Melihat Jogja Kekinian Lewat Fenomena Kos-Kosan

jogja kekinian kost-kostan

Sejak dahulu kala, petualangan mencari kos-kosan bukan perkara gampang. Konon mencari kosan juga tidak jauh beda dari mencari jodoh: harus benar-benar pas dan bisa membuat nyaman, karena akan dijadikan tempat berpulang melepas kejenuhan.

Sebagai mantan mahasiswa Jogja yang baru pergi beberapa bulan, kembali mencari kos di kota pelajar ini ternyata bukan hanya perjalanan yang melelahkan, tetapi juga mengejutkan. Jogja sudah banyak berubah, begitu pula dengan kos-kosannya.

Jika kita mencari kos di Jogja di tahun 2011-an, rasanya kos di jalan Kaliurang masih berada di harga 300-600 ribu rupiah. Teman saya bisa mendapat kos dengan harga Rp 350.000 per bulan dengan kamar yang cukup untuk anak enam tidur bersama kalau pulang malam dan pada dikunci ibu kosnya. Kamar tersebut masih dilengkapi dengan lemari baju dan meja serta kasur, meskipun kasur kapuk yang akhirnya hanya dijadikan alas kasur busa miliknya.

Kos dengan harga 450.000 lebih baik lagi, jumlah kamar mandinya lebih banyak dan kasurnya sudah pakai dipan. Ada garasi dan ada dapur, yang juga merupakan garasi dan dapur ibu kos. Kos harga 600.000 sudah mewah, kamar mandinya sudah di dalam, dan fasilitasnya sudah bersama internet untuk setiap kamar. Satu bangunan kos biasanya hanya berisi belasan kamar yang menyatu dengan rumah pemiliknya.

Coba sekarang cari kos di daerah jalan Kaliurang sebelum perempatan Kentungan, sekitar km 4-6. Luar biasa berbeda.

Saya sempat mampir ke sebuah kos di depan warung burjo tingkat yang legendaris, sebuah kos lantai 3 yang pagarnya kokoh, tinggi menjulang. Kamar yang B-aja (biasa aja gitu) dengan sebuah jendela kecil yang menghadap parkiran mobil dibandrol dengan harga 3 juta per bulan!

Penjaga kos mendeklarasikan “3 juta sudah komplit semua!” di awal pertemuan dengan konsumennya. Lengkap semua di sini diartikan dengan perabot, AC, kamar mandi dalam, air hangat, internet, TV dan barang-barang pelengkap lainnya.

Harga tidak jauh berbeda ada di daerah ringroad, km 6 jalan Kaliurang. Kos harga 1,8 juta yang yakin memiliki unique selling point balkon pribadi setiap kamar dan parkir aman 24 jam berdiri dengan 3 lantai menjulang.

Daerah Pogung, daerah andalan kos anak fakultas non-sosial dan sekitarnya, tidak kalah bajilak. Harga 1.5 juta per bulan untuk fasilitas kamar dengan spring-bed dan kamar mandi dalam dipasang pada 25 kamar dalam satu bangunan. Kos-kos yang punya papan neon bertuliskan “Kos Eksklusif” berdiri dengan jumlah kamarnya lebih dari 20 dan harganya 2 juta per bulan. Hebatnya, puluhan kos yang ekslusif itu penuh!

Bayangkan betapa banyaknya orang kaya di kota ini. Sungguh kita tidak perlu khawatir dengan kondisi ekonomi.

Rata-rata kos eksklusif di Jogja biasanya menjual beberapa keunggulan yang sekaligus menjadi pertimbangan orang tua yang anaknya baru pertama tinggal di kosan yaitu lokasi, lingkungan dan penghuni. Semakin dekat dengan kampus, harganya akan semakin mahal.

Saya bisa menemukan 30 kamar seharga 3 juta yang penuh di daerah Karangwuni, dan belasan kamar seharga 2,5 juta yang juga penuh di daerah Monjali. Orang tua yang anaknya baru pertama kali kos dan tinggal jauh pasti berfikir, “di sini saja biar mau ke kampus dekat”. Pemilik kos, semakin mengompori dengan bilang bahwa ke kampus tinggal jalan kaki.

Lalu hal kedua yang dijual adalah lingkungan. Dekat dengan makanan, fotocopy, rumah sakit, dan lingkungan kampus menjadi nilai jual tersendiri. Orang tua yang baru pertama melepas anaknya tinggal jauh pasti berfikir bahwa lingkungan dekat kampus akan lebih tidak neko-neko. Anak akan berada di atmosfer pendidikan, belajar semakin nyaman, masa depan semakin gemilang.

Ketiga, yang cukup membuat saya tertawa hambar, adalah penghuni. Saya sempat kaget mendapati bahwa hampir seluruh penjaga kos yang saya datangi ketika kemarin mencari kos baru selalu menyebutkan siapa penghuni mayoritas di kos mereka. Mereka akan sangat bangga bercerita bahwa mayoritas penghuni adalah anak kedokteran.

Juga tidak ketinggalan mendeklarasikan kos-kosannya adalah kos muslimah yang kalau solat maghrib sering berjamaah. Tidak kalah pentingnya, mereka menyebutkan asal daerah anak yang tinggal di sana, dari Jakarta, Surabaya, Duri, dan kota-kota besar lainnya.

Fenomena kos dengan harga yang maha bajilak di Jogja ini sepertinya didorong oleh perubahan paradigma tentang anak kos. Anak kos yang dulu dipandang sebagai anak ngirit atau anak nggak ada duit (karena memang kita jauh dari orang tua, sekolah-bukan bekerja) sekarang dipandang menjadi anak mandiri.

Image sebagai anak mandiri ini kemudian membuat orang tua modern menjadi bangga apabila anaknya adalah anak kos. Maka meskipun kaya raya, mereka akan memilih untuk mencarikan anaknya kos. Lumayan bisa dijadikan bahan untuk bangga pada orang lain, meskipun anak orang kaya anaknya tetap hidup mandiri dan susah sebagai anak kos.

Selain itu sepertinya kampus-kampus di Jogja turut menyumbang alasan kejahatan harga kosan ini. Sepertinya UGM sukses membangun image sebagai universitas terbaik juga World Class Research University, sehingga para adik-adik Jakarta tidak segan mendaftar ke UGM daripada ke UI. Selain karena agar bisa tinggal jauh dari orang tua, kampus tertua ini juga keren, begitu.

UII dan UPN juga sepertinya sukses menarik banyak massa dari kota Jakarta dan sekitarnya. Terbukti semakin mudah saja menemukan mobil plat B bertebaran di Seturan dan sekitarnya. Belum lagi kampus lain yang jumlahnya wah emboh ada berapa. Pasti mereka semua sukses meyakinkan maba untuk tinggal di Jogja.

Jadilah para pengusaha kosan, yang sebagian besar bukan orang Jogja, beramai-ramai membangun kos bertumpuk tinggi. Lantai 1 jadi parkir mobil, lantai 2,3 dan seterunya jadi kotak-kotak dingin tempat adik-adik beristirahat dan belajar hidup mandiri. Semakin banyak kamarnya semakin bagus, semakin efektif penggunaan lahan.

Lha tapi kalau banyak kos seperti ini, jangan harap anak kos Jogja sekarang dekat dengan warga dan tetangga, dekat dengan yang jaga saja sudah syukur. Kalau dekat dengan yang punya sepertinya terlalu muluk, wong yang punya tinggalnya di luar kota.

Kalau sudah begini saya tidak terlalu heran Jogja terasa berubah. Ada yang merasa Jogja semakin macet? Ya, mobil adik-adik yang belajar hidup jauh dari orang tua itu sudah semakin mudah menemukan tempat parkir aman 24 jam, jadi wajar makin banyak berkeliaran di jalan.

Pun ada yang bilang jogja semakin tidak toleran? Kos-kosan di Jogja itu membentuk pribadi warga penghuni kota; tidak dekat satu sama lain dan masing-masing maunya eksklusif. Betapa fenomena kos ternyata juga membentuk isi warga Jogja, bukan?

Apa boleh buat, beginilah rupa Jogja yang kekinian itu.

Saya lumayan terkejut sendiri dengan fenomena ini, terus tertawa, dan tetap meramaikan dunia perkosan anak muda. Anggap saja: “duh dasare aku cah nom”- duh dasarnya saya anak muda.

Exit mobile version