Lapisan demi Lapisan Ketuhanan

MOJOK.COTak ada suatu peristiwa apa pun di dunia ini kecuali merupakan manifestasi dari nama dan sifat-sifat ketuhanan dengan perantaraan af’al-Nya.

Ini adalah pembahasan terakhir mengenai tema tindakan Tuhan. Saya memang sengaja menulis agak panjang dan berulang-ulang mengenai tema ini, karena di sanalah terletak salah satu soal pokok yang harus kita hadapi sebagai seorang beriman.

Saya akan mengakhiri pembahasan ini dengan mengulas kembali hadis qudsi yang sangat populer di kalangan para sufi: Kuntu kanzan makhfiyyan, fa-aradtu an u‘rafa, fa-khalaqtu-l-khalqa—s Aku (Tuhan) dulunya adalah “perbendaharaan” yang tersembunyi, kemudian Aku ingin diketahui, lalu Aku ciptalah ciptaan (makhluk).

Hadis ini melambangkan proses “tanazzul”: Tuhan yang “turun” dari kerahasiaan total-Nya, membiarkan diri-Nya dikenal, diketahui, disingkapkan rahasianya-Nya oleh makhluk, terutama manusia. Momen “tanazzul” inilah yang memungkinkan Tuhan menyingkapkan diri melalui berbagai faset: melalui dzat, nama, sifat, dan tindakan (af’al).

Dalam tarekat Syattariyyah (didirikan pada abad ke-14 oleh Syekh Sirajuddin Abdullah Syattar [w. 1406]; tarekat ini banyak menyerap ajaran illuminasi atau isyraq dari Syekh Syihabuddin Suhrawardi [w. 1191]), dikenal ajaran tentang “martabat tujuh” yang menjelaskan dengan cara yang amat menarik mengenai proses “ketersingkapan” ilahi.

Ada tiga faset penting di sana: ahadiyyahwahdahwahidiyyah. Faset-faset ini boleh kita sebut sebagai lapisan-lapisan ketuhanan.

Ahadiyyah adalah faset ketika Tuhan masih merupakan “kanzun makhfiyyun, kerahasiaan total yang tak mungkin dikenal oleh manusia. Inilah Tuhan yang digambarkan dalam ajaran Jawa sebagai “tan kinaya ngapa”.

Ibn ‘Arabi (w. 1240) menyebutnya sebagai “ankaru-n-nakirat,” nakirah (sesuatu yang tak dikenal) yang paling nakirah. Tuhan tidak hendak berada dalam faset ini terus-menerus. Dia ber-“kehendak (iradah) untuk “turun” dari faset yang misterius ini ke faset berikutnya yang sedikit lebih terang; faset yang disebut “wahdah”.

Faset “wahdah” adalah momen ketika Tuhan, melalui dzat (subtansi) dan sifatnya mulai, “ber-ta’alluq” atau berhubungan dengan seluruh ciptaan, tetapi secara ijmal, umum saja. Momen ini bisa kita gambarkan dengan ide yang muncul di kepala seorang arsitek tentang sebuah bangunan yang ingin ia rancang.

Ide itu belum ia tuangkan dalam bentuk gambar yang detil atau maket. Faset ini juga disebut sebagai “taayyun awwal,” realisasi pertama yang masih serba global dan umum. Pada faset ini, Tuhan sudah bukan lagi dzat yang sepenuhnya misterius. Dia sudah mulai “menampakkan” diri, walau samar-samar.

Faset berikutnya adalah “wahidiyyah”, yaitu faset ketika dzat dan sifat-sifat Tuhan sudah mulai berhubungan dengan ciptaan/makhluk secara detil, tetapi masih pada tataran “konseptual”.

Ini bisa kita setarakan dengan momen ketika sang arsitek tadi sudah mulai menuangkan ide arsitektural yang bersifat umum di kepalanya dalam bentuk gambar yang detil, kalau perlu disertai dengan maket. Tetapi gedung itu masih berupa gambar, belum muncul secara riil sebagai gedung yang memiliki bentuk fisik yang bisa ditinggali.

Faset yang paling akhir dari proses ketersingkapan Yang Ilahi tentu momen ketika dunia yang bersifat fisik ini sudah muncul ke ‘alam al-syahadah, alam yang tampak pada indera kita. Alam inilah yang menjadi arena tempat terselenggaranya seluruh af’al atau tindakan-tindakan Tuhan. Juga di alam inilah seluruh nama dan sifat-sifat ketuhanan mewujud secara riil.

Tak ada suatu peristiwa apa pun di dunia ini kecuali merupakan manifestasi dari nama dan sifat-sifat Tuhan dengan perantaraan af’al-Nya. Ketika kita melihat seorang ibu yang merawat anak-anaknya, itu, dalam kerangka cara-pandang yang spiritual ini, tiada lain adalah wujud dari sifat rahman-rahim, ke-maha-kasih-sayang-an Tuhan.

Seluruh peristiwa di alam raya yang memperlihatkan “care-taking,” merawat sesuatu, itu adalah realisasi dari sifat “mudabbir”-Nya, yakni Tuhan Yang Maha Merawat.

Dengan cara pandang semacam ini, seorang beriman akan merasakan kehadiran Tuhan dalam seluruh peristiwa, Tuhan yang “omni-present”, yang selalu ada dan hadir bersama hamba-hamba-Nya; Tuhan yang menyertai makhluk-Nya melalui “ma‘iyyah”-Nya, melalui kesertaan-Nya yang non-stop dalam setiap momen; Tuhan yang tak pernah absen dan lengah.

Dengan kesadaran seperti ini, kita akan menghayati tindakan-tindakan Tuhan sebagai “portal” dari mana kita memasuki alam ketuhanan, agar Tuhan selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari, bukan Tuhan yang “jauh” dan terpisah dari kehidupan riil. Tindakan Tuhan dalam alam raya ini adalah jalan masuk bagi seorang hamba untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Tentu saja, kesadaran semacam ini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang beriman, dan sungguh-sungguh dengan imannya itu, yang melihat dunia sebagai manifestasi dari tindakan Tuhan. Orang-orang yang menyangkal sejak awal keberadaan Tuhan sudah tentu akan melihat alam raya ini bukan sebagai manifestasi Tuhan melalui af‘al-Nya, melainkan dunia fisik yang bekerja sepenuhnya secara otonom melalui hukum alam.

Manusia memiliki pilihan bebas antara dua jalan itu: jalan keimanan yang bermuara pada pandangan tentang dunia sebagai arena di mana Tuhan menyingkapkan diri; atau jalan penyangkalan yang bermuara pada pandangan tentang dunia sebagai “a self-contained system of physical world,”—dunia yang tertutup pada dirinya sendiri dan menutup kehadiran Tuhan.

Manusia adalah makhuk yang bebas. Tuhan memberikan kebebasan penuh kepadanya untuk memilih mana jalan yang ia kehendaki.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Exit mobile version