas bukan asli sana dong.”

Sebenarnya untuk orang seperti saya, yang tidak pernah lahir dan besar di daerah asal orang tua, akan kesulitan menjawab percakapan basa basi seperti itu.

Pernah sekali waktu, sa disapa di kampus, “Asli mana, Mas?” tanya dosen.

“Orang tua asli jawa-bugis sih,” sa jawab.

Dibalasnya, “Loh? saya tanya asli Mas-nya, bukan asli orang tuanya.”

Ini jadi persoalan rumit bagi sa punya masalah, merasa sebagai orang Papua—karena sa punya ari-ari ditanam di sana—tetapi tetap dianggap bukan orang asli Papua. Entah karena sa punya orang tua bukan orang asli, sa tidak tahu.

Yang jelas di mata Orang Asli Papua (OAP) mayoritas, sa tetap disebut pendatang. Kalau merujuk pada asal-usul orang yang mendiami bumi Papua sih sa terima-terima saja. Tapi kalau sebutan itu untuk tendensi tertentu apalagi disampaikan sama orang yang tidak pernah ke Papua tapi doyan ngomongin Papua buat sa dikit tidak terima.

Satu ketika, kalau tidak salah jam tiga pagi waktu Jayapura. Sa sudah dalam posisi tidur ketika tiba-tiba seorang teman sebut saja Chris, nyeletuk, “Ini para aktivis selebtwit ngomong soal Papua seolah-olah ngerti dan tinggal di sini saja,” katanya.

Sa tanya sambil meluk guling, badan menyamping kanan menghadap tembok, mata tertutup, “Memangnya ada apa kah?”

Dia jawab, “Ini sa habis baca twit soal pembubaran diskusi mahasiswa dibilang lagi pelanggaran HAM dan dikaitkan soal kemerdekaan Papua.”

Ah, tidak ada habis-habisnya, sa bicara dalam hati.

Setelah sa lihat cuitan yang dimaksud dan lihat siapa akun twitternya, sa jawab saja sekenanya, “Oh, memang pekerjaan dan concern dia soal Papua mungkin, Pace.”

Sambil usap-usap layar hape, dia jawab, “Ya, tapi agak bagaimana begitu. Mereka saja tidak pernah tinggal di belahan bumi Papua mana pun, tapi ngomong seolah paling mengerti. Begini yang bikin isu Papua merdeka terus dan akan selalu ada. Setelah nanti jadi konflik besar, mereka lepas tangan.”

Karena sa tidak terlalu mengerti hal geo-eko-pol soal Papua, jadi sementara Chris tetap ngoceh ketidakterimaannya soal cuitan salah seorang selebtwit itu, sa tinggalkan saja dia untuk tidur. Untungnya malam itu sa tidak mimpi soal demonstrasi ketidakadilan di depan Gedung DPR di Senayan.

Obrolan-obrolan semacam ini sering terjadi di antara kami. Apalagi kalau ada isu-isu yang sampai jadi perhatian nasional. Sebut saja soal HAM, soal saham mayoritas Freeport yang baru-baru saja terjadi, dan tentunya soal pembubaran diskusi mahasiswa di Malang, Jawa Timur beberapa pekan silam itu.

Seperti sudah sa sebut di atas, orang yang lahir dan besar di Papua, yang orang tuanya bukan orang asli, akan tetap dianggap sebagai pendatang. Kadang sa merasa seperti kehilangan identitas diri begitu.

Di satu sisi, sa tidak pernah merasa menjadi bagian dari orang Jawa dan/atau Bugis karena sa tidak pernah tinggal dan punya rumah di sana saat itu. Di sisi lain, sa tidak dianggap sebagai orang Papua, tempat di mana sa lahir, besar, dan tempat yang bertanggung jawab akan bentukan watak saya.

Kadang sekali waktu, seringnya ketika malam menjelang tidur, sa sering berpikir kenapa di dunia, yang katanya Om Ahmad Albar hanya panggung sandiwara ini, harus ada dikotomi?

Hitam-putih, baik-buruk, juga pendatang-orang asli. Jauh dari hal itu, sa selalu berpikir kalau saja sa bisa atur dari mana sa berasal dan dari suku apa, pastinya sa tidak perlu repot-repot menjawab sa asli mana.

Sedikit lompat waktu ke belakang. Sa masih ingat waktu itu tahun 2000. Isu Papua merdeka ramai dibicarakan, bendera Bintang Kejora mau dikibarkan pada tanggal 1 Desember. Saking gentingnya saat itu, sampai kegiatan sekolah diliburkan dan perkantoran masuk setengah hari.

Di Jayapura sendiri—akibatnya, banyak pendatang yang menjual rumah dan tanahnya untuk kembali ke kampung halaman. Keluarga saya tetap di sana, dan tidak ke mana-mana. Pertama, karena tidak tahu kami harus pulang ke mana. Kedua, untuk apa pulang? Bukankah rumah satu-satunya keluarga kami hanya di Jayapura?

Saat itu, sa masih ingat sekali, anak-anak seumuran, yang tidak tahu dari mana asalnya, bergerombol datang ke kompleks rumah coret mobil dinas almarhum Ayah yang terparkir di pinggir jalan seberang rumah kami.

Coretannya tertulis “Papua Merdeka 1 Desember 2000” dan coretan Bendera Bintang Kejora. Kalau dicoret pakai spidol atau alat tulis lainnya mungkin masih mudah untuk dihapus. Masalahnya ini diukir pakai paku beton. Ukirannya juga bukan main dalam, di kap mesin dan di bodi bagian belakang.

Entah apa motifnya, entah siapa yang menyuruhnya. Kalau saja dulu sudah ada media sosial, mungkin sa orang yang pertama foto dan unggah itu di medsos. Mention para aktivis HAM yang terhormat itu dengan caption; “Apa ini tidak termasuk pelanggaran HAM?”

Ah, tapi sudahlah. Sudah berlalu belasan tahun lamanya pula.

Sa orang awam soal dimensi hak asasi manusia dan sejauh apa cakupannya. Sa tidak mengerti logika keberpihakan para aktivis HAM itu seperti apa. Yang sa tahu dan rasakan, selama ini, isi dari permasalahan Papua tidak melulu soal ketidakadilan, pelanggaran HAM, diskriminasi OAP, (saham) Freeport, dan hal-hal lain seperti yang santer dibahas di media sosial atau pun forum resmi kenegaraan.

Kadang masalah-masalah sederhana pun luput. Contoh, masalah pelepasan tanah adat yang dibeli oleh pendatang. Atau masalah lain, orang mabuk yang bertindak anarkis mengancam nyawa orang lain.

Sa tidak mengerti apa itu diskriminasi, yang sa tahu, dulu sa seringkali dipalak di jalan hanya karena sa dianggap pendatang. Sementara yang jalan sebelah saya, yang OAP, tidak dipalak. Sampai sini sa masih tidak mengerti diskriminasi itu seperti apa.

Papua itu terlalu luas, kawan. Mau bicara soal apa dulu? Papua itu banyak kepentingan. Mau bicara kepentingannya siapa dulu?

Kalau mau bicara soal ketidakadilan dan pelanggaran HAM, bagaimana dengan kami yang tidak terlahir dari bapak dan ibu OAP? Apakah kalau terjadi apa-apa yang menyangkut nyawa kami juga dianggap sebagai pelanggaran HAM? Apakah aparat yang ditembak, dianiaya, dibunuh bukan pelanggaran HAM? Apakah orang pendatang yang diperkosa dan dibunuh secara keji bukan pelanggaran HAM? Aktivis sedang ada di mana untuk hal-hal semacam itu? Papua juga?

Kalau mau bicara soal kepentingan, kepentingannya siapa? Kepentingannya OAP di pedalaman kah? OAP di pesisir kah? Kepentingannya OAP yang keluarga pejabat dari turun-temurun kah? Atau OAP yang baru dapat jabatan? Itu baru satu pihak. Belum yang lain lagi.

Kadang sekali waktu sa ingin bertanya hal-hal remeh seperti itu kepada para aktivis HAM yang terhormat, yang tidak pernah tinggal dan merasakan suasana Papua, yang tidak pernah merasakan ketakutan dan terancam tiap kali ada isu Papua Merdeka, yang tidak pernah merasakan ribetnya pelepasan adat soal properti dan pertanahan, yang hebat dengan laporannya seabreg-abreg soal pelanggaran HAM, seolah yang Papua butuhkan hanya itu.

Tidak, kaka. Papua itu terlalu luas untuk bisa disederhanakan hanya dengan 280 karakter cuitan di twitter atau likes di status Facebook dari ribuan orang. Tiap daerah, sejauh jengkalan jari manusia bisa menyentuhnya, di sana punya masalahnya sendiri-sendiri. Kita semua tahu itu kok.

Sa tidak menutup mata soal ketidakadilan yang dialami OAP selama ini. Sama dengan sa tidak menutup mata soal ketidakadilan yang kami terima, yang lahir dan besar di tanah Papua dan tetap disebut pendatang. Sa tidak menutup mata soal eksploitasi alam Timika oleh Freeport dan minimnya kontribusi untuk kehidupan penduduk di sekitaranya. Sa tidak pernah menutup mata soal kenapa mamak-mamak jual pinang dan sayuran, bukan jual kain atau bahan bangunan.

Sa pikir, terlalu jauh kalau sa bicara soal Freeport dengan sahamnya terhadap pemerintah Indonesia, dari awalnya cuma 9 persen jadi 51 persen. Sa pikir, terlalu jauh bicara soal isu pembunuhan dan genosida OAP. Sa pikir, terlalu jauh kalau bicara soal lahan sagu yang beralih fungsi jadi lahan sawit.

Sa pikir juga, terlalu jauh kalau kita mau bicara soal pembubaran diskusi beberapa mahasiswa Papua di Malang. Sa pikir terlalu jauh bicara soal kenapa pemberitaan rekapitulasi hasil Pilkada Papua 2018 tidak sebanding dengan pemberitaan hasil rekapitulasi Pilkada daerah Jawa dan Sumatera?

Sa pikir juga, terlalu jauh kalau mau bicara soal kemerdekaan Papua atau tetap bergabung dengan Indonesia. Hal semacam itu terlalu jauh. Tidak hanya jauh, tapi sejujurnya sa tidak begitu mengerti.

Lagi pula hal-hal itu tidak berdampak secara langsung dengan kegiatan sehari-hari orang yang tinggal di sana. Mungkin satu-satunya hal yang bisa dimengerti adalah, tubuh Papua itu terdiri dari orang yang beragam. Menyamaratakan informasi seolah kebenaran hanya milik satu pihak saja sama dengan menegasikan eksistensi manusia lain yang ada di sana.

Pernahkah bapak dan ibu aktivis yang terhormat berpikir barang sedikit saja, bahwa ketidakadilan yang sering disuarakan tidak berdampak langsung pada bapak atau ibu terkasih yang ada di perbatasan RI-PNG, di Waris sana, yang sehari-hari hanya ingin bisa hidup dan penuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya?

Atau pada kaka-adik tercinta di Yahukimo sana yang bahkan mau nonton atau ngecas hape harus ke bandara dulu karena rumahnya belum teraliri listrik dengan merata?

Pernahkah bapak dan ibu aktivis yang dikasihi Tuhan berpikir barang sedikit saja, apa jadinya Papua yang jarang muncul di media nasional, sekalinya muncul isinya konflik itu-itu saja?

Sa tidak pernah rela perbedaan kepentingan ini selalu disamakan oleh oknum-oknum yang bahkan tinggal di Papua pun tidak pernah. Sa tidak pernah rela, bahagia hidup berdampingan dirusak oleh orang yang selalu pakai dikotomi usang kamu pendatang-kami OAP. Oh, sa rasa, Papua tidak serendah itu dan tidak pernah serendah itu.

Ulah oknum yang terus mereproduksi konflik yang buat Papua tidak aman dan damai. Ulah oknum yang terus menyuarakan keadilan tapi tetap menjaga jarak dengan masalah Papua lainnya, yang buat Papua selalu hanya dipandang genting dan mencekam.

Tampaknya sampai ribuan kali didudukkan bersama, makan papeda, betatas (ubi), juga makan pinang, tetap tidak bisa melihat Papua secara utuh, tidak hanya satu sudut pandang saja. Kadang sa merasa masalah itu-itu saja yang terus menerus muncul bukan karena masalahnya tidak pernah selesai, melainkan memang sengaja tidak ingin diselesaikan.

Selain aktivis, Pemerintah juga bukan tanpa celah. Saking banyaknya warisan kesalahan Pemerintah di Papua, sampai membahasnya pun sudah bikin malas duluan. Satu saja yang harus sa sesalkan dari Pemerintah sejak dulu: ketidakmerataan.

Kalau saja dulu pendidikan, kesehatan, dan pembangunan merata, orang-orang seperti saya tidak perlu pergi dari Papua hanya untuk makan bangku sekolah, menuntaskan hasrat belanja, lihat gedung-gedung megah, hingga pergi mencari suaka.

Ketiga masalah itu yang sampai sekarang masih jadi alasan kenapa Papua jauh dari kata sejahtera, dekat dengan aktivis-aktivis pro-merdeka. Pulaunya satu, provinsinya dua. Papuanya satu, kepentingannya berjuta-juta.

Sa percaya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang meminta untuk lahir dari suku, agama, ras, orang tua, atau di daerah tertentu. Manusia itu sama. Terlahir begitu saja tanpa bisa mengatur. Ingin hidup bahagia, wafat dengan mulia. Sama. Sejauh ini, yang membedakannya hanya satu: kepentingan dunia…

…yang berebut kekayaan tanah Papua.

Exit mobile version