Memahami PKS yang Tolak Permendikbud soal Kekerasan Seksual lewat Ushul Fiqh

Nalar yang dipakai oleh PKS untuk menolak Pemendikbud ini kalau di dunia pesantren biasa disebut dengan teori “Mafhum Mukhalafah” (contrasting concept).

Memahami PKS yang Tolak Permendikbud soal Kekerasan Seksual lewat Ushul Fiqh

Memahami PKS yang Tolak Permendikbud soal Kekerasan Seksual lewat Ushul Fiqh

MOJOK.COPola argumen yang dipakai teman-teman PKS untuk mengkritik Permendikbud soal kekerasan seksual ini dikenal juga di dunia pesantren, namanya Ushul Fiqh.

Penolakan PKS terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 (berikutnya saya sebut sebagai Permendikbud) soal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus sejauh ini bisa saya duga.

Ada klausul “tanpa persetujuan” yang menurut teman-teman PKS sama dengan melegalkan perzinaan karena dilakukan “dengan persetujuan (consent)” lah, Permendikbud yang sekuler lah, tidak menganut adat ketimuran lah. Kunci-kunci argumen usang yang tidak ada kebaruannya menurut saya.

Sebelumnya saya perlu sampaikan mengapa tulisan ini hanya fokus pada PKS padahal yang menolak aturan ini ada juga  dari unsur ormas dan individu? 

Oke, ormas memang punya kemampuan mempengaruhi opini publik, tapi kan tetap partai yang punya wewenang legislasi. Nah, karena hanya partai yang punya wewenang, maka saya akan fokus pada PKS. 

Di tulisan ini, saya akan coba ulik, sudah tertibkah argumen mereka, politisi PKS dan simpatisannya, yang menolak Permendikbud soal isu kekerasan seksual ini?

Sejujurnya, pola argumen yang dipakai teman-teman PKS itu juga dikenal di dunia pesantren, wabilkhusus pada pelajaran Ushul Fiqh. Nalar yang dipakai oleh PKS ini kalau di dunia pesantren biasa disebut teori mafhum mukhalafah (contrasting concept). Definisinya panjang dan sulit dipahami dalam bahasa Indonesia, meski contohnya mudah diilustrasikan.

Begini ilustrasi pelajaran Ushul Fiqh dan teori mafhum mukhalafah.

Jika di tol ada rambu bertuliskan “Dilarang mendahului dari sebelah kiri!” maka mafhum mukhalafah-nya adalah “boleh mendahului dari sebelah kanan”. Pilih cara itu atau tidak mendahului sama sekali. Tidak ada alternatif makna lain selain itu.

Kamu kan tidak mungkin nyelip lewat kolong atau terbang? Nalar manusia normal memahami konsep ini meski tidak tertulis. Mafhum mukhalafah.

Contoh lain. Jika tertulis papan tanda “Selain staf dilarang masuk!”. Berarti jika kamu staf sudah otomatis boleh masuk. Tidak perlu debat. Sebab tidak ada alternatif makna lain selain itu. Mafhum mukhalafah.

Ada lagi yang hampir mirip dengan teori itu yang disebut dengan mafhum muwafaqah. Lagi-lagi definisinya cukup rumit dialihbahasakan, tetapi contohnya mudah.

Di sebuah tembok warga tertulis papan tanda “Dilarang kencing di sini!”. Pemilik tembok resah karena tiap lewat kok bau pesing, maka dibuatlah tanda itu. Nah, mafhum muwafaqah-nya adalah “kencing saja tidak boleh apalagi berak”.

Masalahnya, yang diperagakan oleh politikus PKS lewat argumentasi atas Permendikbud soal kekerasan seksual tampaknya memakai teori yang pertama dalam Ushul Fiqh, yaitu mafhum mukhalafah. Contohnya, pendapat yang mereka utarakan, misalnya soal kritik atas Pasal 5 ayat 2(j),

“Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang TIDAK DISETUJUI OLEH KORBAN” (huruf kapital berasal dari saya).

Bunyi kritik mereka kira-kira, “Artinya jika korban SETUJU maka tidak masalah?”

Nah, sekilas, itu memang mirip seperti mafhum mukhalafah. Sekilas tampak benar, tapi kalau diulik lagi ternyata tidak benar sama sekali.

Mafhum mukhalafah mestinya punya alternatif lawan kata yang terbatas. Misalnya soal salip-menyalip tadi, selain “kiri” hanya ada “kanan”. Lawan kata “selain staf” ya hanya “staf”.

Sedangkan “kegiatan seksual tanpa persetujuan berarti melanggar hukum” bukan lantas lawannya otomatis jadi ke “kegiatan seksual atas persetujuan berarti diperbolehkan oleh hukum”.

Soalnya kedua persoalan itu punya lembah pembahasan yang berbeda, bukan satu tarikan nafas, dan punya banyak kompleksitas.

Ini sama salah kaprahnya kalau kita pakai prinsip mahfum mukhalafah untuk memahami teks begini: “bentuk bumi itu tidak datar”. Hm, ya bisa sih, tapi tidak pas. Soalnya alternatifnya ada banyak sekali. Bisa dimaknai kalau bentuk bumi itu kotak, lonjong, persegi panjang, atau bergelombang.

Kenapa begitu? Ya karena prinsipnya yang penting bentuknya tidak datar. Titik.

Teks “bentuk bumi itu tidak datar” sudah benar, tapi karena memakai mahfum mukhalafah, maka teks yang benar tadi itu malah jadi terlihat salah. Persis seperti penggunaan mahfum mukhalafah untuk membaca kalimat “kegiatan seksual yang TIDAK DISETUJUI OLEH KORBAN”.

Selain itu, dalam mafhum mukhalafah itu sebenarnya ada syarat lain yang cukup ketat. Yakni, tidak kontradiktif dengan produk hukum yang lebih otoritatif dan sharih (jelas).

Kalau kita kembalikan ke tuduhan soal legalisasi zina, urusan perzinaan kan sebenarnya sudah ada dalam hukum positif. Ia bisa kok masuk pidana kalau terpenuhi syarat tertentu.

Misalnya, zina dalam bentuk perselingkuhan atas pernikahan yang sah. Itu sama-sama hubungan seksual atas dasar persetujuan lho, tapi bisa dipidana juga kok. Di luar kategori perselingkuhan tadi itu, memang sudah benar kalau tidak ada undang-undang pidana yang mengatur soal zina.

Kenapa?

Ya karena perzinaan adalah urusan privat dan kriminalitas sebagaimana kekerasan seksual itu sifatnya publik.

Negara hanya bisa ngurus yang publik-publik, tidak bisa bisa ngurusi yang privat-privat. Dalam kasus zina yang bisa dipidana karena perselingkuhan, itu kesannya memang privat, tapi karena ada pasangan sah yang dirugikan, maka sifatnya jadi publik.

Itulah kenapa aparat hukum kita memang sudah pas tidak diberi wewenang untuk memburu para pezina atau pendosa. Soalnya (boro-boro zina) ghibah alias rasan-rasan saja juga dosa lho, suu’dzon juga dosa, sombong dosa, bahkan sambat bisa termasuk dosa.

Betapa kasihannya aparat hukum kita kalau tiap detik harus menghukum para pendosa? Sebab, manusia mana sih di planet ini yang tak pernah sekali pun melakukan dosa dalam sehari?

Oleh karena itu, penanggulangan zina yang diwanti-wanti temen-temen PKS itu seharusnya diupayakan bukan lewat UU atau pengerahan aparat, tapi lewat ustaz, agamawan, guru, atau tokoh masyarakat.

Apalagi zina itu larangannya kan tidak hanya pada aktivitasnya saja, tapi bahkan sejak dari niatnya. Karena dalam Islam larangan zina itu sampai pada tahap “jangan mendekati zina”. Dan karena bentuknya larangan, maka mendekati saja sudah bisa masuk kategori berdosa.

Nah, larangan mendekati zina inilah yang memakai ilmu Ushul Fiqh dan konsepnya mafhum muwafaqah yang di awal tadi (sebagai pembanding atas mahfum mukhalafah) sudah saya jelaskan. Makanya prinsip yang kita kenal jadi gini: jika mendekati zina saja tak boleh, apalagi melakukan zina?

Dan oleh sebab itu saya kemudian jadi berpikir, ketimbang memakai mahfum mukhalafah bukankah seharusnya teman-teman PKS memakai konsep mahfum muwafaqah saja soal Permendikbud isu kekerasan seksual ini?

Soalnya kalau aturan soal hubungan seksual atas dasar suka-sama-suka saja teman-teman PKS bisa begitu concern ingin menjadikannya sebagai undang-undang, apalagi kalau hubungan seksual itu dilakukan bukan atas dasar suka-sama-suka? Ibarat yang sukarela aja mau dilarang, apalagi yang dipaksa.

Kan harusnya temen-temen PKS lebih concern untuk menjadikannya sebagai peraturan dong? Iya kan?

BACA JUGA Pelaku Zina Tak Dipenjara karena Tak Semua Dosa Bisa Dipidana dan tulisan Miftahur Risal lainnya.

Exit mobile version