MOJOK.CO – Inilah yang dilakukan kombatan ISIS: keinginan untuk menegakkan keyakinan jauh lebih besar dibandingkan dengan kepentingan hidup mereka sendiri.
Ketika kawan lama membicarakan ISIS, saya jadi teringat obrolan tentang Abu Sayyaf yang pernah terjadi sekitar tahun 2000 (yang berarti sudah 19 tahun yang lalu) di pinggir jalan (soalnya kalau di tengah jalan ngobrolnya, bakal disambit sama supir angkot).
Di sini saya mulai mengerti: pembicaraan yang sama, ketika dihadapkan pada konteks yang berbeda, tentu akan membuat pemaknaan berubah. Ia bisa mengalami distorsi, bisa pula mengalami penguatan.
Belakangan tersiar kabar banyak kombatan ISIS asal Indonesia yang (katanya) menyesal dan tertipu. Hal itu membuat mereka ingin kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Yah, yang namanya penyesalan memang datang belakangan (itu pun kalau beneran menyesal).
Untuk bisa berpendapat mengenai kombatan ISIS, kita perlu mengerti apa isi pikiran yang ada di kepala mereka. Yang saya duga, ini sih nggak akan beda jauh sama simpatisan Abu Sayyaf saat itu (karena ternyata, belakangan, mereka—kelompok Abu Sayyaf—melakukan baiat terhadap ISIS).
Di zaman yang lagi bebas-bebasnya (awal reformasi, dulu), orang-orang saat itu tidak sungkan lagi menyatakan simpati atau dukungan pada kelompok tertentu, termasuk kelompok ekstrem yang sering kali menggunakan kekerasan dalam aksinya seperti Abu Sayyaf. Di antara mereka yang menjadi simpatisan, kita bisa menemukan latar belakang pendidikan yang tinggi dengan penghasilan yang juga tinggi. Dan, tentu saja, mereka bukan orang yang sulit memenuhi kebutuhan primer.
Jadi, saya nggak percaya kalau ada yang bilang bahwa kombatan ISIS atau pengikut aliran ekstrem ini didasari oleh alasan ekonomi dan kemiskinan. Bagi saya, mereka ikut-ikutan aliran itu, ya, karena adanya sebuah “panggilan”. Nah ini yang bikin penasaran: sebetulnya, siapa yang melakukan “panggilan” itu?
Jangan-jangan, benar seperti yang dikatakan PK bahwa yang melakukan “panggilan” mungkin adalah “wrong number”? Atau, jangan-jangan, ia adalah sesuatu yang di-Tuhan-kan untuk memuaskan hasrat mereka sendiri?
Obrolan dengan pengagum dan simpatisan kelompok Abu Sayyaf saat itu terkait pada isu Moro di Filipina yang berusaha melepaskan diri dan mendirikan negara Islam. Mereka beranggapan alangkah baiknya apabila Indonesia menukarkan salah satu pulau yang ada dengan Moro.
Tentu saja, pikiran saya yang feodal tidak bisa menerima hal itu. Bahkan ketika (misal) Nusakambangan mau ditukar sama pulau sebesar Australia pun saya tidak akan sepakat. Sebetulnya saya curiga, pemikiran saya waktu itu mungkin timbul karena terlalu banyak ikut penataran P4.
Obrolan saya kala itu mungkin masih relevan hingga saat ini. Beberapa kombatan ISIS mengeluhkan tidak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak hingga ingin pulang. Sebagian orang ada yang percaya dan merasa iba, lalu menganggap mereka telah tertipu.
Menurut saya tidak semudah itu kesimpulan bisa diambil. Berangkat ke Suriah dan menjadi warga kombatan ISIS (dianggap) sebagai (katanya) jihad. Dalam perjuangan jihad, mereka tentu akan mendapat cobaan yang berat. Lah gimana, kan hadiahnya surga, mosok mau enteng-entengan cobaannya? Situ serius nggak e jihadnya?!
Pun, hal itu disadari sebelum berangkat menuju Suriah. Kalau cuma sekadar kurang makan, air mahal, pekerjaan bayaran rendah—itu kan seharusnya sudah jadi bagian dari perjuangan. Kenapa harus repot-repot disesali dan ditangisi coba?
Ada lagi yang tertulis di Tempo: menurut kombatan ISIS, eks warga Indonesia (yang udah jadi warga ISIS) menjadi kasta terendah, seperti kambing yang digiring ke pejagalan. Pasalnya, mereka selalu dikirim ke medan perang.
Loh, loh, kan katanya mau jihad, kok malah nggak mau perang? Gimana, sih, mikirnya?
Seseorang pada umumnya mungkin akan menganggap jiwa setiap manusia sama berharganya dan layak untuk diperjuangkan. Namun, tidak demikian dengan simpatisan organisasi ekstrem. Menurut pengalaman saya, itu berkaitan dengan pengetahuan serta keyakinan dan ideologi yang dimiliki.
Sebuah ideologi mampu membuat orang bermigrasi untuk mempertahankan ideologinya. Itulah yang dilakukan kelompok teroris seperti ISIS ini.Terlepas dari jenis kelamin mereka, keinginan untuk menegakkan keyakinan jauh lebih besar dibandingkan dengan kepentingan dan kebutuhan hidup mereka sendiri.
Mereka rela meski hanya jadi pion dalam sebuah peperangan yang dianggap suci. Bagi mereka, keyakinan yang paling sahih adalah keyakinan mereka sendiri. Kelompok lain yang tidak searah harus bisa diluruskan, kalau perlu dengan kekerasan.
Ketika kita mendengar ada ratapan kombatan ISIS yang ingin pulang, Indonesia sebagai sebuah negara harus waspada. Mungkin saja itu strategi “lone wolf” untuk mencapai sasaran. Dan Indonesia tercinta mungkin adalah salah satu sasaran itu.
Kita perlu ingat ISIS adalah sebuah negara imperium ke-khilafahan (versi mereka). Mereka menganggap setiap jengkal bumi ini adalah wilayah ISIS (yang harus ditaklukkan). Berbagai cara dilakukan agar impian mereka yang absurd itu bisa terwujud.
Mungkin juga ada yang beranggapan dengan membawa mereka (kombatan ISIS) masuk ke Indonesia, bisa memutus rantai terosisme. Artinya, mereka bisa mendatangkan banyak informasi yang berguna untuk intelejen dan menangkal terorisme itu sendiri.
Di sini mungkin saya cuma bisa bilang, info intel juga ada masa kedaluwarsanya, keleus. Setelah jatuhnya ISIS, kemungkinan besar, info yang dimiliki kombatan ISIS pun tidak lagi valid karena sudah terbongkar atau bahkan sudah tidak lagi digunakan.
Tapi, yah, mungkin saya cuma kebanyakan nonton film mata-mata.
By the way, tidak bisakah mereka kita terima kembali atas nama kemanusian dan HAM?
Di sinilah,terkadang kita dihadapkan pada dilema: harus waspada, tapi juga harus memahami betul bahwa rasa kemanusiaan akan selalu memanggil untuk melakukan hal yang “benar” sebagai manusia terhadap manusia lain.
Meskipun telah dilakukan deradikalisasi dan reintegrasi, ideologi yang telah mereka miliki belum tentu bisa dihapus. Dan ketika ada pematik yang tepat, ideologi akan bisa dibangkitkan.
Tidak sekedar ideologi, perlu juga disadari bahwa para kombatan ISIS ini juga membawa pulang kemampuan teknis dan taktis untuk berperang. Ketika ideologi bangkit dan akses terhadap aplikasi teknis tersedia, sebuah kerusuhan dan teror akan sangat mudah terbentuk.
Bagi saya, menyangsikan dan meremehkan militansi kombatan ISIS adalah hal yang berisiko dan membahayakan diri sendiri. Warga NKRI memiliki kecintaan dan akan berkorban demi negaranya, bukan? Begitu juga mereka (para kombatan ISIS) memiliki kecintaan dan akan berkorban demi negaranya: ISIS itu sendiri.
Yah, namanya juga cinta—tentu rela berkorban, dong?