Madiun Membuat Takjub: Kota yang Kini Cocok untuk Pensiun dan Hidup Bahagia

Tapi, mudik dua minggu lalu ke Madiun mengubah cara saya melihat kota kelahiran saya ini. Kota Pendekar berubah drastis sekali. Kota ini menjelma jadi sesuatu yang tidak saya kenali sama sekali, tapi justru itu yang menyenangkan. 

Madiun, Kota yang Cocok untuk Pensiun dan Hidup Bahagia MOJOK.CO

Ilustrasi Madiun, Kota yang Cocok untuk Pensiun dan Hidup Bahagia. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKalau kamu lelah tinggal di ibu kota atau sudah jenuh dengan Bandung, Jogja, atau Malang, cobalah sebulan hidup di Madiun.

Buat saya, dulu, Kota Madiun itu seperti kutukan. Saya lahir dan besar di Madiun. Nyaris tidak ada yang menarik di kota yang dulunya besar sekali secara administratif dalam lingkup karesidenan. 

Dulu kami percaya, setidaknya, di lingkup anak-anak seumuran saya, Madiun adalah kota tempat kami lahir, besar, dan akan membusuk kelak. Sekitar 14 tahun lalu, ketika berumur 17 tahun, saya pergi merantau, untuk studi pada awalnya, dengan mindset seperti itu.

Tapi, mudik dua minggu lalu ke Madiun mengubah cara saya melihat kota kelahiran saya ini. Kota Pendekar berubah drastis sekali. Kota ini menjelma jadi sesuatu yang tidak saya kenali sama sekali, tapi justru itu yang menyenangkan. 

Saya tidak lagi menemukan Madiun yang sepi, gelap, dan tidak menyenangkan. Tidak lagi menemukan sisi yang dulu kerap sekali kami sebut “tempat para orang-orang tua yang kalah dan lelah mengadu nasib di luar kota untuk pensiun dan menanti ajal”.

Baca halaman selanjutnya….

Madiun yang membuat saya takjub

Sampai di stasiun besar Kota Madiun sekitar dini hari, saya menyusuri Jalan Pahlawan, Jalan Cokroaminoto, hingga Jalan Musi dan Jalan Mayjen Sungkono dengan penuh rasa takjub. Kota kecil ini benar-benar bersolek. Ia terang, bersinar, dan bersih! 

Saya nyaris tidak pernah melihat sudut kota yang kotor, kumuh, atau bau. Semua seperti di-setting untuk tampak sempurna; bersih, rapi, dan sistematis.

Dan tumbuh pesatnya Madiun, memang bukan isapan jempol belaka. Sebab angka tidak berbohong, setidaknya dari sektor pertumbuhan ekonomi. Kota akan bertumbuh ketika ekonomi tumbuh subur. Sesederhana logika ketika kamu bisa optimal dalam bekerja, berbisnis, dan memutar uang dengan enak. Semua akan terasa enak di sekitarmu.

Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Madiun pada Maret 2023, pertumbuhan ekonomi di sini menembus angka 5,52% di 2022. Naik hampir 1 persen dari angka 4,79% pada 2021!

Angka ini masuk akal. Pertumbuhan ekonomi begitu terasa ketika kamu baru memasuki area gerbang utama Kota Madiun di sekitaran Jalan Pahlawan. Dengan gimmick pembangunan yang bermuara ke peningkatan perekonomian, Jalan Pahlawan disulap bak Malioboro dengan sentuhan lokal yang… benar-benar lokal. 

Madiun memboyong Patung Merlion ala Singapura hingga Mekkah ke pusat kawasan yang kini disebut Pahlawan Street Center (PSC). Di sekitar situ, Pemkot juga membangun Pahlawan Business Center hingga Pahlawan Religi Center untuk menggabungkan wisata, bisnis, hingga sisi agamis.

Rumah yang kini cantik

Dari sektor kuliner, Pemkot juga mengorbitkan Jalan Bogowonto, di kawasan Proliman, untuk menjadi sentra kuliner. Ada gimmick lokomotif kereta diletakkan di sana, seakan mengingatkan turis yang datang bahwa di kota ini tak hanya soal brem dan pecel. Kota ini juga salah satu pusat produksi gerbong kereta PT INKA. Asal tahu saja, zaman saya remaja, Bogowonto mentok hanya berisi deretan toko kaset usang hingga elektronik murah. Namun kini, ia bersolek. Cantik sekali, juga pas!

Di sisi pembenahan kota, satu yang saya suka sekali adalah bertambahnya lampu-lampu kota. Kawasan Taman Bantaran yang dulu gelap dan selalu dipakai muda-mudi untuk mesum, kini sudah terang, bersih, dan rapi. 

Deretan jalan-jalan protokol di pusat kota juga penuh dengan kerlap-kerlip lampu seakan bikin orang yakin sepenuhnya bahwa Madiun adalah city of lights. Saking terangnya, saya sampai sedikit berkelakar ke istri. “Begal kayaknya minder deh mau beraksi di sini, nggak ada titik yang gelap dan rawan kejahatan soalnya.”

Terangnya kota ini bikin saya benar-benar bisa menikmati Madiun seutuhnya. Karena kalau datang dari Jakarta atau Bandung dan menaiki kereta api, besar kemungkinan kamu akan tiba di kota ini pada dini hari atau waktu subuh. Dengan Madiun yang kini terang bersinar dan nyaris semua sudutnya tampak semarak dan bersih, sebagai pendatang atau pemudik yang pulang kampung, kamu akan benar-benar merasa nyaman dan disambut. Bisa bayangin, kan, perasaan nyamannya pulang ke rumah dan mendapati rumah kamu bersih, rapi, dan terang?

Revitalisasi yang saya rasakan

Pertumbuhan ini juga merambah ke sektor pelayanan kesehatan. Cuma, saya nggak tahu pasti sistem di dalamnya. Cuma dari apa yang tampak dari luar, saya cukup bisa menyimpulkan ada revitalisasi di sana. 

Contohnya Rumah Sakit Santa Clara, tempat saya dilahirkan. Ada di Jalan Biliton, hanya 200 meter dari pintu masuk stasiun, rumah sakit swasta ini sekarang bersolek rapi sekali. Catnya putih-biru dan tampak anggun dari depan. Tidak ada kesan usang atau horor khas rumah sakit pada umumnya. Saya agak-agak curiga, apa jangan-jangan semua elemen kota ini sudah satu visi bahwa semua entitas di Madiun harus dipercantik agar tampak cantik dan rapi?

Dan tahu apa yang paling menarik dari semua ini? TIDAK ADA MACET DI MADIUN! Hahaha

Saya menyadari satu hal ketika mengobrol dengan salah satu tukang parkir di kawasan PSC. Lewat tukang parkir itu, saya jadi tahu kalau angkutan kota kini sudah tak diminati dan nyaris punah. Masuk akal, karena tiga hari di sana, saya nggak nemu satu saja angkot. 

Usut punya usut, ternyata pengajuan trayek angkot sudah menyusut mendekati angka nol. Orang beralih sepenuhnya ke Gojek, atau Grab, dan sejenisnya. Ini pilihan yang rasional karena lingkup kota yang sempit. Dari satu titik ke titik yang lain relatif dekat, maka kamu nggak akan membutuhkan banyak uang untuk ongkos. 

Meski beralih sepenuhnya ke ojol, toh, Madiun nggak pernah macet sama sekali. Saya nggak punya datanya, tapi jumlah kendaraan di kota ini rasa-rasanya nggak overload kayak di Bogor, misalnya. Iya, Bogor, yang kini pelan-pelan kok malah pengin menyaingi Jakarta dan Depok soal urusan macet.

Dan paripurna sudah kini Madiun sebagai kota untuk tinggal dan menetap

Kotanya makin bersih, rapi, dan ekonominya tumbuh pesat. Dan satu lagi, ada McD dan Starbucks di Madiun, suatu hal yang sejak saya kecil sampai beranjak dewasa dan pergi merantau, hanya mentok jadi impian belaka. 

Sekarang kalau kamu ke Madiun dan pengen WFA ala-ala karyawan start up, kamu bisa pesan segelas caramel latte dan kerja di Starbucks dengan nyaman. Atau kamu bosan makan soto, rawon, hingga nasi pecel di mana saja. Setelah itu, tinggal gas motormu dan merapat ke McD untuk merasakan sensasi nugas atau kerja kelompok sambil makan McFlurry dan kentang goreng McD.

Tiga hari di Madiun benar-benar bikin saya luar biasa takjub karena ia menunjukkan transformasi from beast to beauty. Semuanya terasa sangat berkembang, namun tempo hidup masyarakat di dalamnya tetap santai dan tak tergesa. Ia kota terbesar dan paling maju dibanding kawasan sekitarnya, tapi arus kehidupan di Madiun, masih terasa lambat dan santai. 

Tak ada macet, tak ada klakson kendaraan. Kalau kamu lelah di ibu kota atau sudah jenuh dengan Jogja atau Malang, cobalah sebulan hidup di Madiun. 

Kota ini kecil, juga panas. Tapi entah kenapa, kini ia terasa nyaman sekali. 

Saya tidak pernah sebahagia ini pulang kampung dan semoga perlahan, kelak sepak bola di kota ini akan bangun dari tidur panjang. Dengan tambahan gegap gempita di sektor olahraga, rasa-rasanya kok Madiun akan bisa tumbuh lagi ke titik yang jauh lebih tinggi lagi, ya?

Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 4 Ciri Warung Nasi Pecel di Madiun yang Murah dan Enak dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version