Majapahit: Tidak Seluas Klaim Pemujanya, Tidak Semungil yang Dibilang Pengkritiknya

Majapahit: Tidak Seluas Klaim Pemujanya, Tidak Semungil yang Dibilang Pengkritiknya MOJOK.CO

Majapahit: Tidak Seluas Klaim Pemujanya, Tidak Semungil yang Dibilang Pengkritiknya MOJOK.CO

MOJOK.COPerdebatan terkait teritori Majapahit tak kunjung padam. Apakah seluas klaim pemujanya atau justru mungil seperti kata pengkritiknya?

Tentang Majapahit, manakala harus mengulasnya sebagai salah satu isu populer dalam sejarah Indonesia, saya memilih memulainya dengan berbagi ingatan tentang beberapa yang saya dapati sekitar 2012 dan 2013.

National Geographic Indonesia (NGI) pada medio 2013, mengunggah ke web mereka suatu artikel yang mengulas sejarah Majapahit. Termasuk di dalamnya bahasan tentang luas teritori. Konten yang sama diunggah pula oleh Kompas yang sepayung korporasi media dengan NGI pada Oktober 2013 (“Faktanya, Nusantara Bukanlah Wilayah Majapahit).

Artikel tersebut sebelumnya telah lebih dulu dimuat dalam edisi cetak majalah NGI terbitan September 2012. Sependek yang saya tahu, artikel itu lantas sempat diunggah beberapa akun di dua medsos paling populer kala itu, Facebook dan Twitter.

Dalam artikelnya sendiri, arkeolog senior, Hasan Djafar, diwawancara oleh jurnalis Mahandis Yoanata Thamrin. Pria bergelar akademik doktor itu menyebut bahwa teritori Majapahit pada dasarnya terkonsentrasi di wilayah yang orang sekarang menyebutnya sebagai Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Hasan sekaligus menyebut bahwa apa yang cenderung dipercayai khalayak ramai perihal teritori Majapahit, yakni meliputi sebagaian besar Kepulauan Nusantara atau kurang lebih seluas Republik Indonesia sekarang ini, bukanlah sesuatu yang benar-benar layak dipercaya. Pasalnya hal tersebut sejatinya tak punya rujukan sumber sejarah yang benar-benar mantap.

Pria kelahiran 1941 ini, yang dikenal luas karena risetnya tentang prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya serta karena meriset Situs Batujaya di Karawang, masih pula menjelaskan pemaknaan asli atau paling awal dari istilah “Nusantara”. Tepatnya ialah pemaknaan “Nusantara menurut pemakaian pada abad XIII-XVI, semasa eksisnya Tumapel-Singhasari dan Majapahit, dua kemaharajaan sinambung yang sama-sama berpenguasa Rajasawangsa. Maka, Hasan Djafar menerjemahkan “Nusantara” sebagai ‘pulau-pulau di luar (teritori utama Majapahit)’, merujuk kepada makna dari dua kata pembentuknya “Nusa” dan “Antara” dalam bahasa Kawi alias Jawa Kuna.

Dengan demikian, Hasan mengingatkan kepada pembaca, atau mungkin malah membukakan mata mereka, bahwa penerjemahan “Nusantara” sebagai ‘pulau-pulau yang terletak di antara dua benua (Asia serta Australia) dan dua samudera (Pasifik serta Hindia)’ barulah muncul sangat belakangan, baru sekitar seabad terakhir. Itu pun sangat berbias narasi nasionalisme Indonesia.

Overglorifikasi

Poin-poin narasi sejarah Majapahit yang dikritik Hasan Djafar tadi nyatanya selama bertahun-tahun mengisi buku teks pendukung materi pelajaran Sejarah anak-anak sekolah se-Indonesia. Ketika kritik Hasan Djafar dimuat oleh majalah dan web berita yang memiliki afiliasi ke salah satu jaringan grup media terbesar di Indonesia, lalu beredar di medsos, kira-kira, apa komentar netizen?

Saya sudah absen main Facebook selama 5 tahun. Nah, sejauh yang saya ingat, ada 3 akun yang ngomel setelah membaca artikel NGI bernarasumber Hasan Djafar soal luas teritori Majapahit pada 2013. Mereka itu, secara umum, tidak nyaman mendapati Hasan Djafar mendedahkan Majapahit tak berteretorikan dari Sumatra di barat hingga Papua di timur. Mereka bahkan kurang lebih menyebut Hasan Djafar sebagai orang yang melunturkan kebanggaan bangsa.

Tiga akun pengomel serta penggunjing Hasan Djafar yang sempat saya lihat bertahun silam itu boleh jadi termasuk golongan fans berat pemuja Majapahit. Pemahaman dan pembayangan mereka terhadap Majapahit dilandaskan kepada common sense yang akarnya tidak jauh-jauh dari paparan simplistis sekaligus hiperbolis ala buku pelajaran sekolah bagi siswa-siswi sekolah se-Indonesia. Kentara berbias narasi nasionalisme Indonesia, memasukakalkan kepemilikan teritori republik dalam tiga perempat abad terakhir sebagai bukan cuma hasil dari mendepak Belanda sang penguasa sebelumnya.

Manakala fanatisme serta kenyamanan common sense lama diusik ya tidak sangat mengagetkan jika respons baliknya cenderung reaktif. Alhasil pendapat pakar yang memang berpijak kepada telaah terhadap sumber-sumber valid pun lantas dibantah dengan rujukan yang entah asal-usulnya.

Misalnya pendapat kritis Hasan Djafar. Rekam jejak sekitar separuh abad menekuni penelusuran sejarah Jawa ya ibaratnya asal dibantah sebatas bermodal isi buku pelajaran sekolah. Omelan fans pemuja Majapahit terhadap Hasan Djafar adalah contoh fenomena model bersuara dangkal suka-suka.  Waton nyuwara lan cethek (asal bersuara dan banal).

Sebagai catatan, Hasan Djafar adalah penulis buku Masa Akhir Majapahit, suatu bacaan ringkas pemberi pengetahuan sejarah terpercaya perihal periode tahun 1400-an pertengahan hingga 1500-an awal. Isinya menelaah isi prasasti-prasasti yang dikeluarkan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, salah satu atau bisa jadi malah maharaja terakhir Majapahit.

Oh ya, setelah sekian tahu berjalan, apa golongan orang yang mengomeli Hasan Djafar masih ada? Masih dan tetap banyak jumlahnya.

Sebenarnya, mereka adalah orang-orang yang punya antusiasme untuk menggali sejarah masa lalu Jawa maupun Kepulauan Nusantara. Hanya saja, antusiasme tersebut tak jarang dibarengi pencampuradukan narasi sejarah tentang era Majapahit maupun zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa memanfaatkan versi yang memang merujuk isi sumber-sumber dari pihak Majapahit sendiri, atau yang malah merujuk isi sumber-sumber selepas zaman Majapahit.

Yang disebut sumber-sumber pasca-Majapahit adalah khususnya tulisan babad atau serat dari zaman Mataram. Bisa juga malah cerita-cerita rakyat yang tentunya lebih banyak hidup dan beredar dalam wujud lisan.

Padahal, antara sumber-sumber dari pihak Majapahit dan sumber-sumber pasca-Majapahit acap tak sinkron muatan ceritanya. Jangankan dengan sumber-sumber dari pihak Majapahit, sesama sumber pasca-Majapahit sendiri, dalam hal ini khususnya tulisan atau versi yang beredar dari era Mataram, acap tak sinkron satu sama lain.

Kalau tak percaya, silakan buka kitab Pararaton dan Babad Tanah Jawa, lalu bandingkan urutan para raja Majapahit yang dicantumkan 2 kitab tersebut berikut genealoginya. Niscaya akan terlihat perbedaan nyata 2 kitab tadi.

Lalu, tahu nggak ciri paling sederhana pihak yang mencampuradukkan versi narasi sejarah yang merujuk sumber-sumber pihak Majapahit sendiri dengan versi narasi sumber-sumber dan cerita rakyat dari zaman Majapahit? Jawabannya adalah masih menyebut atau meyakini Brawijaya alias Brawijaya V sebagai maharaja terakhir Majapahit. Anda masih salah satu di antaranya?

Overmarginalisasi

Berselang sewindu dari membaca omelan netizen atas pendapat debunking Hasan Djafar perihal luas teritori Majapahit, saya, sekitar 2 tahun terakhir melihat maraknya fenomena unggahan medsos yang senada dengan apa yang dulu disampaikan Hasan Djafar, yakni Majapahit tak berteritorikan seluruh Kepulauan Nusantara.

Saya, terutama mendapatinya di 2 medsos yang paling aktif saya gunakan, yakni Twitter dan Instagram. Namun, saya mendapati juga ujaran demikian hadir menjadi konten di sejumlah kanal YouTube dan TikTok.

Sebagaimana yang pernah dipaparkan Hasan Djafar via wawancara dengan NGI, hadirnya unggahan-unggahan pengkritik overglorifikasi Majapahit—hasil konstruksi kalangan Pergerakan Nasional paro awal abad XX serta Rezim Pemerintah Nasional Indonesia dalam 76 tahun terakhir—sejatinya adalah hal baik. Setelah sekian dekade dibuai narasi simplistis sekaligus hiperbolis mengenai cakupan teritori Majapahit yang sama atau bahkan lebih luas ketimbang Indonesia, pendulum pemahaman jadi diayun menjauh dari titik overglorifikasi.

Hanya saja, saya pun menangkap gejala bahwa kritik terhadap overglorifikasi Majapahit tidak malah mengarah ke area kesetimbangan pemahaman. Namun, malah mengarah ke kutub sebaliknya, yakni overmarginalisasi narasi Majapahit. Kesannya Majapahit sejatinya suatu kerajaan kecil saja di Jawa Timur dan Jawa Tengah, lalu keagungannya yang didengung-dengungkan selama ini tak lebih dari dongeng palsu fabrikasi kaum Nasionalis Pergerakan Kemerdekaan dan dilanjutkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Secara pribadi, saya menangkap indikasi overmarginalisasi tersebut dalam sejumlah kalimat retoris yang muncul dan tereplikasi dalam unggahan-ungahan medsos pengkritik overglorifikasi atas Majapahit. Contohnya ya kalimat semacam “Bagaimana bisa menguasai pulau-pulau lain jika Sunda yang satu daerah saja tidak bisa ditaklukkan?” atau “Mengapa Majapahit yang katanya imperium besar tidak meninggalkan bangunan-bangunan di luar Jawa?”.

Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan demikian menurut saya tak selalu relevan dalam konteks Kepulauan Nusantara pada era sebelum pendirian Koloni Hindia Timur oleh Kerajaan Belanda. Majapahit, nyatanya, terindikasi memiliki kesamaan pola hegemoni seberang lautan yang serupa dengan kuasa-kuasa besar lain Nusantara sebelum maupun setelah dirinya hingga sejauh sebelum masuk abad XIX, mulai dari Sriwijaya hingga Demak serta Gowa.

Hegemoni ke arah seberang lautan yang dihadirkan tidak terutama disokong oleh penciptaan koloni-koloni atau penguasaan pulau-pulau secara keseluruhan. Kuasa besar Nusantara Kuna yang memiliki kekuatan maritim rasanya lebih menyokong hegemoni seberang lautannya dengan kemampuan melakukan ekspedisi punitif ke daerah yang dikontrol. Tindakan itu pun diambil jika perlu saja, semisal ketika vasal atau daerah yang dikontrol tidak meminta izin dalam pengangkatan penguasa baru, atau melakukan persekutuan dengan pihak lawan.

Tentang bahwa Majapahit memang berteritori utama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tapi rupanya memiliki kemampuan punitif ke seberang lautan, ada baiknya dibaca apa yang ternukilkan oleh Buku 324 Sejarah Dinasti Ming, Sulalatus Salatin selaku kronik pihak Melayu, juga Suma Oriental selaku catatan jurnal Tome Pires sang musafir Portugis.

Tiga sumber yang disebutkan tadi beserta kitab Desawarnana/Nagarakretagama dan Pararaton selaku 2 sumber dari pihak Majapahit sendiri adalah serangkaian rujukan yang memuat indikasi bahwa kerajaan ini memang sanggup melakukan ekspedisi punitif seberang lautan. Ke barat sejauh Palembang, ke utara sejauh Tumasik/Singapura, dan ke timur hingga sejauh Dompo alias Sumbawa. Jika ini memang benar, Majapahit tidak semungil dan selemah yang digambarkan unggahan-unggahan pengkritiknya akhir-akhir ini ‘kan?

BACA JUGA Gayatri Rajapatni, Perempuan Visioner di Balik Kejayaan Majapahit dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version