MOJOK.CO – Ajakan hijrah sebenarnya merupakan tawaran menarik. Sebuah upaya membenarkan seorang muslim dan muslimah agar bisa berislam secara kaffah. Tapi kalau jalannya cuma setengah-setengah, ya itu ajakan hijrah atau cuma sales jualan rumah?
Sebagai pejuang hijrah yang punya keinginan untuk berislam secara kaffah, tentu saja saya mesti dituntut untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan jahiliyah saya agar menjadi lebih islami. Saya jadi ingat dengan sebuah kajian YouTube dan halaqoh terbatas yang pernah saya ikuti, disebutkan di sana, setidaknya ada empat kriteria jahiliyah dalam Al-Quran yang perlu saya jauhi; prasangka jahiliyah, gaya hidup jahiliyah, hukum jahiliyah, dan fanatisme jahiliyah.
Berhubung mengubah prasangka, hukum, apalagi fanatisme jahiliyah itu sulitnya nggak ketulungan dan tidak mudah pada praktik sehari-hari, maka saya pikir paling tidak saya bisa memulai dengan menghilangkan tabarruj jahiliyah dulu, atau yang disebut Ibnu Katsir sebagai gaya hidup jahiliyah.
Oleh karena itu, bagi para pejuang hijrah seperti saya, memulai untuk menjaga apa yang dimakan agar halal dan dibeli dengan uang yang halal merupakan perkara penting sekali. Termasuk dengan berduyun-duyun mengganti profesi subhat apalagi haram seperti jadi pegawai bank—misalnya.
Tapi sebagai pejuang hijrah yang selalu gelisah, saya pun bertanya-tanya: sebenarnya yang halal itu gimana sih?
Apakah ketika suatu makanan dibolehkan sama Allah, lantas itu sudah pasti halal? Misal nih, saya minum es krim murah meriah sekali. Uang yang dipakai untuk membeli es krim pun dari sumber halal, yakni laba jualan online (meski transaksinya pakai mobile banking yang riba itu).
Secara bentuk, makanan yang dibeli yaitu es krim pun adalah halal: tidak mengandung minyak babi, darah, air liur anjing, atau kejatuhan eek laron. Apalagi kalau waktu es-nya habis dijilatin, di wadah es krimnya muncul cap halal MUI dengan emotikon mesem.
Di sisi lain, ketika saya tahu kalau harga murah es krim tersebut mengandung darah keringat dari pengurangan hak pekerja pabrik yang ditindas pemilik perusahaannya kan kesannya bisa jadi buruk banget. Apakah dengan begitu es krim ini masih halal saya makan dengan bahagia? Sementara pada saat bersamaan banyak yang menderita karenanya?
Tentu saja es krim itu secara material barangnya masih halal. Meskipun nggak ada jaminan thoyyib (baca: baik) atau enggaknya secara etika kerja yang dimiliki kumpeni kapitalis pembuat es krim tersebut. Padahal kita paham banget, anjuran Rasul soal memperhatikan rezeki tidak cuma perihal halal tapi juga perkara thoyyib juga.
Tapi bagaimana saya bisa mengenali es krim itu thoyyib apa bukan, tiga kali puasa tiga kali lebaran kan Bang Thoyyib nggak pulang-pulang~
Oh ya, itu baru soal jahiliyah-nya apa yang saya masukkan dalam tubuh ini, belum dengan pakaian, belum hunian, belum penghasilan, belum lagi apa yang saya keluarkan dari diri saya alias infak untuk perjuangan.
Udah deh, nggak perlu jauh-jauh ngomongin pembentukan khilafah dulu, sebagai anak baru hijrah, coba sama-sama kita cek: itu infak buat perjuangan udah verified halal dan thoyyib belum sih itu?
Yakin buku promo khilafah yang dijual dengan desain unyu-unyu full color itu sudah dicetak di kertas yang ramah reboisasi hutan? Apakah gamis-gamis syar’i yang dijual sudah dibuat dari kain yang nggak mengandung kapas sintesis yang limbah pabriknya mencemari udara dan mengganggu pernapasan warga, atau apakah itu mengandung pewarna kimia yang limbahnya mengotori sungai, atau apakah manajemen bisnisnya sudah memenuhi hak sosial ekonomi para pekerja? Nah lho?
Itu baru aliran dana saja, kita ini belum jelas baik atau enggaknya. Belum aliran dana organisasi yang sejak awal niatnya mau menguasai memperbaiki seluruh dunia. Wah, berapa banyak jalur pekerjaan yang harus kita pastikan ke-thoyyib-annya? Kalau sudah begini, kadang saya yang lemah iman jadi ragu bisa bakoh teriak-teriak kaffah bersama #antijahiljahilclub yang masih fana adanya.
Bukannya saya pesimis muslim yang beneran jadi berkah bagi seluruh alam itu nggak ada, tapi ya karena di banyak kajian hijrah yang saya temui, perubahan gaya hidup jahiliyah yang ditawarkan rasanya terlalu superfisial. Jauh amat digapainya.
Seperti misalnya cabut dari bank tapi kemudian kerja di perusahaan perkebunan sawit. Padahal menjauhi riba dan tidak membuat kerusakan di bumi itu kan sama-sama tabarruj jahiliyah. Ngapain menghindari riba tapi malah ikut andil paling dekat dengan upaya kerusakan bumi? Keluar mulut buaya darat masuk mulut buaya betulan kan jadinya?
“Terus saya disuruh ngapain, ternak unta?”
Yhaa~ nggak unta juga kali, Akh, kan ada sapi atau kambing. Serius lho. Kalau memang sekiranya antum ingin meneladani penduduk Madinah “Kota Hijrah” secara kaffah, coba kembali ke desa dan lakukan pertanian berkelanjutan sebagaimana yang dulu dilakukan kaum Anshor.
Saking penting dan dekatnya pertanian dalam kehidupan hijrah, banyak pengajaran Islam yang disampaikan Rasul dalam analogi pertanian. Sedihnya, yang banyak saya temui di forum-forum start up pertanian bukannya para akhi pejuang hijrah, melainkan para kimcil kekiri-kirian yang kuffar dan militan mengejar keduniawian yang sukses. Aduh, kita kalah kaffah, ya Akhi.
Kalau sekiranya sebagai pejuang hijrah antum lebih memilih jalur perdagangan sebagaimana kaum Muhajirin, coba tengok dan pelajari komoditas apa saja yang dijual mereka hingga berhasil menyingkirkan kaum Yahudi dari Pasar Madinah.
Salah satu komoditas dagang terbanyak adalah kerajinan. Entah itu besi, kayu, sampai kain. Semua dikerjakan manual agar tidak merusak alam. Ibarat bikin pakaian, para sahabiyah zaman dulu memintal kapas sebelum menenunnya menjadi kain. Tanpa kimia dan proses berbahaya lainnya.
Sayangnya, industri kerajinan berkelanjutan ala kaum Anshor ini juga tidak begitu dilirik para pejuang hijrah jaman now. Beberapa pelaku yang saya temui fokus di bidang itu, kalau bukan antek-asing-aseng ya justru pribumi humanis yang nggak agamis, dan rata-rata justru mereka yang berhasil. Duh, lagi-lagi kita kalah kaffah, ya Ukhti.
Yah, saya juga nggak bisa maksa sih. Para pejuang hijrah kan sibuk kajian. Pekerjaan paling sesuai ya dagang fast fashion online biar omzetnya bisa cepat disalurkan buat perjuangan. Atau buka lapak offline tipis-tipis, yang sewaktu-waktu bisa “ditutup” ketika ada panggilan perjuangan. Meskipun saya nggak habis pikir juga sih, sesibuk apa agenda pejuang hijrah jaman now dibanding para Sahabat yang masih bisa menghayati gaya hidup lambat (slow living).
“Idih, kamu kok mempersulit orang hijrah, sih?”
Lho, faktanya hijrah itu memang susah, Sis. Ngana pikir hijrah kaffah menjadi khalifah fil ard (baca: pemimpin di bumi) itu se-basa-basi social experiment peluk-pelukan sebagai tanda anti kekerasan? Heellooouw~
Kalau antum beneran mau mengganti gaya hidup jahiliyah menjadi kaffah islamiyah seperti kaum Muhajirin dan Anshor dulu, ya jangan nanggung-nanggung—buat hijrah kok setengah-setengah, emang mau kredit rumah?
Jadi, menurut hemat saya, kalau sekiranya memang belum mampu turut menjaga bumi ini secara keseluruhan, nggak usah capek-capek ngomongin pengaturan dunia lewat klaim kebenaran antum. Simpel.
Apalagi semakin banyak main, antum akan semakin paham kalau setiap orang punya jalan ninja mereka masing-masing sebagai khalifah fil ard, dan sebaiknya antum terima sunatullah perbedaan itu. Kan, nggak seru juga kalau di surga nanti isinya cuma antum sama teman-teman antum saja. Masa iya surga dibikin Tuhan cuma untuk se-uprit komunitas antum yang isinya cuma orang-orang itu aja?
Ya kecuali kalau hijrah itu adalah produk jualan juga, seperti ajakan berhijab, lalu muncul produk wacana hijab syar’i misalnya. Jadi ketika sudah banyak yang ikut-ikutan hijrah dan sayangnya masih banyak yang setengah-setengah menjalaninya, terus dikeluarkan deh tren produk terbaru biar tetep laku jualannya.
Nama produknya?
Hijrah syar’i.