MOJOK.CO – Cuplikan video pidato Prabowo yang mencatut tentang ‘tampang Boyolali’, jadi rame. Padahal kan maksud Prabowo, itu hanya kiasan untuk menyimbolkan marhaen semata.
Seumur-umur tinggal di Kabupaten Boyolali, saya belum pernah menginap di tiga hotel terbaik yang kami punya, yang tentu saja tak ada satu pun berbintang lima—kalau hanya masuk dan ngelihat kamarnya sih pernah. Ya, buat apa juga menginap di sana, kalau sudah ada rumah yang jauh lebih nyaman, apalagi bisa menikmati masakan bubur tumpang dan sayur gudangan lezat buatan ibu.
Rumah dilihat dari sudut pandang obyektif mana pun, jauh lebih penting bagi manusia dibanding hotel—ruang penuh keramahan artifisial di mana kita harus membayar hanya untuk tidur. Logika itu yang coba disodorkan Calon Presiden Prabowo Subianto, atau saya biasa memberinya panggilan kesayangan Om Prabs, saat berpidato di Boyolali, Selasa (30/10) lalu.
Di hadapan para simpatisan posko pemenangan, Om Prabs menyodorkan realitas pahit ketimpangan sosial negeri ini—isu andalan belio. Om Prabs menyinggung betapa Pemprov Jakarta terus memberi izin bagi pendirian hotel-hotel mewah bintang lima, yang dia sebut di antaranya adalah St Regis, Waldorf Astoria, dan Ritz Carlton. Sementara masih banyak rakyat miskin pontang-panting menjalani hidup.
Sebenarnya pidato Om Prabs ini biasa saja, tapi cuplikan sebagian pidato itu heboh di media sosial kemarin. Terutama ketika Om Prabs, dalam gaya pidato yang menurut peneliti idola kita semua Made Supriatma semakin dimirip-miripkan gestur dan retorika Donald Trump, menyebut orang-orang Boyolali memiliki wajah yang lekat dengan kemiskinan. Wah, langsung saja ribuan akun asli Boyolali keluar dan sewot.
Sebagai putra daerah Boyolali, yang lahir dan besar di kota ini, saya sungguh terhibur mendengar cuplikan pidato Om Prabs tersebut. Be-ne-ran. Belio bilang, warga Boyolali yang datang di orasi politiknya, sudah pasti tidak pernah merasakan tinggal di hotel bintang lima. Bahkan, mau masuk lobi saja jangan-jangan bakal diusir, karena, “Tampang kalian ya, tampang Boyolali ini,” kata Om Prabs disambut tawa para pendukung setia. NTAB!
Saya tidak akan defensif, hanya untuk menyitir siapa saja orang Boyolali yang sanggup menginap di hotel-hotel bintang lima. Atau menyusun daftar orang Boyolali yang sukses secara ekonomi. Walau, FYI, Pak Sutopo Purwo Nugroho—jubir BNPB yang sedang populer karena berjasa melawan hoax seputar bencana dan memberi informasi teraktual pada publik—itu asli tetangga kelurahan saya, sekaligus kakak kelas (jauh) saya di SMA.
Cuma ya, ngapain yang mirip atau melebihi Pak Topo harus didaftar, wong sudah tidak terhitung. Apalagi yang betulan melarat di Boyolali sampai sekarang juga banyak. Jadi, biasa sajalah. Sama seperti kabupaten lain di Jawa Tengah atau Indonesia, atau bahkan dunia ini secara umum.
Namun saya tergelitik melihat Om Prabs memakai istilah ‘Tampang Boyolali’ sebagai simbol kaum marhaen masa kini. Saya segera berkaca, mencoba melacak jejak-jejak penderitaan rakyat, kemiskinan, kemelaratan, dan semua yang serba papa di wajah ini. Kira-kira fitur macam apa yang membuat wajah saya terlihat punya aura lebih qismin dibanding manusia dari kabupaten lain di Republik Indonesia?
Lambat laun saya merasa gemetar. Waduh, kayaknya memang betul. Ada gurat-gurat yang tetap tidak tertolong pelembab Body Shop dan skincare korea. Wajah saya ini B aja belum untuk menapaki fase hidup sejahtera. Namun saya segera teringat beberapa kawan sekolah dulu yang tampangnya jatmika. Atau jangan-jangan mereka bukan orang Boyolali sejati ya?
Begini Om Prabs, orang-orang di Jateng itu porsi terbesarnya ya kaum proletar. Banyak yang nasibnya mirip-mirip penduduk Boyolali, mau itu dari Grobogan, Kebumen, Brebes, Pati, sampai Blora. Kami jelas cepat terpelatuque kalau ada yang mengangkat isu ketimpangan ekonomi. Bagus itu substansinya.
Sayangnya, Om Prabs kok ya secara spesifik menyebut ‘Tampang Boyolali’. Saya khawatir, rekan-rekan kabupaten tetangga tidak terima. Nanti akan terjadi race to the bottom untuk saling mengklaim kami lebih misqueen dan papa dibanding warga kabupaten lain. Saya saja sering jengah mendengar teman saya Habib, penduduk Lamongan, yang merasa hidupnya paling menderita sedunia.
Kami sih berani diadu kalau cuma lomba merasa merana. Kekeringan parah sampai krisis air bersih? Kami alami. Diterjang angin puting beliung? Woo tiap tahun. Kebakaran hutan? Sudah langganan. Jalan rusak? Lho, kami malah kaget ternyata di wilayah lain ada aspal mulus sampai pedesaan terpencil. Ancaman letusan Merapi? Saban hari kami hadapi dengan gagah berani.
Om Prabs kan negarawan. Sekalipun konteksnya sedang bercanda di hadapan pendukung, belio tidak asal-asalan kok. Pasti ada faktor yang membuat Boyolali lebih merana dibanding Grobogan atau Purworejo. Makanya, saya curiga referensi Om Prabs menekankan ‘Tampang Boyolali’. Sehingga, harus kita lacak jauh, jaaauuhhh, bahkan kalau bisa sebelum saya lahir.
Boyolali adalah kota ‘merah’, semerah-merahnya. Pada pemilu 1955, PKI meraup 150.097 suara, jauh meninggalkan PNI (43 ribu) atau Partai Masjumi (39 ribu). Selepas geger 1965 pun, gema perlawanan kelompok kiri masih terdengar sayup-sayup di kabupaten ini, lewat kiprah anggota laskar Merapi-Merbabu Complex yang dipimpin Suradi Bledeg. Sebenarnya MMC ini cuma laskar yang kecewa tidak diangkat jadi TNI gara-gara kebijakan rasionalisasi pemerintah pusat. Cuma, mereka kemudian koalisi bareng Gerakan Rakyat Lapar (Grayak) yang cukup kiri, sambil sesekali mengangkut ternak warga.
Lantas saya teringat pula mereka yang gigih melawan pembangunan Waduk Kedungombo semasa rezim Orde Baru yang melanggar hak asasi. Basis yang menolak paling kuat adalah warga yang tinggal di Boyolali. Sampai-sampai Presiden Suharto menyebut para petani yang sekadar mempertahankan haknya itu sebagai “PKI.”
Ah begitu barangkali. Orang Boyolali ini punya beban sejarah sudah kiri, berulang kali ndableg sama putusan Pemerintah pula. Sepertinya, itu maksud Om Prabs ketika mencetuskan ‘Tampang Boyolali’. Kalau benar itu maksud belio, maka saya jadi sangat bangga. Buat kawan-kawan Boyolali lainnya, tak perlu risau. Tak perlu marah.
Om Prabs sedang memuji karakter orang Boyolali yang tahan banting. Termasuk sifat ulet dan tahan banting menghadapi kemiskinan, kemelaratan, tanah yang tidak terlalu subur, sekadar jalur yang cuma buat dilintasi kalau melewati rute Semarang-Solo, ataupun wilayah yang tak terlalu punya banyak potensi wisata.
Warga Boyolali mengubah berbagai situasi tak menguntungkan tadi jadi lahan penghidupan. Kita tumbuhkan sentra kerajinan tembaga, wisata air buatan, dan tentu saja: ternak lele. Orang Boyolali tidak nerimo begitu saja. Kami ndableg. Sebab, kami mengupayakan perbaikan nasib tanpa menunggu uluran tangan orang lain.
Tapi Om Prabs barangkali juga lupa menyinggung, betapa ndableg-nya orang Boyolali itu, kami tetap kreatif. Tidak bisa gabung TNI, ya bikin laskar sendiri. Hotel macam Waldorf Astoria, St Regis, atau Ritz Carlton belum ada di Mbolali? Ya kami siap bikin sendiri juga dong. Versi KW-nya tentu saja. Lha wong Istana negara KW saja bisa dibangun sama pemerintah kami kok.
Sebab, pak bupati kami ini juga mewarisi DNA ndableg kreatif tersebut. Makanya belio sempat mengklaim akan ada Disneyland di Ampel atau Mojosongo. Padahal ya nggak benar. Yang penting, Ndableg dulu saja. Klaim sepihak sesekali apa salahnya.
Disney ogah berinvestasi, ya kita bikin disney-disneyan. Menara Eiffel jauh? Orang Boyolali bikin Eiffel-nya sendiri, yang sejak beberapa bulan ini sudah ramai buat spot foto-foto. Kurang ndableg gimana coba?! Inilah yang mungkin bisa dinamai sebagai ndableg yang berdikari.
Setelah saya pikir-pikir lagi, agaknya benar belaka, manusia bertampang Boyolali punya sifat tahan banting. Termasuk saat menerima guyonan garing om-om dari capres gaek yang makin pengin jadi versi KW-nya Presiden Amerika Serikat.
Hidup manusia-manusia ndableg. Hidup tampang Boyolali!