MOJOK.CO – Foto Dewi Praswida salaman dengan Paus Fransiskus di Vatikan mendadak viral. Dewi bercerita banyak hal soal latar belakang pertemuan itu.
Kata orang tua saya tindakan membenci saja merupakan sifat yang tak baik sebagai manusia, terutama kalau alasan membenci itu hanya karena persoalan beda agama. Namun, bertahun-tahun kemudian, tampaknya saya harus menambah lagi alasan kita bisa membenci orang, yakni:
Bersalaman langsung dengan pemimpin agama yang berbeda, di tempat suci agama tersebut. Apalagi jika orang yang diajak bersalaman adalah Paus Fransiskus dan proses itu terjadi di Vatikan.
Ya, betul. Saya adalah Dewi Praswida. Perempuan berjilbab yang beruntung bisa bersalaman sejenak dengan pemimpin agama Katolik sedunia.
Kalaupun ada rasa kebencian yang menyerang saya, hanya karena saya bersalaman dengan Paus Fransiskus di Vatikan, saya sudah kenyang akan hal kayak begini—meski untuk yang satu ini rasanya jauh berlipat-lipat lagi efeknya.
Salah satunya? Ya saya tiba-tiba dihubungi Mojok untuk menulis pengalaman ini.
Paling tidak, saya sudah sering mendapat pertentangan soal beda agama kayak begini. Sejak usia SD saya saja sudah merasa risih ketika banyak orang memperdebatkan soal ucapan selamat hari natal.
Ada yang bilang haram, ada yang biasa saja. Lalu mendengar ada orang yang “diserbu” habis-habisan hanya karena mengucapkan selamat natal, atau orang yang “diserbu” karena menyerukan hal sebaliknya. Bagi saya, ngucapin ya monggo, tidak ngucapin ya silakan.
Dari hal itu, seharusnya jelas. Bagi saya, orang berhak punya tafsirnya masing-masing. Yang tidak berhak adalah menyalurkan kebencian itu ke orang yang tafsirnya nggak sama. Apalagi sampai memaksakan itu dengan jalur kekerasan.
Pertemuan saya dengan Paus Fransiskus sebenarnya bukanlah untuk pertama kali. Pada Maret tahun 2018 silam, dalam kegiatan pre-sinode meeting orang muda sedunia di Vatikan, saya juga sudah sempat berjabat dengan beliau.
Mungkin karena saat itu tak ada dokumentasi yang se-fotogenic sekarang, jadinya tidak banyak orang yang tahu. Baru ketika saya mendapat beasiswa untuk Studi Dialog Lintas-Agama dari Yayasan Nostra Aetate di bawah Dewan Kepausan, pada Februari-Juni 2019 saya bisa berangkat lagi. Keberangkatan saya ini pun dalam rangka mengikuti Dialog Lintas Agama, Takhta Suci Vatikan.
Pada mulanya, beasiswa ini sebenarnya dimaksudkan agar saya bisa belajar tentang dialog lintas-agama khususnya terkait dengan Nostra Aetate. Salah satu dokumen hasil Konsili Vatikan II tahun 1965. Akan tetapi, sebagai orang yang nggak mau rugi, saya minta izin kepada pemberi beasiswa untuk mengizinkan saya mengambil kursus kilat tentang ke-Katolik-an.
Lagian, saya kan berada di pusat ke-Katolik-an dunia. Lumayan kan kalau saya mendapat jawaban lebih puas tentang hal-hal yang belum saya ketahui. Seperti misalnya, bagaimana Katolik di Vatikan melihat Islam dan melihat dunia?
Selain mengambil beberapa mata kuliah tentang ke-Katolik-an, saya juga lagi-lagi nggak mau rugi. Kapan lagi seorang perempuan muslim bisa belajar soal Katolik di pusatnya secara langsung?
Akhirnya setiap ada peluang saya bisa pergi dari “kelas”, saya mengunjungi biara-biara para Romo dan Suster. Sebenarnya sih niat awalnya nggak secanggih yang ditafsirkan orang-orang. Saya cuma mau makan bareng saja dan ngobrol-ngobrol santai dengan mereka.
Tentu saja diam-diam nyempil juga keingingan bisa sekalian belajar tentang bagaimana sih kehidupan biarawan dan biarawati di sana? Kan tidak setiap waktu juga saya bisa tahu bagaimana pengalaman hidup mereka. Dan ini jelas pengetahuan yang lumayan kan?
Dengan segala pengalaman yang saya dapat di Roma dan Vatikan, saya lalu berani menyimpulkan bahwa dialog lintas-agama bukan sebatas berkumpul, berdialog kemudian foto selfie haha-hihi.
Ada hal fundamental yang saya bawa sepulang dari sana. Dari dialog itu juga saya memahami bahwa umat Katolik (juga semua umat beragama lain) menginginkan kehidupan yang saling menghormati, guyub satu sama lain, dan membangun dunia yang lebih baik tanpa perlu membeda-bedakan latar belakang, khususnya agama.
Lalu, pada 26 Juni 2019, saya diberi kesempatan sekali lagi untuk berjabat tangan dengan Paus Fransiskus. Salah satu momen yang tak mungkin bisa saya lupakan.
Di saat jabat tangan itulah, dengan rileks saya katakan bahwa saya seorang muslim dari Indonesia. Lalu dengan memberanikan diri, saya minta beliau doakan saya dan doakan perdamaian baik untuk Indonesia dan dunia. Paus Fransiskus pun menjawab, akan mendoakan.
Beberapa orang mungkin tidak nyaman dengan foto tersebut. Bagi mereka yang tak suka dengan pemandangan itu, saya minta maaf. Tujuan saya sebenarnya mengunggah foto tersebut merupakan bentuk syukur saja, bahwa nyatanya perbedaan agama bukanlah hambatan untuk bersaudara.
Apalagi ketika muncul tudingan dan tuduhan yang sampai menyebut bahwa saya adalah “korban” kristenisasi. Bisa saya pastikan dengan gamblang, bahwa itu semua cuma tuduhan ngawur.
Berdasarkan pengalaman bertemu Paus Fransiskus dan bergaul dengan mereka, saya tahu betul tidak ada sedikitpun tanda atau upaya mengajak berpindah agama.
Mereka selalu menunjukkan bagaimana menjalani hidup dengan penuh cinta kasih sekalipun kepada orang yang memusuhi kita. Hal itu juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh Paus Fransiskus bahwa memang misi Gereja Katolik bukan lagi untuk mengkristenkan orang lain, tetapi untuk hidup bersama-sama di atas bumi ciptaan Tuhan Yang Maha Kasih.
Pesan terakhir yang ingin saya bagi atas pertemuan itu barangkali ini, “Jilbabku dan jubahmu, bukanlah sekat untuk (kita) tidak bersaudara.”
Btw, skincare-nya Paus Fransiskus apa yak? Tangannya halus banget sih.