MOJOK.CO – Membaca kicauan Sandiaga Uno soal kesulitan hidupnya saat harus kuliah di Amerika padahal beliau ingin kuliah di UI membuat banyak orang sedih. Hiks.
Kisah Sandiaga Uno muda yang ingin kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), namun ayahnya justru memberinya selembar tiket berangkat studi ke Amerika, benar-benar membuat saya terharu.
Lha bagaimana? Tiket itu hanya selembar tiket berangkat, tanpa selembar tiket pulang. Hiks.
Dulu saya ingin kuliah di Fakultas Ekonomi UI, tapi Ayah berikan saya selembar tiket berangkat untuk studi ke Amerika. Hanya selembar tiket, selembar tiket pergi tanpa tiket pulang. Disinilah saya belajar bahwa saya harus bisa sukses di negeri orang dan pulang membawa prestasi. pic.twitter.com/XQxInBgdMH
— Sandiaga Salahuddin Uno (@sandiuno) 2 April 2019
Benar-benar kebalikan dengan bapak saya. Sosok yang jangankan kasih selembar tiket ke Amerika atau kuliah di UI, bisa kasih restu saya lanjut sekolah SMA saja saya udah kepingin bikin tumpengan.
Membaca kicauan Sandiaga Uno soal kesulitan hidupnya itu membuat saya teringat pada suatu Minggu pagi yang biasa. Saya berangkat meninggalkan rumah Bapak. Agar bisa tinggal di rumah sebuah keluarga yang bersedia menanggung biayai sekolah saya. Dan Bapak saya pun tak punya alasan apapun melarangnya.
Dalam banyak hal saya berbeda dengan Bapak. Perbedaan itu mencolok begitu tajam ketika menyangkut pendidikan. Tentu saya sempat kecewa sebab merasa Bapak tidak mendukung pendidikan saya. Meskipun pada akhirnya saya bisa mengerti.
Bapak pantas kecewa sebab anaknya tak mau meneruskan profesinya sebagai petani. Dan semakin hari sepertinya harapan Bapak pada saya semakin menjauh. Bukan hanya karena saya tak lagi tertarik, melainkan karena usaha bapak saya sering kena rugi dari orang-orang jahat.
Bapak saya sering terlalu percaya dengan pedagang yang selalu menjanjikan hal-hal instan. Bapak saya kena tipu berkali-kali. Dan mereka yang menipu Bapak, rata-rata adalah orang-orang berpendidikan. Jauh lebih berpendidikan ketimbang bapak saya.
Sebuah hal yang bikin bapak saya—yang termasuk generasi tak berpendidikan itu—semakin ragu dengan pendidikan. Hal yang patut saya maklumi, toh dari pengalaman Bapak, orang baik atau jahat benar-benar tidak ada urusannya dengan tinggi-rendahnya pendidikan.
Hal itu yang—barangkali—membuat Bapak tak percaya sepenuhnya dengan pendidikan. Meski begitu, saya sendiri tidak menyesali alih-alih mensyukuri keputusan meninggalkan Bapak demi bisa mendapat pendidikan lebih baik. Biasa saja.
Dan tinggal bersama keluarga lain yang berada di kota memberikan saya kesempatan tahu banyak hal. Sekaligus menyadari bahwa saya bukan lah siapa-siapa. Hanya anak petani miskin yang kena tipu berkali-kali. Pengalaman hidup ini kemudian menjadi penting dan banyak mempengaruhi cara pandang saya.
Dalam belasan tahun saya hidup dalam lingkungan berada. Saya menikmati hal-hal yang tidak dapat saya nikmati di kampung.
Keluarga yang menampung saya memiliki status berada dalam masyarakat. Masih punya garis keturunan kerajaan. Memiliki pekerjaan terpandang. Memiliki akses pada pemerintahan dan pejabat. Beberapa keluarga dan relasinya bahkan merupakan bagian penting pemerintah atau pejabat itu sendiri.
Dari bergaul dengan relasi keluarga yang menampung saya ini, saya kemudian paham bagaimana umumnya orang-orang mendefinisikan perjuangan hidup. Ada yang selalu menceritakan ketika dulu harus angkut kayu ketika sekolah. Ada pula yang lain menceritakan keras perjuangan saat dikirim orang tua ke kota untuk sekolah dan harus menghemat biaya.
Hal yang sama sering diceritakan tokoh-tokoh nasional juga. BJ Habibie misalnya sering menceritakan dirinya dari keluarga sederhana—untuk tidak menyebutnya miskin—yang harus berjuang keras untuk bisa kuliah.
Sandiaga Uno walau tidak menyebut dirinya dari keluarga sederhana, selalu menyodorkan perjuangannya sebagai perjuangan yang susah payah dan terkesan mengabaikan support system di sekelilingnya.
Jangan lupakan juga para motivator yang sering memotivasi dengan iming-iming uang dan kemewahan. Ketika mereka menceritakan tentang kesuksesan, mereka seperti berlomba-lomba memiskinkan diri semiskin-semiskinnya dan sesusah-sesusahnya sebelum sesukses saat bicara di depan para jamaahnya.
Padahal ketika mendengar cerita-cerita mereka, banyak dari mereka yang sebenarnya tidak miskin-miskin amat. Keluarga mereka cukup berkecukupan di zamannya.
Pak Habibie misalnya, orang tuanya berkecukupan dan memiliki rumah yang sudah lebih dari baik dibandingkan orang-orang masyarakat biasa. Jangan tanyakan juga bagaimana dengan Sandiaga Uno. Saya pikir semua orang tahu seberapa tajir keluarganya.
Di sisi lain, saya kebetulan pernah membaca profil seorang motivator muda yang menyebut dirinya hanya berasal dari petani cengkeh. Lalu mendramatisasi kisah masa kecilnya yang susah.
Sebagai orang yang besar dari keluarga petani (yang kena tipu), saya tentu paham kalau petani cengkeh di kampung itu kaya raya. Hal yang kemudian membingungkan saya, kalau mereka saja sampai menyebut dirinya susah dan hidup penuh kesulitan begitu, apalagi kami yang misqueen–nya benar-benar kaffah kayak gini?
Akan tetapi, pada akhirnya saya bisa maklum sih. Sebab hal semacam ini memang udah jadi budaya kita.
Tidak cuma Sandiaga Uno atau para motivator sok miskin, kita memang pada dasarnya demen mendramatisir kehidupan sendiri agar memperoleh keuntungan sosial lebih.
Entah itu berupa hal non-materiil kayak simpati, respek, atau hormat, maupun keuntungan material kayak bantuan dana kampanye dari rakyat, subsidi, bahkan termasuk beasiswa. Kayak beasiswa bidikmisi misalnya.
Sebelumnya bawa motor kinclong ke mana-mana, tapi ketika datang penawaran beasiswa bidikmisi langsung pura-pura kere, baju compang-camping, minta tanda tangan keterangan miskin sana-sini.
Padahal menurut saya tidak ada salahnya mengakui support system itu yang memang sudah ada dan sebetulnya benar-benar sudah membantu kita.
Toh, saya tak pernah menampik bahwa dengan keluarga kaya raya yang mengasuh saya, saya jadi bisa terus sekolah. Memungkinkan saya untuk bisa mendapat akses pendidikan lebih baik sampai bisa ke Amerika, ketimbang saya bertahan bersama bapak saya di rumah.
Apakah itu membuat saya menderita? Ya, biasa saja. Paling juga cuma persoalan kangen kampung halaman. Hal yang terlalu maksa kalau diceritakan.
Ini sama dengan Sandiaga Uno yang bisa kuliah ke Amerika dengan biaya pribadi, sudah barang tentu ekonomi keluarganya tidak sama dengan ekonominya Keluarga Cemara. Soalnya pertimbangan, persyaratan finansial, dan berkas-berkas harus sudah disiapkan untuk berangkat ke Amerika.
Untuk belajar di Amerika dengan biaya pribadi—paling tidak—harus memiliki Visa F-1. Visa F-1 biasanya harus didukung surat penerimaan dari kampus yang biayanya tinggi dan juga tentu uang jaminan. Hal yang bikin orang kayak saya, tidak mungkin bisa memenuhi persyaratan kayak gini.
Nah, uang jaminan tersebut untuk membiayai hidup selama berada di Amerika. Jika persyaratan tersebut sudah terlengkapi tentu tidak mungkin langsung dibelikan tiket pulang. Kecuali kalau tujuannya memang liburan.
Saya sendiri beruntung dan bersyukur sebab tinggal bersama keluarga yang telah memberikan kesempatan dan pernah membantu mengongkosi pendidikan saya. Dengan begitu saya memiliki akses kesempatan yang lebih terbuka dibandingkan beberapa teman saya yang melanjutkan kuliah pun harus terseok-seok.
Sampai akhirnya, saya merasa perlu berbangga setidaknya tak lama lagi bisa sama-sama alumni dari Amerika kayak Sandiaga Uno. Siapa tahu saja nanti saya juga jadi cawapres dan bisa menulis status perjuangan seperti beliau kayak gini:
“Dulu saya ingin bisa terus melanjutkan sekolah, tapi ayah berikan selembar tiket berangkat ke kota untuk ditampung ke keluarga lain yang lebih kaya raya. Hanya selembar tiket, selembar tiket pergi tanpa tiket pulang (karena emang nggak mampu beli tiket pulang). Di sinilah saya belajar bahwa saya harus bisa sukses ketika diasuh oleh keluarga lain dan pulang membawa prestasi.”