Di zaman social-media, orang gampang latah. Ada isu A, semua bahas A, ada isu B, semua mbahas B. Lha ini aji mumpung buat eksis. Saya juga mau dong eksis. Akan tetapi aku ndak akan ikut debat soal boleh-tidaknya langgam bacaan itu, karena itu urusan ulama. Mumpung ramai, bolehlah aku membajak keramaian ini untuk menulis artikel dengan topik lain yang terkait.
Pada mulanya adalah Firman. Katanya begitu menurut salah satu kitab suci. Dan tentu kalian tahu, kalau menurut kisah, firman pada awalnya adalah suara, bukan tulisan. Jibril mendekap Nabi, dan berkata “bacalah.” Jadi Nabi mendengar suara lebih dulu, Jibril kemudian mengajarkan membaca, sebab mengajar membaca ke pihak lain kudu pakai suara. Tulisan dan tata-aturannya berfungsi, salah satunya, sebagai pengikat suara, agar suara ilahiah ini tidak lenyap. Dalam pewahyuan, serat (tulisan/teks) itu penting bukan hanya karena menyimpan ajaran, tetapi juga untuk mengawetkan suara.
Namun kita juga tahu ada banyak suara yang sudah tak pernah kedengaran lagi. Contoh, bagi sebagian orang Yogyakarta generasi belakangan, mereka tidak pernah mendengar suara khas keramaian cericit burung dan suara orang bertransaksi jual-beli burung di pasar burung Ngasem yang sudah beralih fungsi. Atau bayangkan engkau berada di gang padat atau tinggal di apartemen kota besar, tanpa ada gerumbul tanaman atau pohon rindang. Suara tonggeret atau garengpung, yang menjadi penanda bergantinya musim, sudah punah di sana. Atau, dalam urutan silsilah keluargamu, engkau sangat mungkin tak pernah mendengar suara mbah buyut-mu apalagi mbah udeg-udeg, mbah gantung siwur-mu.
Sekarang, jika ingin menerangkan amanat dari mbah buyut, apakah langgam-suara kita harus sama persis dengan yang diucapkan mbah buyut? Atau, dalam konteks agama, saat mengaji, apakah suara langgam kita harus sama persis dengan langgam ala Jibril atau Nabi Muhammad?
Kalau bersikeras harus persis, harus sesuai yang diajarkan Nabi secara tepat dan literal, maka kita harus mendengar langsung bagaimana Jibril atau Nabi Muhammad membaca ayat dengan langgam suara mereka sendiri. Namun di zaman sekarang, siapa pernah mendengar langgam-suara Nabi yang hidup lebih dari 1400 tahun lalu?
Jadi kita bisa memahami sekarang mengapa soal langgam-suara bisa menjadi perdebatan, karena sumber langgam-suara aslinya tidak pernah kita dengar dan setiap orang punya rujukan berbeda, sehingga melahirkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda terhadap teks dan tata-aturan yang mengawetkan suara tersebut.
Terlepas dari debat itu, pada sisi yang lain, jika suara bisa punah, mengapa memperhatikan persoalan suara bisa menjadi penting? Salah satu sebabnya adalah karena diam tak selalu emas. Misalkan begini. Kalian kumpul-kumpul ngobrol soal pacar. Tiba-tiba tercium bau yang lebih seram daripada gas amoniak. Apa yang terjadi? Saling tuduh tentang siapa yang kentut. Boleh jadi timbul fitnah dan perpecahan.
“Loh ini jelas bau khas kentut si A.”
“Woh bukan aku, ini bau telur busuk, pasti si B yang hobi nguntal ndhog asin.” Dan seterusnya.
Tetapi memperhatikan suara juga penting karena alasan lain: bersuara ada bahayanya. Jika engkau kentut keras-keras, apalagi dengan bau yang ngungkuli jumbleng, saat ada jamuan makan yang khidmat dan elegan bersama Pak Komandan Koramil atau Pangdam, engkau berisiko digajul atau dikeplak Pak Kopral anak buah pak komandan itu.
Bersuara atau tidak bersuara sering berkaitan dengan, salah satunya, soal empan papan. Maksudnya begini. Zaman ini kita mungkin terlalu sibuk dan buru-buru untuk bersuara sehingga enggan mendengar suara orang lain. Misalnya, dalam debat langgam itu, barangkali kita hanya tahu atau pernah mendengar satu atau dua model membaca ngaji ala Mekah/Medinah. Saat mendengar ada gaya lain, semisal langgam Jawa, Cirebonan, atau gaya Yaman, Sudan, yang langgamnya berbeda banget, dan sebenarnya sudah ada sejak lama, kita jadi ribut dan dengan sigap nan gesit menuduhnya sebagai model baru yang salah kaprah dan sesat, tanpa berpikir lebih mendalam atau tak mau mendengar argumen lain yang sangat mungkin sama-sama sahih dan kuatnya.
Pada akhirnya kita berebut mengeraskan suara; mulut kita mendadak menjadi semacam TOA masjid, yang menyetel rekaman kaset sekencang-kencangnya. Ya betul, hanya rekaman, karena kita asal ikut saja bersuara. Maka, meminjam istilah sahabat saya yang ahli musik, Mbah Embie C. Noer, suara menjadi sekadar bunyi yang berisik; ia hanya kumpulan bunyi tanpa aturan, semrawut.
Karena suara yang hanya asal njeplak tanpa landasan ilmu yang memadai semakin banyak, maka kita agak kesulitan mendengar suara dengan langgam “gendhing” yang bening dan menentramkan. Suara alim-ulama yang sejuk dan berwawasan luas dan mendalam nyaris lenyap ditelan suara-suara orang yang sibuk berdebat satu sama lain, berusaha mengalahkan dan menyesat-nyesatkan pihak yang tak sepaham; dan lebih buruk lagi, kita makin sering mendengar suara orang yang katanya pandai agama tetapi menjual ayat-ayat suci plus semangat kebencian dan dusta, demi kekuasaan, ketenaran dan materi.
Sebegitu dangkal dan berisiknya suara, sehingga entah sadar atau tidak, orang ramai-ramai berteriak keras-keras menyuarakan kebesaran Tuhan sambil membela dan membesar-besarkan egonya sendiri.
Ada baiknya kita belajar atau mengajarkan bersuara yang empan-papan sejak dini, karena suara yang kita pandang sepele, dampaknya besar sekali. Suara yang tak empan-papan akan membuat kita malu, atau celaka. Bayangkan jika engkau mendesah “ahh .. ahh.. oohh..oohh, oh, aah, yess, oh noo, oh my God” dengan ekspresi merem-melek di dalam busway Transjakarta yang penumpangnya agak banyak; apa yang terjadi? Tentunya suara desahan model begitu sebaiknya dilakukan di tempat privat, semisal di kamar bagi pasutri atau, bagi jomblo, di kamar mandi dengan kran air dibuka.
Kadang aku berpikir, mungkin kita perlu belajar gendhing yang baik, seperti diisyaratkan Sultan Agung Hanyokrokusumo dalam serat “Sastra-Gendhing” itu. Gendhing seperti dalam gendhing gamelan adalah suara yang tak sekadar bunyi: ia adalah suara yang beraturan, ada irama, dan membawa kesan keindahan, memuat pesan yang tak hanya menjangkau akal, tetapi juga perasaan, jiwa, atau hati. Namun, dalam hal ini, gendhing yang aku maksud adalah dalam arti luas, bukan hanya suara gamelan, tetapi juga bagaimana kita mengeluarkan suara-suara kebenaran dan keindahan, juga cinta.
Mbah Pramoedya pernah mengatakan, dan aku kira dia benar, bahwa “gamelan tak pernah berteriak.” Gendhing-gendhing gamelan adalah semacam langgam, suara berirama yang mengalir, ramai tetapi tidak berisik, dan ketika waktunya berteriak, seperti ketika adegan debat antar satria dan peperangan, gendhing tidak bengak-bengok atau membentak ganas, namun dengan “sigrak” –seperti dalam istilah “sigrak kendhangane,” keras tetapi berirama dan dalam tata-aturan dan volume yang tak menyakiti telinga, seperti ketika Mbah Pram sendiri pernah berteriak dengan langgam dan gendhing dalam bentuk buku-buku berpengaruh.
Kira-kira begitu.
NB: Aku mengetik artikel ini dengan langgam Jawa, diringi Gendhing Adiraga kethuk 2 kerep minggah 4 kalajengaken ladrang Kawuri terus ketawang Sri Nata, laras sléndro pathet manyura dan Gendhing Ketawang Asmaradana Mangunsih, laras sléndro pathet manyura, dan diakhiri dengan Gendhing Gandrung kethuk 2 kerep minggah 4, laras sléndro pathet sanga.