Di antara bergunung kesusahan di masa pandemi ini, sedikit hal menyenangkan adalah bersepeda sore-sore.
Ada jarak sekitar tiga kiloan antara rumah kontrakan saya dengan toserba yang sekaligus jadi lokasi ATM terdekat. Tiga sampai empat hari sekali saya biasa keluar dari rumah dengan sepeda saya, Wimcycle warna cappuccino dengan keranjang kawat di depannya. Kadang untuk keperluan dapur (beras, minyak, sayur, sedikit buah, atau sebal kerupuk), kadang untuk cari pulsa, sesekali untuk ke ATM, kadang kesemuanya dalam sekali kesempatan. Saya akan kayuh pedal pelan-pelan, menikmati setiap ayunan, membelah jalan kampung, lalu kompleks perumahan, dan kemudian bekas perkebunan tebu yang mulai berubah jadi pemancingan, dan membiarkan wajah saya menerpa angin yang bertiup berlawanan.
Setelah bertahun-tahun menjadi pemancal pedal di Jogja, suasana seperti itu seperti campuran langka antara yang ideal dan yang nostalgis. Nyaris berjalan sendirian, tak ada klakson mobil menghardik dari belakang, tak ada sepeda motor melawan arah yang ditunggangi remaja belasan dengan kecepatan tinggi, dan bunyi yang kau dengar hampir-hampir hanya suara rantai yang dikayuh kaki dan napasmu sendiri, itu pastilah hal yang selalu diimpikan oleh mereka yang menunjuk diri sebagai penyelamat bumi.
Tapi itu juga membuat saya terlontar ke masa lalu. Hanya sesekali memapas pesepeda lain, atau bersimpangan dengan penunggang sepeda motor yang melaju kalem, nyaris bisa memilih jalan di mana ban sepedamu ingin lewat, mengingatkan saya dengan masa-masa bersama Phoenix hijau saya di SMP. Saat itu saya sering terlambat berangkat karena suka lalai sehingga setelah terpisah dari rombongan, dan akhirnya bersepeda sendirian menuju ke sekolah (yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah).
Saya tak terlalu menyukai masa-masa bersepeda ke sekolah itu, dan karena itu menjadi nostalgis sama sekali tak terlintas dalam kamus persepedaan saya. Saya juga tak punya hal-hal yang terlalu ideal dengan bersepeda—dan jika pun ada orang-orang di luar sana punya ideal-ideal tertentu dengan sepeda, saya tak terlalu mempercayainya. Bersepeda sejak 2007 tak membuat sekilogram pun lemak di perut saya susut. Bagaimana dengan mengubah dunia yang dimulai dari diri sendiri? Tidak, tidak. Setelah segera sadar bahwa menjadi penulis tak membuatmu bisa menyelamatkan dunia, maka apalah arti seonggok sepeda. Hanya Columbus dan Hitler yang bisa mengubah dunia, dan itu artinya membantai jutaan manusia.
Tapi, jika saya tak memerlukan sesuatu yang nostalgis atau yang ideal, apakah saya tak bisa mengambil sedikit “hal baik” dari masa pandemi ini untuk diri sendiri dan sepeda saya? Saya sudah menyebutnya sebagai “hal menyenangkan”, jadi, ya, saya menikmatinya: atas menepinya knalpot-knalpot blombongan, juga atas menghilangnya klakson-klakson mobil arogan. Tapi, terutama, atas terlintasnya pertanyaan di pikiran—setelah sekian lama: kenapa kendaraan beroda dua yang digerakkan dengan kayuhan kaki ini di masa lalu dinamai “kereta angin” dan “sepeda kumbang”? Pertanyaan itu mungkin terdengar remeh dan bisa saya dapatkan jawabannya dalam sekali klik di mesin pencari. Tapi saya sedang tak ingin mendengar jawaban apa pun. Saya bahkan tak peduli jika istilah-istilah itu lahir begitu saja sebagai konvensi, tanpa ada penjelasan asal-usulnya. Saya hanya menyukai menggumamkan “kereta angin” dan “sepeda kumbang” secara berulang-ulang sambil terus mengayuh.
Angin dan kumbang, bukankah itu kata-kata yang indah? Dalam daftar kosakata saya yang sangat dicemari diksi-diksi lirik lagu Rhoma Irama, dua kata itu jelas terdengar puitis. Coba ulang: angin dan kumbang, angin, kumbang, angin, kumbang….
***
Sepanjang hidup saya, saya tak punya banyak mainan, dan lebih sedikit lagi kendaraan. Jadi, saya ingat dengan baik sepeda-sepeda yang pernah singgah dalam hidup saya. Beberapa lucu, sangat sedikit yang menyenangkan, sisanya agak menyedihkan.
Pada pertengahan ‘80-an sebuah sepeda beroda tiga menjadi pusat perhatian separo anak-anak di belahan utara desa kami. Sepeda itu milik sepupu saya. Warnanya biru muda, dengan sadel rendah dan sandaran yang sangat nyaman bergambar Goofy. Seluruh kerangkanya adalah pipa besi yang sangat kuat, sementara tiga bannya utuh pejal, seperti ban balap MotoGP sekarang. Indah, mahal, dan bikin iri. (Jika saja saya seorang peniru Marquez, paragraf tentang sepeda ini pasti sudah menjadi salah satu pembuka novel saya, entah yang mana, dan saya bayangkan para peresensi dengan wajah berseri-seri akan membanding-bandingkannya dengan magnet dan kaca pembesar di halaman awal Seratus Tahun Kesunyian.)
Semua bocah ingin berkawan dengan pemilik sepeda, bahkan termasuk saya yang sepupunya. Di antara dua roda belakang sepeda itu, terdapat lempeng besi pijakan sebagai tempat boncengan. Lempengan pijakan itu yang pertama-tama diincar oleh anak-anak lain. Jika seorang bocah diizinkan untuk berdiri di atasnya, sementara sepupu saya menggenjotnya, sekian detik si pembonceng akan menjadi orang paling istimewa nomor dua di dunia. Tapi, tentu saja, tujuan akhir adalah menunggangi sadel bergambar Goofy itu. Sepeda itu diangsurkan ke saya beberapa tahun kemudian, ketika Bude dan seluruh keluarganya merantau ke Kalimantan. Namun, sepeda roda tiga itu sudah tak terlalu menarik. Lagi pula, usia saya sudah lewat 10. Anak-anak seusia saya sudah mulai punya sepeda bersetang lurus (kami dulu menyebutnya Federal). Maka, sepeda roda tiga itu kemudian mengembara ke mana-mana, berpindah-pindah tangan, dan masih terlihat ditunggangi anak-anak, entah siapa, sampai bertahun-tahun kemudian.
Saya terlambat bisa naik sepeda (betulan), yaitu saat umur hampir 12. Dan setahun kemudian saya baru mendapatkan sepeda pertama saya, sebuah Phoenix hijau, yang kami biasa sebut sebagai Jengki. Dengan uang kiriman Bapak dari Malaysia, saya membeli sepeda itu di Tuban, ditemani seorang paman. Meski memilih sendiri, sepeda baru itu segera saja memunculkan banyak masalah. Bannya sering kempes, per sadelnya dengan cepat soak dan menunduk, rantainya kepanjangan sehingga suaranya ribut bukan main, dan tak berapa lama kemudian garpu depannya retak. Sepeda itu sulit saya sukai dan, dua tahun kemudian, ketika saya masuk ke SMA, sudah sama sekali tak saya pakai. Ketika seorang tetangga, tanpa meminta, “memanfaatkan rongsokannya”, saya sudah melupakannya. Gambaran diametral saya tentang kambing dan sepeda di cerpen “Belajar Mencintai Kambing” sepertinya banyak saya ambil dari penggalan pengalaman ini.
Sepeda yang lebih menyenangkan saya dapat di SMA. Ia sejenis BMX tanggung setinggi pinggang. Bannya besar dan setangnya lengkung. Sayang, sepeda itu saya pakai di waktu yang sangat pendek dan di saat yang tak begitu tepat. Sepeda itu “dipinjami” induk semang kos saya. Saya memakainya untuk berangkat ke sekolah dan ke pondok sebagai santri kalong. Saya ingat, dengan sepeda itu saya membelah jalanan kota Babat dengan kanvas dan lukisan pertama saya di punggung; mungkin seperti inilah seorang seniman muda, bayangan saya waktu itu. Sayangnya, tiga bulan kemudian kami punya masalah. Saya dimarahi oleh orang yang bukan orang tua saya dan bukan pula guru saya untuk pertama kalinya dalam hidup saya, dan itu agak dalam. Sepeda itu menjadi salah satu yang diungkit, dan itu menyakitkan. Saya pergi malam-malam sambil menangis, pindah ke pondok, dan tak pernah kembali ke rumah itu. Sampai lulus SMA, saya selalu berangkat ke sekolah dengan jalan kaki.
Jalan kaki dan bus kota adalah dua hal yang akrab saya lakukan ketika empat tahun sembilan bulan kuliah di Bulaksumur, sebagaimana juga dilakukan oleh ribuan mahasiswa lain di Jogja. Namun, sebuah sepeda unta (demikian sepeda dengan ragangan lengkung disebut) pernah secara singkat mewarnai hidup saya. Ketika saya keluar dari masjid tempat tiga tahun awal saya menetap, saya titipkan barang saya yang sedikit di kos teman dan tinggal selama satu semester di kampus. Saat saya akhirnya mendapat kos, barang saya pindahkan sedikit demi sedikit dengan meminjam sepeda sang teman yang saya titipi barang. Sepeda itu besar dan tinggi. Tungkai kaki saya hanya setengahnya saja untuk sampai ke pedal sehingga bokong saya mesti turun dari sadel untuk bisa menggenjot sepeda itu—persis seperti saat untuk pertama kali belajar naik sepeda.
Entah karena kami sulit ketemu, atau karena saya malas mengembalikannya karena kos kami berjauhan, sepeda itu bersama saya lebih lama dari seharusnya. Ketika saya merasa harus mengembalikannya, kos teman saya sudah pindah, dan saya tak tahu ia pindah ke mana. Sepeda itu akhir teronggok tak terpakai di gudang kos saya, dan ketika saya lulus dan merantau ke Jakarta bangkai sepeda itu dikenali sebagai “sepeda rusak punya Mahfud”. Sepeda itu tak pernah menjadi kepunyaan saya; ia adalah barang pinjaman yang masih saya utang sampai sekarang.
Pertengahan 2007, tahun ketika kantor saya pindah dari Klaten ke Jogja, saya merayakannya dengan membeli sepeda kedua saya—setelah 15 tahun. Kali ini dengan penghasilan saya sendiri. Sebuah Wimcycle model BMX, bekas, warna merah hitam, serupa seragam AC Milan. Sepeda itu terlalu pendek, juga terlalu kekanak-kanakan, sangat tidak cocok untuk seseorang karyawan dengan sepatu kulit dan kemeja batik. Mungkin karena saking tak matching-nya, penambal ban di depan gerbang Bandara Adisutjipto membuat pertanyaan yang sangat aneh: “Anaknya umur berapa, Mas?” Saya tertawa dan menjawab bahwa saya belum punya anak dan sepeda itu saya pakai sendiri. Ya, sepeda itu idealnya saya dapat di umur 9. Tapi jika saya baru mendapatkannya di umur 27, kenapa tidak? Dengan sepeda itu, setiap hari saya pergi ke kantor, sampai saya keluar dari pekerjaan tiga tahun kemudian.
Sebagai sepeda bekas, Wimcycle AC Milan itu cukup awet. Ia bersama saya tak kurang dari enam tahun. Bukan saja menyertai masa-masa akhir saya kerja kantoran, ia juga membantu saya resisten terhadap godaan beberapa teman yang ketularan ikut kelompok hobi bersepeda yang saat itu sedang tren. Saya malas membeli sepeda terlalu mahal, dan bersepeda terlalu jauh, bersama orang-orang yang tak saya kenal, jadi nehi! Ketika teman-teman pesepeda saya telah bosan dengan sepeda-sepeda mahalnya, dan mulai tergoda ikut tour Sekte Borobudur, sepeda itu masih bersama saya sesekali mengunjungi Candi Sambisari yang tak jauh dari rumah. Ketika hendak pindah kontrakan pada 2013, sepeda itu saya besituakan ke tukang rongsokan untuk tambah-tambah beli kardus.
Dan tibalah kita sampai ke sepeda yang saya bicarakan di awal. Sepeda berkeranjang warna cappuccino itu saya beli dengan uang hadiah sayembara novel DKJ—jadi, meskipun tak membuat saya berkeliling dunia seperti digembar-gemborkan para pemateri kelas menulis, bisa disimpulkan bahwa sastra membuat saya bisa pergi ke warung kopi dengan nyaman.
Saya membelinya di toko sepeda persis di seberang Plaza Ambarrukmo. “Ada sepeda yang bagus di bawah harga 1,5 juta?” tanya saya dengan percaya diri di depan meja kasir toko sepeda itu. Tanpa menjawab, pemilik toko, seorang Tionghoa tua dengan kaos dalam putihnya, membimbing saya ke sisi belakang tokonya, menunjuk sebuah sepeda Wimcycle dengan warna serupa kemasan saset Good Day. Selongsong plastik nya telah aus dan berdebu, mungkin sudah bertahun-tahun sepeda itu di situ. Bukan, ia bukan tak laku, melainkan menunggu pemilik yang tepat. Sepeda itu seperti tersenyum kepada saya. “Berapa harganya?” tanya saya dengan pilihan yang sudah dijatuhkan. “Satu juta empat ratus lima puluh ribu,” jawabnya. Saya mengangguk. “Kunci rantainya sekalian?” Saya mengangguk lagi. “Tambah 25 ribu.”
Lima menit kemudian, dengan sepeda baru yang sangat nyaman, saya tiba di Warung Kopi Blandongan. Ketika merogoh saku mau membayar pesanan kopi, saya baru menyadari bahwa sepeda tadi saya beli dengan transaksi yang sangat mudah sekaligus sangat lugu. Tapi mau apa lagi? Saya sudah mendapatkan sepeda yang menyenangkan di bawah harga 1,5 juta. Di bawah persis, lebih tepatnya.
Dan memang tak perlu ada yang disesali. Sepeda itu dipuji oleh oleh tukang tambal ban tempat sepeda itu untuk pertama kali dibengkelkan. Sepeda itu dicegat seorang tukang foto kawinan ketika saya parkir di foodcourt UGM dan bilang bahwa suatu saat ia ingin menyewanya—“Sepeda klasiknya keren, Mas,” katanya. Lalu, satu setengah tahun kemudian, sepeda itu memberi saya Dawuk.
***
Sebelum saya menulis paragraf-paragraf terakhir ini, saya mengayuh sepeda itu, sepeda cappuccino yang kini semakin kusam warnanya setelah lewat lima tahun bersama saya, untuk kembali menyusuri jalan-jalan yang sudah saya ceritakan. Saya kehabisan minyak goreng dan gula, tapi terutama saya ingin tahu apakah kondisi jalan yang saya ceritakan di awal tulisan masih saya temukan atau tidak.
Dan, ya, saya masih menemukannya. Jalan kampung masih lengang. Klakson mobil absen. Sepeda motor masih satu-satu, meskipun jelas mulai sedikit lebih sering dan agak lebih banyak. Kios sayur tempat saya belanja juga masih tergolong lebih sepi. Tapi, sulit dimungkiri, tanda-tanda “pulih” itu semakin tampak. Jadi, saya tak akan kaget jika dua-tiga hari ke depan semua itu boleh jadi telah sama sekali menghilang.
Ketika Anda membaca kolom ini, hari sudah masuk sepertiga akhir Puasa. Lebaran semakin dekat. Yang lebih penting, ini juga bertepatan dengan waktu dua bulan sejak orang mulai meringkuk di rumah di pertengahan Maret karena pandemi. Kebosanan dan rasa benci tak melakukan apa-apa akan bertemu dengan rasa bersalah karena melepas banyak ritus “wajib” Puasa. Tak ada orang yang bisa mengerti makna “sabar” melebihi orang Indonesia, tapi kita jugalah yang mencipta idiom “sabar ada batasnya”. Ketika pemerintah, dengan satu dan lain cara, membongkar pasang peratusan yang dengan enggan mereka terapkan, masjid-masjid sudah mulai menaikkan suara ceramah Tarawihnya. Ketika kampus besar di Jogja menyelenggarakan seminar online bertema pasca-wabah di saat kurva masih menanjak, orang tak lagi punya cukup alasan untuk bertahan di rumah.
Saat orang ramai “mengambil hikmah” tentang “Bumi yang menyembuhkan diri” di saat pandemi (karena kera turun di jalan-jalan di Thailand, kambing gunung menguasai kota di Jepang, lumba-lumba muncul di kanal-kanal Venesia, dan—tentu saja—udara yang segar dan jalan yang lengang di pinggiran Jogja), itu sebenarnya mengingat saya dengan bagaimana kebanyakan kita mengartikan dan menjelaskan (dan mempercayai) puasa. Puasa membuat metabolisme tubuh kita yang bisa bekerja keras menjadi lebih santai, lambung diistirahatkan, darah dan organ-organ diremajakan, dst. dst. Itu kita yakini betul, dan saya kira memang betul. Tapi kita semua tahu, kita dengan mudah menghancurkannya begitu saja sejak kita mencicip kolak pisang pertama saat berbuka. Sebagaimana seringnya kita tak belajar dari puasa, saya kuatir kita juga tak akan banyak belajar dari wabah. Kira-kira, ketika semua ini berakhir, masih ada yang akan mengingat tentang lumba-lumba di Venesia? Jika orang bisa kalap saat berbuka, coba bayangkan betapa mengerikannya ketika kerakusan dan keserakahan yang dikekang berbulan-bulan ini akan membalas dendam.
Seperti tentang puasa dan wabah, orang kadang punya kalimat-kalimat rumit dan dalam tentang sepeda. Tapi, sekali lagi, saya dan sepeda-sepeda saya tak pernah terlalu rumit hubungan dan penjelasannya. Tak ada yang berat-berat di sana. Tidak nostalgis, apalagi ideologis. Saya hanya orang yang mungkin takut menyetir sepeda motor, dan sebuah sepeda membuat ketakutan itu sedikit terlihat keren. Jika ada gunung es di kutub yang mencair, dan hutan di Amazon dibabat Bolsonaro, saya mohon maaf jika saya dan sepeda saya tak bisa turut menyelamatkannya.
Sebelumnya ia mungkin memberi saya sebuah novel. Kali ini, di tengah pandemi, ia memberi saya dua kata, angin dan kumbang. Saya kira itu lebih dari cukup. Mau apa lagi? Ia hanya sepeda.
BACA JUGA Sebuah Kolom tentang Kolom (2) dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.