Memahami Logika Rocky Gerung tentang Kitab Suci dan Fiksi

MOJOK.CO Logika Rocky Gerung mengenai kata ‘kitab suci’ dan ‘fiksi’ melabrak definisi yang telah dipahami dan digunakan masyarakat. Sebelum marah-marah, mari kita telaah dulu logika berpikirnya.

Saya bertanya pada Karen Baertsch—seorang profesor Linguistik di Southern Illinois University—tentang orang-orang yang suka mengartikan kata-kata menurut definisinya sendiri. Kebetulan kelas kami baru selesai membahas Semantic Change untuk kelas kuliah Historical Linguistics. Blio tertawa kecil sebelum menjawab.

“Memang akan selalu ada orang-orang seperti itu. Tetapi biasanya tidak akan berhasil.”

Barangkali hal ini pula yang terjadi pada Profesor Rocky Gerung. Definisi yang dibuatnya sendiri gagal meyakinkan publik, terutama dari pendukung fanatik Jokowi. Apalagi jauh sebelum ini Napoleon Bonaparte memang pernah bilang.

“Tidak ada ruang di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki akal sehat.”

Klop lah sudah. Padahal Rocky Gerung selalu mengajak—kalau bukan meledek—untuk menggunakan akal sehat. Yah, mengajak mereka yang disebutnya “dungu”. Sebuah kosa kata paten bukan kaleng-kaleng yang selalu diulang-ulang.

Kata-kata yang diulang-ulang—entrenchment, demikian Pakar Linguistik Ad Backus menyebutnya—akan menjadi kata yang diterima masyarakat. Rocky berhasil. Para pendukungnya yang juga sebagian besar adalah pendukung Prabowo juga selalu meledek kaum cebong dengan dungu atau tidak berakal sehat. Seolah-olah mereka ini juga sudah selevel Rocky Gerung.

Padahal banyak di antara mereka ini dulunya anti-filsafat. Jangankan diajak berdebat. Mendengar kata ‘filsafat’ saja mereka sudah bilang haram dan menyesatkan.

Ketika masih mahasiswa es satu, saya mengenal akhi-akhi yang rutin ikut pengajian yang melarang untuk ikut provokasi senior belajar filsafat. Alasannya sederhana: mereka bisa menyesatkan alih-alih semakin mendekatkan diri pada Tuhan.

Memang sih, biasanya yang baru belajar filsafat dan baru dikaderisasi tiga malam oleh seniornya akan selalu mengajak berdebat. Mereka akan menguji nalar, argumen dan logikanya dengan memainkan kata-kata. Jangan heran jika ada kader-kader yang baru belajar tiba-tiba dengan penuh percaya diri datang menantangmu.

Mereka akan memulai dengan, “Kau percaya Tuhan?” Jika dijawab iya dan sudah pasti begitu, mereka sudah bersedia dengan pertanyaan lanjutan, “Apa buktinya Tuhan itu ada? Mengapa kamu menyembah yang tidak kamu lihat?”

Tentu tak sedikit yang terpengaruh dengan permainan retorika. Bagi mereka yang imannya lemah gemulai akan mudah terjebak dan kemudian membebek dengan senior. Sialnya para senior ini tak akan pernah mau mengalah ketika argumennya ditemukan celahnya. Mereka akan bermain dengan kata-kata yang berputar-putar.

Dan demi meyakinkan, mereka akan menggunakan kata-kata sophisticated yang asing dan terdengar intelek. Mana mau mereka kehilangan muka di hadapan junior-juniornya apalagi kalau mahasiswi yang bening-bening. Saya pernah mengikuti salah satu pengkaderan sebuah organisasi. Namun baru malam pertama saya sudah pulang. Lah pemateri yang juga senior saya itu memaksa saya menerima argumennya dan tidak mau mengakui kesalahannya. Ngapain saya harus ikut senior yang selalu merasa paling benar saja?

Mereka biasanya mengandalkan logika yang masih belum kokoh dengan narasi yang ngawur. Lebih sering berputar-putar. Tetapi selalu ingin merasa tampil intelek dan meyakinkan.

Filsafat setidaknya mengandalkan logika dengan bahasa sebagai senjatanya. Kemampuan memainkan bahasa menentukan seberapa kokoh argumentasi. Bahasa menjadi kunci instrumen menyampaikan logika. Di wilayah bahasa pula Rocky Gerung bermain dan menari-nari.

Salah satu sifat bahasa adalah arbitrer, sewenang-wenang. Setidaknya demikian salah satu pendapat Wardaugh, seorang pakar Linguistik. Rocky mencoba memainkan karakteristik ini dengan bermain di wilayah semantik. Ia memberi tafsir lain dari yang dipahami secara umum masyarakat pada kata ‘kitab suci’ dan ‘fiksi’.

Bahasa setidaknya memiliki tiga perspektif. Pertama sebagai sistem simbol. Kedua sebagai sesuatu yang kita tahu. Dan ketiga sebagai sesuatu yang kita gunakan.

‘Kitab suci’ dan ‘fiksi’ adalah kata-kata dalam sistem bahasa Indonesia kita yang kita tahu dan kita gunakan. Pengetahuan masyarakat kita tentang ‘kitab suci’ merujuk ke Al-Quran, Al-kitab, Weda, Tripitika, dan kitab suci penganut Konghucu. Sementara fiksi kita pahami sebagai cerita rekaan atau tidak benar.

Dengan tiga unsur linguistik, Rocky meramu konsepnya. Secara sintaktik ia merangkai ‘kitab suci itu fiksi’ dengan menempatkan kitab suci di depan dan fiksi terakhir dan diantarai penghubung itu. Rocky memunculkan konsepnya dengan mengucapkannya (phonology) sehingga muncul dan sampai ke pikiran kita.

Secara semantik, Rocky kemudian mengartikan menurut definisinya. Kita ditantang dan digiring untuk mengikuti alur berpikir dan definisi ciptaannya. Lalu tak semua masyarakat mampu menelaahnya sebab ia melabrak definisi yang telah dipahami dan digunakan masyarakat. Yang dianggap tidak mampu memahami jalan pikirannya inilah yang disebutnya dungu.

Rocky sangat lihai memainkan kata-kata, memainkan bahasa. Ia bahkan berhasil mempopulerkan kata ‘dungu’. Sayangnya, Rocky gagal menunjukkan kelas filsafat sebagai sebuah jalan yang mencerahkan. Setahu saya yang fakir ilmu filsafat ini tetapi cukup tahu bahwa, filsafat seharusnya menjadi jalan kebajikan. Jalan-jalan bijak yang disampaikan dengan bahasa yang tidak hanya berhenti dan berputar-putar di kepala tetapi menyentuh pada hati.

Rocky Gerung tidak keliru apalagi dungu memainkan kata-kata. Menjadikan bahasa untuk menantang kita berpikir. Barangkali Rocky hanya menjebak dirinya dengan bahasa filsafat yang berlainan dengan masyarakat awam. Bahasa yang mungkin hanya dapat dipahami dalam ruang lingkup filsafat.

Tentu tak salah jika ia ingin mengubah definisi kata-kata tertentu dalam masyarakat. Tetapi sayangnya, perubahan makna yang berbeda dari pemahaman masyarakat dilakukan terlalu terburu-buru dan cenderung dipaksakan. Apalagi ruang untuk menjelaskan jauh dari kata cukup seperti di ILC. Tak cukup waktu menjelaskan dan memahamkan argumennya. Perubahan makna (semantic change) tidak bisa tiba-tiba dilakukan hanya semalam dan jreng jreng jreng… masyarakat dapat mengubah persepsi yang selama ini tertanam di kepala mereka.

Walau begitu, Rocky Gerung tak patut dipenjara hanya karena kata-katanya itu. Jelas Rocky telah membaca beratus buku dan melatih logika berpikirnya. Suatu hal yang mungkin belum kita miliki. Bahkan mungkin masih sangat jauh untuk kita miliki. Jadi jika memang kita tidak setuju, maka sebaiknya argumennya dibalas dengan argumen juga.

Saya malah senang Rocky Gerung membawa filsafat ke ruang terbuka. Setidaknya orang-orang tak lagi meremehkan kekuatan kata-kata. Kekuatan bahasa.

Rasa-rasanya tidak ada satu pun aktivitas kita yang lepas dari bahasa. Bahasa adalah alat seperti pisau yang penggunaannya tak lepas dari maksud penggunanya. Penggunanya menggunakan bahasa untuk keperluan komunikasi, dan keperluan komunikasi tak lepas dari dorongan kepentingan. Kepentingannya tak lepas kepada siapa dia berpihak.

No Rocky, No Party.

Exit mobile version