Mau Nonton “Hanum & Rangga” atau “A Man Called Ahok” Aja Ada Cap Cebong dan Kampret

MOJOK.CO – Polarisasi belakangan ini bisa bikin orang yang ingin nonton “Hanum & Rangga” atau “A Man Called Ahok” jadi ragu. Khawatir kena cap kampret atau cebong di jidat.

Media sosial kembali menghangat. Bukan hanya karena Politik Genderuwo yang dipopulerkan oleh Jokowi dan membuat gelombang pem-bully-an semakin menggelora antara kedua kubu, melainkan juga ulah para sineas perfilman Indonesia.

Kamis, 08 November 2018, telah launching dua buah film Indonesia yang tokoh utamanya masing-masing punya pendukung garis keras yang hobi berantem di sosmed. Ahok dan Hanum Rais bertanding tinju, eh, kepopuleran lewat kisah-kasih kehidupan mereka yang diduga bisa menginspirasi banyak orang.

Meme, skrinsyut, dan komentar pun saling bersahutan. Yang paling viral namun blunder fatal adalah seseorang yang membandingkan jumlah penonton film A Man Called Ahok dengan Faith And The City lewat tampilan gambar “pilihan kursi” yang biasa kita lihat ketika mau milih tempat duduk di bioskop.

Maksud hati mau ngetawain film Ahok yang kursinya banyak bertanda merah dan dia pikir banyak kursi kosongnya alias gak laku, alias nggak ada yang nonton dibandingkan dengan film Hanum yang jauh lebih banyak ditandai hijau. Eh, ternyata kebalik euy. Tanda merah artinya sold out, hijau malah masih available. Duh, nggak kebayang deh malunya.

Mungkin sama dengan malu yang saya rasakan saat dulu ikut-ikutan refleks bela-belain Ratna Sarumpaet, padahal zonk. Berasa pengen ngumpet, tapi tugas dakwah masih banyak (sok pledoi, hehe).

Tapi begini, Gaes, mau dilihat lewat kacamata apapun. Popularitas Ahok itu jauh melebihi Hanum—dalam dunia politik apalagi. Hanum belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Ahok. Lain halnya kalau yang tanding bapaknya Hanum—you know who lah. Tapi entah kenapa kok orang malah lebih tertarik bikin film kisah anaknya dibanding ayahandanya? Plis, yang tahu tolong inbox saya ya? Haha.

Jadi menurut saya sebagai orang awam dunia perfilman, sorry to say, film A Man Called Ahok kayaknya bakal lebih ramai daripada film Faith And The City-nya Hanum. Lagian kalau mau dilihat polarisasi dukungan, saya pikir pendukung Ahok merupakan orang-orang yang lebih akrab dan nggak takut-takut gitu untuk pergi ke bioskop dibanding para pendukung kubu sebelahnya. Ini asli nggak bohong.

Di kubu saya (tarbiyah) pergi ke bioskop terus nonton film sambil gelap-gelapan itu masih aja jadi ajang perdebatan panjang. Meski yang ditonton adalah film-film religi karya orang tarbiyah sendiri.

Permasalahan yang diangkat bisa mulai dari ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan) yang bisa mengundang maksiat. Lalu anggapan bahwa menonton film di bioskop sama saja dengan melakukan hal mubazir bin sia-sia. Khawatir dianggap ikut-ikutan style kaum kuffar, sampai munculnya ceramah klasik “betapa banyak janda-janda, fakir miskin, dan anak yatim yang masih perlu santunan”. Wadooow, ribet deh.

Jadi meski kamu punya 30 tiket gratis nonton filmnya Asma Nadia, mending nggak usah posting ajakan nonton bareng di grup tarbiyah. Karuan ajak temen sekolah aja. Aman nggak banyak perkara. Hehe.

Lagian kalau mau perbandingan banyak-banyakan penonton, film Ahok lebih tepat disandingkan dengan film 212: The Power of Love yang sudah duluan tayang bulan Mei lalu. Garis demakarsi dukung mendukung lebih jelas dan tegas.

Jarang ada yang bakal lompat, jajalin nonton film kubu lawan meski penasaran. Pas sudah tuh kalau mau diadu. Nggak kebayang kalau kedua film ini yang head to head waktunya bersamaan launching­-nya. Mungkin bisa rusuh XXI dan semua penonton disuruh pulang. Suruh nunggu selama 3 bulan nanti film akan diputar di layar kaca kepunyaan masing-masing.

Lagian saya juga heran, sekarang nonton film aja pakai dikait-kaitan sama sikap politik aja. Orang mah nonton film buat hiburan, melepas stres di akhir pekan sehabis kerja keras bagai quda di lima hari ke belakang. Menikmati hasil jerih payah sambil haha-hihi bareng teman, pacar, gebetan, kandidat ta’arufan (eh ini nggak boleh) atau keluarga.

Pilih film yang disuka. Masuk bioskop dengan senang dan keluar dengan bahagia (kecuali kalo filmnya emang jelek bin somplak, ya deritamu dah). Bukan malah masuk dengan dendam, pas keluar semakin kuat tekad mencari keributan. Haiyah.

Ini malahan nonton film bukan karena penasaran ceritanya kayak apa, tapi buat sekedar legitimasi:

“Noh pilihan lu salah. Buktinya yang nonton sepi. Pilihan gue yg bener!”

Coba pikirkan deh Bang, Kak, Mbak, Akhi, Ukhti, yang begini bisa membuat orang lain yang beneran pengen nonton jadi ragu-ragu. Takut dan khawatir dikira dukung ini-itu. Atau tiba-tiba ada cap kampret atau cebong di jidat kalau salah-salah posting tiket nonton di Facebook.

Padahal bisa jadi itu orang asli beneran pengen nonton karena tertarik dengan ceritanya secara keseluruhan waktu nonton trailer. Bisa jadi dia orang disleksia yang kesulitan baca buku dan lebih senang nonton film karena tertarik dengan tokoh-tokohterkenal asli produk dalam negeri.

Atau bisa jadi, orang-orang ini adalah pencinta die hard film Indonesia. Yang nggak peduli apapun jenis filmnya, siapa saja pemerannya, produser atau sutradara, bakalan terus mendukung film-film Indonesia agar tumbuh, berkembang, dan bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukankah ini cita-cita yang mulia?

Harapan nyata yang patut didukung daripada sekedar ribut copras-capres yang janji-janjinya kebanyakan fiksi dan utopis.

Saya ingat dulu beberapa kawan ada yang mengeluhkan, kok yang nonton film Avenger jauh lebih banyak daripada yang nonton film Guru Bangsa? Kok orang lebih tertarik tokoh pahlawan fiksi daripada tokoh pahlawan yang benar-benar ada di negeri ini?

Lah pegimana kagak, wong soal pilihan nonton bioskop aja di sini kerjaan pada saling mencela. Coba kalau begini siapa yang omdo ngeluh bin sontoloyo?

Exit mobile version