Sesebel-sebelnya Gusti Allah pada Abu Lahab, dalam surat al-Lahab, Dia “hanya” menggunakan diksi tabbat (celaka), bukan rajim (terkutuk). Harap maklum, Dia kan Maha Pengasih dan Penyayang, tentu saja bedalah sama saya yang manusia biasa, tempatnya khatta’ (salah) dan nisyan (lalai), plus angkara dan murka, yang belum layak memiliki kavling di surga seperti Para-Panitia-Ahli-Surga itu, sehingga saya merasa tidak ayem sebelum berorgasme dengan diksi-diksi yang pol banget serapahnya.
Al-Qur’an hanya menggunakan diksi rajim (terkutuk) itu kepada kaum setan, sebagai seburuk-buruknya jejulukan, sehingga Sampeyan bisa mengerti kini ayemnya hati saya memilih diksi rajim ini untuk melabeli para koruptor. Jadi, dengan pilihan diksi rajim ini, para koruptor itu ingin saya posisikan jauh lebih bejat, menjijikkan, dan memuakkan dibanding bedebahnya Fir’aun yang ateis, juga Abu Lahab yang menjahati Rasul, apalagi hanya Pamela Safitri yang cuma mosting susunya sendiri (catat: susu miliknya sendiri) di IG-nya sendiri (catat lagi: akunnya sendiri).
Dengan diksi rajim ini, koruptor hanya layak disejajarkan dengan kelakuan setan: sudah ingkar pada perintah Tuhan, eh malah minta hak hukum khusus untuk godain manusia supaya turut girang menjadi bagiannya. Bukankah ini sungguh perilaku yang rajim banget alias maha brengsek? Tentu saja, Ardiansyah yang genius telah memberikan April Mop terindah untuk Bunda Megawati yang kembali membulatkan tekad untuk seumur hidup memimpin perusahaan-partainya, yang naga-naganya akan ditiru oleh SBY di Partai Demokrat.
Ardiansyah tertangkap tangan oleh KPK di saat Kongres Agung Partai, di Sanur pula, (Sampeyan bayangkan, adakah yang lebih tulus kejutannya dibanding kado Ardiansyah itu?). Ia punya hak untuk sementara disebut tersangka. Sebagai tersangka, bukan terdakwa, hak hukum awal beliaunya harus dijunjung: asas praduga tak bersalah dan asas menggugat praperadilan sebagai berkah warisan dari YMS (Yang Mulia Sarpin) rahimahullah. Brother, negeri ini sungguh negeri yang berasaskan hukum.
Urusan disangka melakukan sebuah tindak pidana, seperti korupsi, boleh saja menimpa pejabat atau politikus di sini, tetapi yang jauh lebih pokok ialah hormatilah hukum. Mau penuh dusta, wagu, dan ora mutu sekalipun ya ndak apa-apa, sepanjang berlandaskan hukum. Diseret-seret dengan paksa biar terkesan sesuai hukum, ya ndak apa-apa. Begitu ciri Negara Hukum! Jangankan cuma baru tersangka kayak Ardiansyah itu, lha wong yang udah divonis dengan kekuatan hukum tetap ya harus terus dihormati hak hukumnya, misal dengan diberi grasi.
Misal lain, ya untuk terus nyerocos tak bersalah via medsos yang kabarnya dituliskan oleh para pembesuknya. Ya, to? Inilah cermin betapa adiluhungnya hukum di negeri ini! Maka Sampeyan jangan coba-coba menghalangi hak hukum koruptor, misal dengan berteriak supaya koruptor jangan diberi grasi, sebab niscaya Sampeyan akan dituing tidak menjunjung tinggi hukum, bonusnya dituding anti-HAM. Sederet lawyer yang hapal KUHP sungguh siaga untuk menyumpal mulut Sampeyan atas nama hukum itu, dari sebuah kafe yang bajigur benar mahalnya di Kemang, atau ruang Karaoke VVIP di Sudirman, atau kabin Lamborghini.
Mari sadar diri saja, apalah kita ini di hadapan para lawyer pembela keadilan hukum untuk para para koruptor itu, kan hanya sebutir debu yang tak tahu arah jalan pulang, sebab hanya bisa teriak-teriak dari angkringan atau kafe sawah murahan. Biarin sajalah Mbah Suryadharma Ali memperlihatkan raut muka sedih dengan peci tetap di kepala lantaran gugatan praperadilannya ditolak, begitu juga Sutan Batugana, atau yang lebih lawas macam sosok Angelina Sondakh yang kini berhijab (kata Nikita Mirzani) hingga Al-Amin Nasution. Tetapi, yang pasti, pesan moralnya buat Sampeyan: jangan coba-coba mengusik hak hukum para koruptor. Titik!
Mungkin, saya dan Sampeyan hanya sedang lelah akibat kurang piknik dan makan sambel teri melulu, sehingga gampang merasa terusik nuraninya kala media menayangkan muka-muka pilihan Tuhan para tersangka atau terdakwa korupsi itu. Lalu kita bersama-sama menjerit dengan tangan meninju langit: negeri ini menjadi tertinggal akibat ulah para koruptor!; infrastruktur remuk-redam meski kita rajin membayar pajak kendaraan bermotor akibat dikorupsi!; kami bertahun-tahun menjomblo karena belum berani nikah dalam keadaan pas-pasan akibat hak-hak kami dikorupsi! Oloohh, oloohhh, yuk kalem wae, Brother.
Semua pekikan kita takkan pernah mengubah keadaan. Zaman sudah membuktikan. Ingat deh fatwa Nietzsche, “Semua yang tidak membuat kita terbunuh akan membuat kita menjadi lebih kuat!” Celakanya, para koruptor inilah yang ternyata piawai menerapkan wejangan Nietzsche ini dengan sebaik-baiknya dibanding kita. Bila dulu di masa ORBA kita gedeg sama circle of curruption yang berputar di lingkaran kekuasaan, era Reformasi ke sini menganugerahkan distribusi ke-rajim-an korupsi itu ke semua lapisan hidup keseharian kita. Dan harus diakui bahwa mereka semua adalah pelaksana fatwa Niezsche itu, dalam skala dan bidang yang beragam.
Hambok ndak usah nutup mata, melanggar marka jalan Ngawi atau Nganjuk saja, misalnya, Sampeyan ya harus siap menjejali mulut para koruptor jalanan bila tak ingin ribet sidang. Ngurus IMB ya harus legawa memberikan sesajen pada kepala-kepala rajim yang berarak dari level lingkungan hingga kabupaten. Semua ini memperlihatkan bahwa circle of corruption itu sudah lama pecah, sebagai berkah Reformasi, dengan support-yang-alhamdulillah-berlimpah-ruah dari para “pagawai hukum” yang melingkupinya. Ya mbuh oknum polisi, jaksa, hakim, hingga lawyer. Iya, OKNUM, mohon jangan hilangkan kata tersebut ya, Mz Editor, biar saya ndak dicokok dan Mojok ndak diblokir dengan tudingan pasal kampret ITE itu.
Ya, ya, saya mengerti keresahan hati kawan-kawan yang eneg bludrek melihat kejahatan korupsi yang mleber bagai lendir tanpa wadah di kamar mandi. Saya juga sebarisan sama kawan-kawan yang begitu sakit hati melihat para koruptor yang berasal dari habitat cerdik-pandai, yang bermahkotakan simbol iman dan Islam yang menakjubkan, ternyata ujungnya ya maling rajim juga. Saya memahami bahwa rasanya tiada diksi yang lebih memuaskan hati yang terluka-luka untuk menjuluki mereka yang demikian itu kecuali arjamur-rajimin (seterkutuk-terkutuknya-yang-tekutuk).
Tetapi, mari realistis, pertanyaannya akan tetap sama: apakah diksi paling-asu di antara seasu-asunya-asu itu bisa mengubah keadaan? Tidak! Blas tidak. Kalau begitu, apakah teriakan-teriakan moralis tanpa peci ini sia-sia belaka? Hieraclitus berkata, “Tiada yang abadi di dunia kecuali perubahan itu sendiri.” Oh, mau menggerakkan revolusi lagi kayak tahun 1998? Ah, ndak, itu terlalu melelahkan dan memakan banyak tumbal, Brother.
Saya hanya bisa menggumam begini, andai Hieraclitus hidup di masa kita ini, di negeri yang presidennya diminta untuk menjadi petugas partai, dan orang-orang baik lebih memilih diam, lalu ikutan nongkrong di kafe sawah murahan atau angkringan, pastilah beliaunya ini akan mengubah kredonya: “Tiada yang abadi di negeri ini kecuali ketabahan kaum kere.” Duh, Dek Safitri, saya khilaf…ah, maafkan saya atas tulisan penuh serapah ini.
Saya tahu serapah takkan mengubah apa pun, hanya menambah dosa yang boleh jadi lebih buruk azabnya dibanding posting foto susu. Tetapi, ngapunten, KALIAN MEMANG SETAAANNN!!!