MOJOK.CO – Banyak anggota dewan yang tidak melaporkan LHKPN ke KPK. Hal itu seharusnya kita maklumi.
Salah satu bentuk kedisipinan paling dasar seorang pejabat negara adalah melaporkan apa yang seharusnya ia laporkan. Dan laporan yang paling dasar dari segala laporan yang seharusnya dilaporkan oleh seorang pejabat negara adalah laporan tentang harta kekayaan.
Nah, untuk urusan laporan yang paling dasar ini, ternyata masih banyak pejabat yang tidak menunaikannya.
KPK sampai harus mengeluarkan surat edaran untuk mengingatkan pejabat penyelenggara negara untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“Melalui surat edaran tersebut, KPK mengimbau seluruh pimpinan instansi eksekutif, yudikatif, legislatif maupun BUMN/BUMD untuk mengingatkan seluruh wajib LHKPN di lingkungannya agar segera menyampaikan LHKPN secara tepat waktu,” kata Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati dalam surat edaran tersebut.
Seperti diketahui, dari ratusan ribu pejabat aktif, tak sampai seperlimanya yang sudah melaporkan kekayaannya, utamanya pejabat legislatif. Berdasarkan data dari KPK, hanya 5,99 persen anggota dewan yang sudah melaporkan laporan harta kekayaannya. Sisanya, belum melaporkan atau memang tidak punya itikad melaporkan.
Fenomena tersebut tentu saja sungguh mengecewakan, sebab seorang pejabat negara seharusnya tertib administrasi, salah satunya dengan aktif melaporkan LHKPN.
Kendati demikian, sebagai warga negara yang baik, saya tentu saja meyakini bahwa tidak tertibnya pelaporan harta kekayaan dari para pejabat legislatif kita ini merupakan semacam pesan rohani yang penting kepada masyarakat bahwa kekayaan bukanlah hal yang seharusnya dipamerkan.
Saya yakin, para anggota dewan itu bukannya tidak mau melaporkan harta kekayaannya, melainkan ingin mendidik masyarakat luas agar memandang seseorang bukan dari harta yang mereka miliki, namun dari sikap dan perilaku.
Walau saya belum pernah menjadi kaya seperti para anggota dewan itu, namun saya bisa menduga bahwa menjadi kaya dan harus melaporkan kekayaannya adalah hal yang cukup bikin tidak nyaman.
Para anggota dewan takut, kalau kekayaan mereka yang banyak itu diketahui oleh banyak orang, niscaya akan timbul kesombongan di dalam hati mereka. Maka, mereka memilih untuk tidak melaporkan harta kekayaan mereka.
Mereka senantiasa ingin bersikap sederhana. Mereka ingin seperti masyarakat zuhud lainnya yang bisa dengan bebas berkata “Mampirlah ke gubuk saya.” atau “Mohon maaf, makanannya seadannya, ya.”
Mereka meyakini bahwa pencatatan kekayaan cukuplah oleh malaikat di hari hisab nanti. Sedangkan di dunia, biarlah kekayaan mereka menjadi sesuatu yang tidak banyak orang tahu.
Mereka takut pencatatan kekayaan bakal membuat mereka punya tendensi untuk bersaing dengan pejabat-pejabat lainnya yang lebih kaya dan justru membuat mereka fokus untuk mengumpulkan kekayaan, bukannya bekerja melayani rakyat.
Tentu tidak terlalu masalah bagi mereka kalau tidak melaporkan aktivitas kekayaan mereka, wong anak-anak SD yang mendapatkan tugas melaporkan ibadah mereka di buku laporan kegiatan ramadan saja banyak yang nggak melaporkan, apalagi para anggota dewan yang oleh Gus Dur disebut sebagai anak-anak TK itu.
Karena itulah, sudah waktunya bagi KPK untuk berhenti mendorong para anggota dewan melaporkan harta kekayaan mereka.
KPK justru harus mulai mendorong para anggota dewan melaporkan laporan kemiskinan mereka. Semakin miskin mereka, semakin terbukti mereka benar-benar bekerja untuk rakyat dan semakin dekat mereka dengan rakyat. Semakin “turba”.
KPK harus mulai mencatat aktivitas-aktivitas miskin yang sudah dilakukan oleh para anggota dewan. Bisa dengan mencampurkan air ke dalam shampo yang sudah hampir habis agar bisa digunakan lagi, atau berhenti beli kopi di kafe dan menggantinya dengan bikin kopi sendiri pakai kopi sachet dengan diaduk dengan bungkus kopinya, atau berhenti membelikan anaknya buku tulis merek Kiky atau Campus dan mulai menggantinya dengan Sinar Dunia atau Gelatik.
Ingat, mereka adalah wakil rakyat. Kalau rakyatnya miskin, maka wakilnya seharusnya juga bisa lebih miskin.