Sepanjang masa pandemi, saya membangun kebiasaan untuk membeli umbi-umbian saat ada kesempatan belanja ke kios sayur. Awalnya hanya sebagai bank makanan kecil-kecilan, siapa tahu wabah mengganas dan beras tiba-tiba amblas. Bayangan distopian itu tak terjadi, atau setidaknya belum terjadi, dan umbi-umbian itu kemudian menjadi makanan kudapan di antara bulan-bulan yang bertabur waktu kosong dan dihabiskan untuk bengong ini. Dan seiring waktu, saya mulai menjadikannya kebiasaan: setiap hendak berangkat belanja, saya senantiasa memastikan apakah persediaan singkong atau kentang atau ketela rambat masih ada di bawah kolong dapur, sebagaimana setiap kepikiran hendak duduk membaca atau memulai menulis saya akan merebus sepotong dua potong singkong atau tiga-empat butir kentang sebelum membuat kopi atau teh.
Sungguh ironis, seorang bocah tegalan seperti saya membutuhkan wabah untuk kembali ke umbi-umbian. Padahal, mengudap singkong di sore hari saat hari gerimis sebenarnya tak mesti menunggu untuk dilakukan di kampung. Di seluruh Jogja, saya yakin, dan dari dulu sudah sering saya tahu, singkong—bahkan uwi dan gembili atau yang lebih langka seperti porang dan suweg—lazim ditemukan di pasar-pasar atau kios sayur, dan karena itu mengudap umbi-umbian itu bisa saya lakukan kapan saja, dalam kondisi apa saja. Yang terpenting, saya punya sedikit kesanggupan untuk belanja singkong dan merebusnya. Dan itulah yang tidak saya lakukan selama bertahun-tahun di Jogja.
Dan, karena juga sudah sangat lama tak melakukannya di kampung, ketika akhirnya saya membawa pulang singkong dan hendak merebusnya, saya menemukan ironi yang lebih besar lagi: saya lupa cara mengupasnya.
Sebentar, jangan bayangkan hal yang sangat ekstrem dan konyol, katakanlah dengan merebus singkong langsung sekulit-kulitnya. Tidak, saya mengupas kulit singkong sebelum membersihkannya, lalu merebusnya. Namun, persis saat itulah, saya tahu bahwa saya melakukannya dengan cara yang salah. Saya baru saja mengupas singkong dengan cara yang sama dengan mengupas mangga. Itu salah. Saya tahu, itu salah! Mengupas singkong dengan cara mengupas mangga itu bisa dilakukan jika singkong tersebut hendak dijemur untuk dibikin gebing (gaplek), tapi tidak untuk singkong yang hendak direbus atau diolah langsung sebagai makanan, lebih-lebih makanan seperti tape. Saya terduduk di lantai dapur, merasa bersalah, memaki diri sendiri, lalu tercenung sekitar setengah menit, lalu memaki lagi ketika akhirnya menemukan momen “Eureka!”.
Saya bangkit. Saya ambil sepotong singkong lagi, saya buat satu kupasan panjang dan lurus dari pangkal sampai ujung umbi, setelah itu saya mencongkel tepi kulit yang terkupas dengan ujung pisau sampai kulit terbuka, kemudian pisau saya taruh, lalu ujung jempol yang meneruskan sisanya, dan terdengarlah suara yang dulu sangat akrab itu: “klokop-klokop”, sebuah onomatope untuk menggambarkan kulit dalam singkong saat dipisahkan dari daging umbinya. Dulu saya akan sangat puas jika mengupas keseluruhan umbi dengan tetap membuat kulit singkong utuh tanpa sobek, tapi kali ini saya sudah senang ketika—akhirnya—mendapatkan sepotong singkong kupasan yang bulat mulus dengan daging putih basah berseri-seri.
“Cuk!” Saya memaki lagi. “Makeput lupa cara mengupas singkong? Makeput anak-e Pak Muslikan lupa cara mengupas singkong!”
***
Desa saya serupa desa-desa yang saya pakai untuk latar novel-novel saya—meskipun itu tak akan membuat Anda bisa menemukan Lerok atau Tegal Centong atau Rumbuk Randu di Google Maps, seperti yang pernah coba dilakukan seorang mahasiswi asal Solo yang sedang mengerjakan skripsinya. Sebagian dari kami adalah keluarga yang benar-benar tergantung dengan hasil ladang tadah hujan. Sebagian kecil penduduk, terutama yang punya tanah yang sedikit luas, memang memiliki sawah dan menanam padi, tapi sebagian besar orang mendapatkan persediaan berasnya dari imbalan menjadi buruh mengetam padi atau bahkan dari nempur, membeli. Ladang memang bisa ditanami padi jenis gogo, tapi tak ada yang lebih cocok untuk tegalan kering melebihi jagung, kacang tanah, dan singkong. (Pada satu masa pernah ada bengkuang, dan hasilnya bagus, tapi begitu ia hancur di pasar, orang-orang tak lagi menanamnya, dan sudah lebih dari tiga puluh tahun tanaman itu lenyap dari ladang desa kami.) Di kala Presiden Soeharto dipuji FAO atas keberhasilannya dengan Swasembada Beras, saya terbiasa makan dengan beras yang dicampur parutan singkong. Karena itu, dibanding berkebudayaan padi, kami, khususnya keluarga saya yang tak pernah punya sawah, lebih dekat dengan kebudayaan singkong.
Sementara saya hanya menghapal sembari melihat dari jauh kebudayaan padi yang rumit itu (jenis-jenis padi, tahapan-tahapan tanam, renik perawatan, jenis penyakit, cara panen, dst.), kebudayaan singkong yang jauh lebih sederhana merasuk sangat awal pada diri saya. Dari kecil, selain telah diajari menanam singkong (tanaman yang paling gampang cara menanamnya, yang penting tertancap, dan batang tak ditanam secara terbalik) saya juga telah diberi tahu tentang jenis-jenis singkong dan masing-masing cirinya. Walau tak banyak jumlahnya, tapi mesti diperhatikan, sebab ini penting untuk khazanah persingkongan.
Singkong randu adalah yang paling populer: ia paling enak, paling mempur, dan karena itu paling banyak dikonsumsi. Ada warna kemerahan yang khas pada sebagian daun dan tangkai daun, juga umbinya. Karena warnanya yang merah mencolok, tangkai daun singkong randu biasa dipakai sebagai kalung-kalungan oleh para bocah yang sedang ikut ke ladang. Singkong jenis kedua adalah singkong kunir. Ada pigmen jingga ala kunyit pada batangnya, tapi yang benar-benar membedakan singkong kunir dengan singkong jenis lain adalah umbinya yang sewarna senja. Di tempat saya, singkong kunir adalah jenis yang paling banyak diolah untuk tape karena ia tak semempur singkong randu dan itu membuatnya menghasilkan tape yang lebih baik. Singkong ketiga biasa disebut sebagai singkong mantri—konon, dinamakan begitu karena dulu bibitnya diberikan oleh mantri hutan. Biasanya batang dan pohonnya lebih besar dan lebih tinggi dibanding jenis singkong lain. Ciri lain, singkong ini hijau pekat pohon dan batangnya, bahkan pigmen hijau itu juga terlihat di kulit dalamnya—sehingga ada juga sebagian orang yang menyebutnya singkong ijo. Rasanya langu dan hampir pahit, dagingnya keras dan mengkal, membuatnya menjadi pilihan terakhir untuk dikonsumsi, dan karena itu singkong ini biasanya ditanam dalam skala besar, dibuat untuk gaplek, untuk disetor ke pabrik-pabrik tapioka di kota.
Meski hanya jadi campuran nasi di taraf makanan pokok, dan hanya dimakan di saat musim paceklik oleh mereka yang tak punya beras, olahan singkong berjaya di hal-hal lain. Di meja makan, singkong bisa ditemukan pada piring lauk saat diolah sebagai gimbal menyok (serupa bakwan jagung dari singkong, dengan bumbu dan cita rasa yang setahu saya nyaris sama). Di mangkuk sayur, daun singkong bisa diolah dengan berbagai cara, dari mulai dilodeh hingga dibuat kulupan dengan sambal kelapa. Di kaleng kerupuk, singkong menjelma menjadi kerupuk sandariyah, dengan aroma mericanya yang kuat dan warna-warninya yang mencolok. Gentilut, kue bungkus pisang yang dibuat dari parutan singkong dengan isi gula merah, sangat nikmat dimakan ketika masih panas, bisa diletakkan di nampan kudapan.
Di pasar, singkong berkuasa penuh menguasai lapak jajanan. Tampaknya, mudah dan murahnya bahan menjadi penentu. Lagi pula, tak seperti jagung atau kacang, bahkan beras, singkong tak memerlukan musim untuk ditanam dan dipanen. Srawut (dengan juruh gula merah, atau urapan kelapa, atau taburan jagung pedas), sumpil, gatot, tiwul, tape, dan masih banyak varian jajanan yang lain menjadi perwakilan betapa keseharian kami tak mungkin dilepaskan dari singkong.
Meski demikian, tak ada cara yang lebih baik menikmati singkong dibanding dengan cara paling barbar yang bisa dilakukan: membakarnya. Dan, inilah advantage besar yang dimiliki singkong. Kalian mesti membawa gabah kalian ke penggilingan untuk menjadikannya beras, menanaknya, memasak sayuran dan lauk-pauk, dan nasi baru bisa dinikmati; singkong hanya membutuhkan sedikit api, dan ia bahkan bisa dilahap langsung di tempat. Caranya: cabut satu-dua batang, seret umbi singkong hasil cabutan ke tempat kita telah menyiapkan api, tetak umbi dari batangnya, dan lemparkan ke perapian, sudah! Kalian bahkan tak perlu mengupasnya. Dan tak ada arang yang bisa dimakan selain singkong bakar gosong.
Singkong bakar adalah teman setia para gembala. Ia bisa menjadi pesta kecil yang sederhana dan ramai sembari mengawasi kambing atau sapi. Ia bisa dinikmati saat hari masih terlalu pagi untuk makan siang, tapi ia juga bisa dinikmati ketika makan siang sudah terlalu telat sementara waktu pulang dari padang gembala masih lama. Dan, tentu saja, singkong yang paling enak untuk dibakar adalah singkong hasil mencuri; akan lebih enak lagi, ia dicuri dari ladang petani yang dikenal pelit dan tak ramah dengan anak gembala. Namun, yang tak bisa digantikan oleh hal lain adalah makan singkong bakar saat tengah malam. Ini biasanya dilakukan oleh anak-anak yang tidak tidur di rumah, biasanya mereka yang suka keluyuran di ladang untuk berburu burung atau yang menunggui tungku gamping bersama bapaknya atau bahkan tungkunya sendiri. Melolohkan singkong bakar panas-panas ke mulut, setelah sebelumnya diputar berulang-ulang dengan kedua telapak tangan dan ditiupi berkali-kali agar agak dingin, di tengah malam, di tepi arang buangan dari tungku yang merona merah, adalah ingatan yang sangat lekat pada masa-masa saya menemani bapak membakar batu gamping.
Tapi, bayangan atas singkong rebus yang dimakan di sore hari saat hujan memang mengatasi semua jenis ingatan tentang singkong. Ini menjadi nostalgia bagi yang pernah mengalaminya dan menjadi fantasi bagi yang cuma mendapatkan cerita atau citraan romantiknya saja. Ia, entah kenapa, menjadi gambaran nyaris universal tentang kesederhanaan sekaligus kenikmatan kehidupan pedesaan; dan oleh karena itu orang-orang urban atau yang telah terurbankan, baik yang telah berjarak dengan momen dan cita rasa itu atau yang sama sekali tak memiliki, mencoba mengkreasinya ulang—biasanya dalam foto-foto yang diunggah di laman-laman media sosial (seperti yang belakangan saya lakukan). Dan, dari momen-momen merebus singkong inilah saya mencungkil ulang ingatan tentang cara mengupas singkong, setelah sempat kelupaan.
***
Lupa cara mengupas singkong saya pikir bukan sesuatu yang sangat gawat; saya tak serta-merta mendakwa diri saya tercerabut dari masa lalu saya, kultur yang membentuk saya, hanya karena itu. Masalahnya, jelas tak hanya karena itu, dan tak hanya itu. Lupa cara mengupas singkong adalah sebuah gejala saja; ia cuma salah satu kelupaan dari banyak kelupaan yang saya idap dan alami. Dan saya tahu ini pasti bukan kelupaan pertama saya, sepasti bahwa ini juga bukan yang terakhir. Kelupaan-kelupaan inilah yang sudah saya antisipasi jauh-jauh hari. Itu kenapa, saya memulai menulis Ulid 15 tahun lalu, novel yang saya tujukan—bahkan dengan agak vulgar—untuk mencatat hal-hal dari masa lalu yang mungkin saja akan saya lupakan.
Saya bisa segera mengingat cara mengupas singkong setidaknya karena dua hal: ia mudah diingat dan mudah dilakukan, dan singkong masih bisa ditemukan di pasar. Coba bayangkan jika yang saya lupakan adalah sesuatu yang lebih rumit, semisal cara membuat guludan untuk bengkuang, sementara bengkuang tak lagi ditanam; atau, saya lupa cara memegang caluk untuk membelah bambu, sementara saya tinggal di Jogja, daerah yang tak mengenal caluk, dan tempat yang membuat saya tak lagi terbayangkan berurusan secara langsung dengan batang bambu; atau, menata kayu bakar agar bisa dipikul dengan nyaman, sementara saya saat ini bahkan tak yakin masih mampu memanggul sesuatu di atas 20 kilo. Dalam kasus mengupas singkong, pikiran saya lupa, tapi tubuh saya masih mengingatnya dengan baik, dan objek ingatan itu masih ada. Dalam banyak sekali hal, kepala dan tubuh saya sudah melupakannya, dan objek ingatan itu sudah tak bisa ditemukan. Pada titik itulah, sebuah sistem kebudayaan yang membentuk diri saya hilang untuk selamanya dari diri saya.
Mencoba membayangkan diri sebagai singkong, saya mungkin adalah tape goreng atau balok di gerobak seorang penjual angkringan di Jogja: saya pasti sudah terlalu jauh bergeser dari tanah di mana saya ditanam dan dicabut, batang dari mana saya ditetak, dan kulit yang membungkus umbi saya, juga tangan-tangan paling awal yang “mengolah” saya; saya sudah lupa dari singkong jenis apa saya diolah (apakah randu atau kunir atau mantri, atau jenis lain lagi yang belum diberi nama?), kapan saya dipanen, diangkut pakai apa, dan apa yang terjadi dengan saya sebelum menjadi siapa saya pada akhirnya. Dan orang yang mengudap saya, menikmati saya, tak merasa penting untuk tahu.
Tapi hal yang lebih buruk bisa saja terjadi: satu-dua orang mungkin sempat salah menyangka bahwa saya adalah tahu isi.
BACA JUGA Alasan untuk Tidak Menulis dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.