MOJOK.CO – Dari proses pembahasan RKUHP ini kita belajar, bahwa masyarakat punya dasar untuk bersuara mengkritik. Jangan malah dilabeli bodoh, lalu “dibungkam”.
Rabu, 6 Juli 2022, Pemerintah dan DPR kembali menyelenggarakan rapat terbuka terkait pembahasan RKUHP. Kali ini, pemerintah ditugaskan untuk melaporkan hasil sosialisasi RKUHP yang dilakukan setelah rapat terbuka terakhir, yaitu 25 Mei 2022.
Berbeda dari rapat pada 25 Mei 2022 lalu di mana pemerintah memaparkan 14 isu krusial RKUHP versi mereka, kali ini pemerintah memaparkan perubahan-perubahan RKUHP yang hanya tidak terbatas pada 14 isu bermasalah tersebut, tapi yang dilakukan perubahan oleh pemerintah antara lain: mengubah ancaman pidana, menambah tindak pidana baru (tindak pidana penadahan, penerbitan, percetakan, melakukan harmonisasi dengan UU lainnya), sinkronisasi batang tubuh dan penjelasan, menyesuaikan teknik penyusunan dan perbaikan penulisan secara formil untuk menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam 14 isu krusial tersebut, terdapat perbaikan dalam norma yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya pada isu mengenai kriminalisasi aborsi.
Sebelumnya, masyarakat sipil pada 2019 lalu menyatakan terdapat permasalahan mengenai rumusan Pasal 469 hingga Pasal 471 RKUHP versi 2019 karena kriminalisasi aborsi tidak dikecualikan untuk aborsi atas dasar indikasi medis dan untuk korban perkosaan. Perlu dicatat, rumusan Pasal 471 ayat (3) hanya memberikan pengecualian untuk dokter, tidak pada perempuan yang melakukan, dan tidak pada tenaga kesehatan lainnya. Padahal, aborsi bisa juga dilakukan hanya dengan obat dengan melibatkan tenaga kesehatan.
Waktu itu, kritik masyarakat ini justru dibulan-bulani, dianggap tidak paham alias bodoh karena UU Kesehatan tetap berlaku, pengecualian merujuk pada aturan tersebut. Padahal, masukkan kami lebih dari sekadar merujuk pada UU Kesehatan, tapi kebaruan dalam RKUHP yang harusnya mendorong reformasi hukum termasuk mengatur hak korban perkosaan untuk mendapatkan aborsi lebih baik (ketentuan sekarang batasan usia kehamilan hanya 8 minggu, terlalu pendek untuk membangun sistem). Waktu itu pemerintah berdalih rumusan Pasal 469 hingga Pasal 471 RKUHP sudah baik dan siap disahkan.
Namun, apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang kemudian pada 20 September 2019 menarik draf RKUHP untuk disahkan pada rapat paripurna. Waktu itu, Pak Jokowi menyampaikan bahwa RKUHP memerlukan pendalaman materi terkait substansinya.
Nah, benar saja kan, dalam 14 isu krusial yang kemudian pemerintah paparkan pada 25 Mei 2022 lalu ternyata pemerintah merespons perbaikan Pasal 469 sampai Pasal 471 RKUHP tersebut yang kemudian berubah angka menjadi Pasal 467-469 RKUHP Mei 2022.
Pemerintah, dalam Pasal 467 ayat (2) merumuskan pengecualian aborsi kehamilan akibat kedaruratan medis atau juga kehamilan akibat perkosaan hingga kehamilan usia 12 minggu (meningkat 4 minggu dari ketentuan yang berlaku saat ini). Hal ini adalah bukti bahwa masukan yang masyarakat sempat gaungkan itu substansial dan konstruktif yang perlu direspons, bukan ditutup oleh pemerintah.
Lebih lanjut kemudian, setelah 25 Mei 2022, dengan melihat perkembangan hukum yang progresif di mana UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan, masyarakat kemudian memberikan masukkan.
Masukan masyarakat adalah bahwa pengecualian aborsi harusnya tidak hanya diberikan kepada korban perkosaan saja, tapi pada seluruh korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan. Waktu itu, masukkan dari masyarakat sempat dipertanyakan karena “bentuk kekerasan seksual lain yang ada kehamilan, juga menyertakan perkosaan harusnya”.
Hal ini memang benar, atas dasar pandangan ahli hukum bahwa seharusnya demikian. Namun, karena nantinya yang menerapkan hukum ini utamanya di penyidik belum tentu ahli hukum, maka harus ada penegasan hal tersebut.
Dan, syukurnya, masukkan ini kemudian direspons pada draf 4 Juli 2022, yang mana pemerintah memperbaiki rumusan soal aborsi ini, diperbolehkan bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya yang mengalami kehamilan, dengan batasan usia kehamilan 12 minggu.
Perbaikan rumusan juga dimuat dalam rumusan tentang perkosaan yang dalam draf 4 Juli 2022 menjadi Pasal 477 RKUHP. Di sana sudah diperkenalkan perkosaan atas dasar ketidakberdayaan, termasuk perkosaan terhadap penyandang disabilitas dan juga dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa tindak pidana perkosaan ini sebagai kekerasan seksual, yang mana membuat pasal ini untuk penegakan hukumnya menjadi subjek dari UU No.12 tahun 2022 atau UU TPKS. Artinya, ketentuan hak korban mulai dari penanganan, perlindungan, dan pemulihan serta hukum acaranya merujuk pada ketentuan dalam UU TPKS.
Perbaikan lainnya juga dimuat dalam rumusan tentang penistaan agama, yang mana masyarakat mengkritisi draf RKUHP sebelumnya yang masih memuat rumusan dengan terminologi “penodaan agama” yang kita bisa sama-sama lihat preseden dalam penerapannya justru menyerang kelompok agama minoritas karena dianggap “menodai” suatu ajaran agama. Yang seringnya agama mayoritas itu.
Nah, pada 25 Mei 2022, rumusan dengan “penodaan agama” ini masih dimuat. Melihat situasi ini, masyarakat lantas mengkritisi. Pasal ini masih bisa diperkenalkan dalam RKUHP, hanya untuk melindungi kemerdekaan seseorang untuk beragama, sehingga yang dilarang adalah upaya permusuhan atau menghasut untuk menimbulkan kebencian berbasis agama, bukan pada perbedaan tafsir agama.
Dan, apresiasi kepada pemerintah, masukkan ini kemudian diakomodir dalam Pasal 302 RKUHP versi 4 Juli 2022 yang mana perbuatan yang dilarang adalah melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama atau kepercayaan orang lain.
Sekali lagi ini menandakan bahwa kritik ataupun catatan yang disampaikan oleh masyarakat memang berdasar dan penting untuk direspons dan diberi ruang yang signifikan. Nah, masukkan yang begitu konsisten disuarakan oleh masyarakat adalah soal proses pembahasannya, yang diharapkan bisa seterbuka itu.
Kemarin, 6 Juli 2022, Anggota DPR justru menyatakan keputusan untuk kembali membahas atau tidak membahas RKUHP diputuskan melalui rapat internal Komisi III DPR RI. Artinya, masyarakat tidak akan tahu alasan DPR akan membahas/tidak membahas, yang jadi catatan juga dalam rapat 6 Juli 2022, hanya satu anggota DPR yang menyuarakan pembahasan RKUHP.
Yang lain bersikeras pada proses “penyelesaian” RKUHP, bukannya perubahan substansial RKUHP dilakukannya oleh Pemerintah? Bukannya hal tersebut harus dibahas bersama DPR?
Ini membuat masyarakat menyerukan bahwa sebagai wakil rakyat, ya harus kritis terhadap draf dari pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah, karena sebelumnya juga sudah mendengar masukkan masyarakat, perlu juga mengakomodir masukkan secara keseluruhan. Utamanya pada pasal-pasal yang ditujukan “melindungi” penguasa.
Misalnya, pasal penghinaan presiden (Pasal 217 hingga Pasal 220), pasal penghinaan pemerintah yang sah (Pasal 240-Pasal 241 RKUHP), pasal penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 351-352 RKUHP).
Pasal-pasal tersebut tidak lagi relevan untuk negara demokrasi. Jika memang kritik masyarakat melampaui batas, dan melukai secara personal, pasal penghinaan dalam Pasal 437-Pasal 438 RKUHP) masih ada dan bisa digunakan. Tidak perlu “penguasa” diberi kedudukan yang berbeda, toh mereka semua dipilih dan dibayar oleh rakyat. Tanpa adanya pasal-pasal tersebut, kedudukan rakyat dan penguasa sudah tak seimbang, bagaimana jika ada pasal-pasal tersebut?
Dari proses pembahasan RKUHP ini kita belajar, bahwa masyarakat punya dasar untuk bersuara mengkritik rumusan RKUHP. Artinya, kami peduli dan memang harus peduli karena kami yang akan jadi korbannya. Dan pemerintah dan DPR pun memperoleh manfaat dari apa yang disuarakan masyarakat, bukan?
Jadi jangan juga kemudian kritik dan catatan kami distigma, dituduh, bahkan dilabel tidak intelektual. Setelah itu apa? Suara rakyat dibungkam? Atau sudah terjadi?
BACA JUGA Polemik RKUHP, Draf Gaib hingga Ancaman Pidana Penghina Pemerintah dan analisis kritis lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Maidina Rahmawati
Editor: Yamadipati Seno