MOJOK.CO – Para teolog Muslim, menggambarkan kalam Tuhan sebagai kalam yang berada di luar waktu dan sejarah umat manusia.
Perbincangan tentang kalam Tuhan akan selalu menarik, dan tak ada habis-habisnya. Ini adalah seri terakhir tulisan saya yang membicarakan tentang kalam Tuhan. Bagian ini akan saya gunakan untuk mendiskusikan hubungan yang tak mudah dan rumit antara kalam ilahi dan sejarah manusia.
Para mutakallimun, teolog Muslim, menggambarkan kalam Tuhan sebagai kalam yang qadim dan azali, dalam pengertian: ia berada di luar waktu, di luar sejarah manusia.
Kalam ilahi bersifat supra-temporal. Kalam ini, sebelum masuk-menerobos sejarah manusia, juga bersifat “kalam nafsi,” kalam yang ada dalam diri Tuhan, dan tidak terbalut dalam “baju” bahasa manusia. Pertanyaannya: bagaimana kalam atau firman yang bersifat azali dan non-linguistik itu bisa turun ke bumi dan “menembus” sejarah manusia?
Salah satu isu yang menjadi perdebatan para ulama sejak dulu (sekarang sudah tak menjadi soal lagi; atau menjadi soal, tapi dalam bentuk yang lain!) adalah ini:
Bagaimana kita mau mendeskripsikan Qur’an yang dicetak dan ada di tangan kita saat ini? Apakah ia kalam ilahi yang bersifat azali dan qadim? Kalau ia kalam azali, kenapa hadir dalam bentuk lembaran kertas, mushaf, yang bisa disentuh manusia? Apa beda antara mushaf dan buku biasa yang juga berbentuk kertas?
Untuk itu, mari kita baca penjelasan al-Ghazali kembali: “Wa-anna-l-Qur’ana maqru’un bi-l-alsinati, maktubun fi-l-mashahifi, mahfudzun fi-l-qulubi, wa-annahu ma‘a dzalika qadimun.”
Saya terjemahkan dengan bebas sebagai berikut: Dan sesungguhnya Qur’an adalah kitab yang dibaca dengan perantaraan mulut, ditulis (=dicetak) di antara lembaran mushaf, dan dijaga (=dihafalkan) di dalam ingatan; en toch demikian Qur’an juga adalah kalam yang qadim (bersifat a-temporal).
Penjelasan ini mengandung “tegangan” (mungkin juga kontradiksi) antara yang bersifat azali dan hadits, antara yang bersifat ilahi dan insani. Ini adalah akidah Asy‘ariyyah yang penting, dan membutuhkan sedikit penjelasan lebih dalam.
Bagaimana memahami statemen ini: bahwa Qur’an memang dicetak di kertas, sama dengan buku-buku yang lain, tetapi ia tetap kalam Tuhan yang bersifat azali?
Akidah Asy‘ariyyah ini, bagi saya amat menarik, dan paling masuk akal di antara pendapat golongan-golongan lain, seperti kelompok Mu‘tazilah (penentang keras antropomorisme) atau Mujassimah (kaum antropomorfis).
Kelompok Mu‘tazilah berpandangan bahwa Qur’an yang tercetak adalah makhluk biasa, sesuatu yang temporal, bukan azali. Sementara kelompok Mujassimah berpandangan: Qur’an yang berbentuk kertas sekarang ini adalah kalam azali yang, katakan saja, sudah “mendaging” (=meng-kertas).
Dengan kata lain, mereka hanya mendeskripsikan Qur’an secara satu dimensi saja.
Kelompok Asy‘ariyyah mengambil “via media”, jalan tengah. Posisi akidah Asy‘ariyyah bisa diringkaskan demikian: Dilihat dari aspek manifestasi historisnya dalam sejarah manusia, Qur’an yang tercetak saat ini, tentu saja, adalah makhluk, karena ia berbentuk fisik: kertas.
Tetapi dilihat dari segi kalam azali yang termuat di dalamnya, ia adalah kalam Tuhan yang qadim, yang di luar waktu. Dengan demikian, dalam kalam ilahi yang sudah berbentuk buku ini, terdapat dua hal sekaligus: aspek kemakhlukan, dan aspek keilahian.
Mari sejenak kita renungi kembali hadis qudsi yang sangat populer di kalangan sufi itu:
“Kuntu kanzan makhfiyyan, fa-aradtu an u‘rafa, fa-khalaqtu-l-khalqa”; Aku (maksudnya: Tuhan) dulunya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku hendak diketahui, dan Aku ciptalah segala ciptaan. Hadis ini bisa membantu sedikit memahami posisi Qur’an yang sudah dicetak itu dalan akidah Asy‘ariyyah: apakah dia kalam ilahi yang azali, atau makhluk biasa seperti buku yang lain?
Tuhan, seperti ditegaskan dalam hadis qudsi di atas, dengan sengaja membiarkan rahasia-Nya yang agung terungkap kepada manusia, dengan cara ber-tajalli, menampakkan diri melalui tanda-tanda (al-ayat). Tuhan tidak hendak berada terus dalam faset “ahadiyyah” atau “kerahasiaan total”, sehingga tak diketahui oleh siapapun.
Dia ingin diketahui; Dia hendak bergeser ke faset berikutnya: faset “wahidiyyah,” bagai perawan yang hendak diketahui kejelitaannya, lalu keluar dari kamar pingitan.
Kalam Tuhan yang sudah hadir dalam sejarah manusia berupa mushaf yang tercetak itu adalah “tajalli” Tuhan dalam ruang dan waktu, dalam sejarah manusia. Kalam yang sudah ber-tajalli ini memiliki dua aspek sekaligus: azali dan hadits.
Gagasan tentang dualitas aspek dalam Qur’an inilah yang mencirikan akidah Asy‘ariyyah yang penting, dan, menurut saya, lebih menarik tinimbang penggambaran yang mono-dimensi saja seperti pada Mu‘tazilah dan Mujassimah.
Ketika hadir dan menerobos ruang sejarah manusia, dengan sendirinya Qur’an akan tunduk kepada tuntutan ruang dan waktu; misalnya: tuntutan untuk terbuka pada penafsiran yang beragam, karena pemahaman manusia, sebagai makhluk sejarah, sangat dibentuk oleh pengalaman yang berbeda-beda pula.
Di sini kita melihat, firman azali yang satu itu, begitu “menyejarah”, berubah menjadi kalam yang bisa dipahami dengan beragam perspektif.
Yang Satu ber-tajalli, dan menjadi banyak!
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.