MOJOK.CO – Apakah Jogja sudah sedingin batang pisang yang dingin dan kaku? Padahal, inilah bentuk sejati, paling paripurna dari mencintai: kritik!
Di depan teras, saya menatap langit malam yang mulai bertabur bintang. Sepertinya musim kemarau sungguh datang. Udara mulai dingin, bediding kalau kata mendiang eyang saya. Sembari mengisap rokok, saya melempar pikiran dan muhasabah diri. Sembari mengingat dua tahun terakhir saya terus melempar kritik ke Jogja. Apakah seluruh kritik saya membuahkan hasil?
Isapan terakhir menutup muhasabah diri dadakan ini. Sampai saya berani menarik kesimpulan bahwa Jogja adalah medan laga yang tidak akan bisa dimenangkan. Setajam dan sekeras apapun kritik yang dilempar. Seperti guratan takdir, kritik pada provinsi ini akan berakhir tragis. Siapa saja yang melempar kritik, mereka hanya menerima patah hati. Entah Anda seorang pakar, budayawan, apalagi orang biasa.
Mengapa tiba-tiba saya menjadi pesimis? Apakah Jogja sudah sebebal itu pada kritik? Atau sudah tidak perlu dikritik? Mungkin daerah ini memang tidak benar-benar bermasalah? Dan hanya saya dan segelintir orang yang kelewat sepaneng menghakiminya?
Apalah arti kritik bagi kedigdayaan Jogja
Tentu provinsi ini tidak pernah bebas dari kritik. Tapi, jargon “Jogja Ora Didol” bisa dianggap sebagai batu penjurunya. Kritik terhadap pembangunan hotel yang masif menjadi hal baru bagi masyarakat. Setelah banyak elemen bersatu mendukung keistimewaan, muncul suara sumbang. Seruan pembangkangan ini tentu menimbulkan polemik. Sebagian mendukung, dan tentu saja sebagian menolak.
Kemudian gelombang kritik makin santer menerjang. Dari perkara izin tambang pasir, sampai pembangunan Bandara YIA. Konflik Sultan Ground mulai muncul meramaikan suasana. Isu makin meluas, dan perkara UMR ikut menjadi narasi utama. Isu rasial menyumbang pertumpahan darah. Belum lagi kemunculan klitih yang menambah kritik terhadap situasi sosial dan keamanan daerah istimewa ini. Dan semua dibungkus bau busuk isu penanganan sampah yang sempat viral.
Namun apa yang terjadi? Betul, tidak ada! Jargon “Jogja Ora Didol” menjadi “Jogja Sold Out”. Warga Temon sukses tergusur oleh bandara internasional. Tambang pasir masih berjalan, berbarengan dengan konflik Sultan Ground. UMR masih menyedihkan dan terus jadi lelucon satu negara. Isu ras. Perkara klitih? Buktinya masih saja ada usulan untuk pakai outfit baju zirah kalau keluar malam.
Apalah arti kritik yang sudah hampir satu dekade mulai digaungkan itu? Memang, kritik makin lantang dan sumbang terdengar. Meskipun hanya didengarkan oleh dinding benteng Baluwarti yang dingin tanpa pernah bisa menggores romantisnya Jogja yang sekeras kayu adam.
Pandemi saja tidak mampu menegur
Tapi Jogja tidak selalu baik-baik saja. Covid-19 menghantam telak daerah istimewa ini. Pandemi seluruh dunia menjadi teror baru yang tidak pandang bulu. Mau keluarga keraton atau supir becak bisa jadi korban. Bahkan Jogja sempat bertengger sebagai “daerah hitam” pandemi dengan angka positif yang mengerikan.
Jogja jelas “dirudapaksa” oleh pandemi. Dalam sekejap, provinsi ini menjadi sunyi sepi. Pariwisata lumpuh dan para mahasiswa memilih pulang kampung sebelum diblokade. Banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup paling dasar seperti makan sehari-hari. Puncaknya adalah tragedi “Sardjito Kelabu” di mana puluhan orang meregang nyawa dalam semalam karena kehabisan oksigen.
Kritik kembali dilayangkan terhadap sikap dan keputusan pemerintah. Terutama perkara pengalokasian Dana Keistimewaan (Danais) sebagai dana penanganan pandemi. Baik untuk pengadaan area karantina, bantuan pangan, sampai bantuan untuk UMKM. Dan sekali lagi, kritik dibalas tindakan yang entah. Bantuan pangan dilakukan warga secara swadaya, bantuan UMKM jadi pinjaman, dan usulan dana penanganan pandemi dari jimpitan.
Kok bisa? Ini daerah istimewa! Ketika ada dana dingin bernilai Rp1 triliun lebih, solidaritas masyarakat malah jadi sumber keselamatan banyak orang. Tapi inilah kasunyatan yang membuat ati kemropok.
Baca halaman selanjutnya….
Jogja Istimewa tanpa political will
Banyak yang penasaran terhadap situasi Jogja yang bebal pada kritik. Beberapa menilai warga Jgja sendiri yang tengsin pada kritik dan opini negatif. Kritik dipandang tabu dan saru. Nggak salah sih, kalau teringat jargon “KTP ndi buoss?” Tapi sikap ala sensus penduduk ini hanyalah riak. Menurut saya, kritik kepada Jogja seakan-akan diterima oleh gedebog pisang. Kaku. Dingin. Diam.
Saya sering membandingkan Jogja dengan beberapa kota besar. Beberapa kota besar kini menggalakkan sistem aduan terpadu. Bahkan dengan sistem ticketing, sehingga aduan Anda terpantau prosesnya. Beberapa daerah menjadikan kritik sebagai alat kampanye. Baik oleh petahana maupun oposisi. Keluhan warga segera dijawab oleh pemerintah, atau jadi gorengan politik lawan.
Bagaimana dengan Jogja? Tidak ada keseruan macam itu. Yang ada adalah daerah istimewa ini terus melangkah seperti kuda penarik delman. Maju terus karena matanya tertutup. Bahkan ketika sebuah masalah dan kritik jadi viral, jawaban yang diberikan juga sekenanya. Contohnya saat kasus Covid-19 meledak dan RS Sardjito kekurangan oksigen.
Jogja adalah daerah tanpa political will. Tidak ada hasrat untuk memenangkan hati rakyat. Saya tidak bicara tentang penetapan gubernur saja, tapi juga sampai tingkat kota dan kabupaten. Di sini adalah daerah paling sepi pemilu. Tidak ada aksi politis para tokoh untuk menggaet hati rakyat. Seolah para tokoh ini sama seperti warganya, selalu narimo ing pandum. Kalau dipilih ya syukur, kalau kalah tetap bathi paseduluran.
Bayangkan Anda terus memberi kritik dan saran pada teman yang terbaring di dalam makam. Kira-kira seperti itu rasanya melempar kritik pada penguasa tanpa political will.
Masyarakat nyaman dalam kekacauan
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kritik sering dipandang sebagai hal tabu. Seolah orang yang berani melempar kritik dipandang seperti sedang lari telanjang di Malioboro. Mereka dianggap tidak senonoh, memalukan, dan mengganggu kenyamanan. Misal tindakan Mas Dodok yang dulu mandi pasir, selalu dipandang sebagai aksi seniman gila. Demo ditolak oleh “masyarakat” (dan lucunya, dengan demo juga). Mau komentar negatif harus setor KTP dulu.
Tapi, di setiap sudut terdengar keluh kesah. Entah gaji yang tak pernah cukup. Atau kemacetan akibat salah urus transportasi dan pariwisata. Ketakutan dan kemuakan pada klitih sering jadi bahasan warga. Tapi semua berhenti sebagai sambat semata. Ketika ada yang bersuara dan viral, jiwa ke-Jogja-an mereka kembali.
Saya tidak akan memukul rata seluruh kawula Jogja. Namun tidak bisa dimungkiri bahwa masyarakat sudah terlanjur nyaman. Entah nyaman beneran atau terpaksa. Mereka cenderung takut untuk membuka mata pada realita. Mending merem sehingga gambaran “Jogja Berhati Nyaman” bisa mereka rasakan dalam benak semata. Masuk dalam zona aman di dalam pikiran.
Satu-satunya obat bagi sakit ini hanya kambing hitam. Entah kepada siapa. Pendatang? Suku tertentu? Pemerintah pusat? Pokoknya jangan sampai zona aman, daerah yang istimewa, terluka. Karena jika terluka atau hancur, ke mana lagi orang-orang ini akan merasa aman?
Takdir kalah bagi yang mencintai Jogja
Dengan kombinasi situasi yang menyebalkan ini, apakah kritik pada Jogja akan membuahkan hasil? Ingin saya bilang, “Ikuti saja prosesnya.” Tapi, di dalam lubuk hati saya mulai muncul keraguan. Ketika bicara heart-to-heart dengan kawan-kawan yang vokal, mereka juga sama-sama ragu. Mereka ragu bahwa daerah istimewa ini akan berbenah seperti apa yang jadi kritikan selama ini.
Menurut saya, keraguan ini menyedihkan. Lebih menyedihkan daripada ditinggal menikah. Tinggal menikah mungkin akan membuat Anda sedih sampai gila selama beberapa tahun. Tapi, keraguan dan perasaan kalah pada Jogja ini tidak selesai di satu generasi. Mungkin anak dan cucu kita akan melempar kritik yang sama seperti kita hari ini. Terus seperti itu sampai malaikat check-sound sangkakala.
Perang yang tidak akan dimenangkan. Mungkin itu gambaran saat ini. Seperti judul buku karya Bima S. P. Mungkin kemenangan terlalu ideal bagi Jogja. Daerah yang istimewa, bebal, dan hampir tiarap.
Namun, kenapa suara kritik tidak juga bungkam? Kenapa banyak yang masih sudi mengkritik kota yang bebal ini? Mungkin ini obat dari sakit hati. Painkiller bagi hidup yang terdesak, terhantam, dan dibabat klitih. Mungkin kritik adalah hal terakhir untuk tetap waras di tengah daerah yang serba nggak masuk akal ini.
Atau, mungkin ada alasan lebih sederhana….
Karena cinta yang kelewat dalam.
Cinta yang ingin saling memperbaiki diri.
Cinta yang mengajak untuk maju dan berbenah, tapi bertepuk sebelah tangan.
Sebuah hasrat tulus yang ditakdirkan untuk patah hati. Namun enggan berhenti meskipun kalah. Karena cinta memang tak akan menyerah, bukan?
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jogja Sudah Tidak Pantas Menyandang Status Kota Pelajar dan curahan hati lainnya di rubrik ESAI.