MOJOK.CO – Mencari tempat duduk di Kopi Klotok Jogja kerap jadi persoalan sendiri. Persoalan yang kadang bisa memperlihatkan kadar sopan santun seseorang.
Suatu pagi, saya dan Simbok (panggilan sayang untuk istri saya) duduk di salah satu sudut teras Kopi Klotok Jogja. Kami menikmati kopi dan pisang goreng, di sebuah meja bundar kecil yang terdiri dari empat kursi.
Dua kursi kami duduki, dua kursi lagi punya tanda silang, yang berarti tidak boleh dipakai. Keadaan di Kopi Klotok saat itu lumayan ramai seperti biasa.
Ketika kami sedang ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas, ada (((serombongan))) orang paruh baya datang mencari tempat duduk.
Salah satu dari mereka mendekati meja tempat kami berada. Semula saya pikir itu adalah seorang kenalan yang kebetulan bertemu di Kopi Klotok Jogja dan menghampiri karena mau menyapa. Tapi ternyata bukan.
Orang itu entah siapa, tapi ia langsung bertanya, seolah mewakili rombongannya:
“Maaf, saya boleh ikut gabung di sini?”
Saya dan Simbok terpana dengan pertanyaan tak terduga itu. Lah ente dan rombongan itu siapa mau main gabung aja?
“Bagaimana?” saya bertanya balik ke orang yang baru datang di Kopi Klotok.
Sampean tahu, saya tak pernah menahan ekspresi. Kalau saya sedang merespons dengan gembira, maka ekspresi saya gembira. Kalau dongkol, ya dongkol. Saya tidak pernah pura-pura gembira saat sedang dongkol. Dan saat itu saya jadi dongkol karena orang itu.
“Nggg… ini,” orang itu menjawab.
“Apa saya bisa duduk di sini?” tanyanya langsung ke hadapan saya.
“Duduk di sini?” saya memastikan.
“Eh, maksud saya apakah sudah mau selesai?”
Piye toh? Kok mencla-mencle.
“Belum selesai,” jawab saya, “masih lama.”
Orang yang baru datang di Kopi Klotok itu berlalu. Saya masih saja tidak habis pikir. Kok bisa-bisanya ada orang yang awalnya mbagong mau numpang di meja orang lalu jadi kayak mau ngusir halus kami begini? Hari gini lho.
Beberapa saat kemudian, ketika pisang dan kopi kami sudah mau habis, saya lihat dua anak muda (sepertinya mahasiswa), cowok dan cewek, berdiri di dekat teras samping Kopi Klotok Jogja.
Mereka berdua memegang piring dan menyendok-nyendok pelan sambil berdiri. Beberapa kali mereka melirik ke arah kami. Mereka tampak jelas sedang mengantre tempat yang kami pakai. Hanya saja mereka tak menunjukkan gesture yang mengganggu. Sama sekali tidak.
Segera saya bilang pada Simbok, “Yuk, kita jalan. Itu ada yang butuh tempat duduk.”
“Hayuk.”
Kami berdiri lalu berjalan ke arah kasir Kopi Klotok. Sekilas saya lihat kedua anak muda tadi bergerak cepat ke arah meja yang tadinya kami pakai.
Sambil berjalan ke kasir, saya sambat pada Simbok, “Itu kok bisa ada orang yang nggak tahu diri mau numpang di meja kita. Sementara, anak-anak muda itu malah sopan banget nunggu tempat tanpa mengganggu. Orang tua tadi itu harus belajar sopan-santun dari anak muda tadi.”
Simbok hanya senyum-senyum saja mendengar saya ngromyang.
Kejadian di Kopi Klotok Jogja itu sedikit mengonfirmasi keyakinan saya selama ini bahwa anak muda di sekitar kita tidak sedikit yang punya perilaku lebih baik daripada anak old. Terutama dalam interaksi dengan orang yang tidak dikenal.
Itulah sebabnya saya selalu siap mendebat panjang kalau ada orang tua yang mengeluh, “Dasar anak muda zaman sekarang!” Lalu menggeneralisir semua anak muda zaman sekarang diklaim tidak punya sopan santun.
Sebab, urusan sopan santun, tidak selalu terkait dengan banyaknya uban di kepala atau usangnya tahun kelahiran di akta.
BACA JUGA Cara Ikan Pindang Melawan Ikan Kelas Kakap dan tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya.