MOJOK.CO – Kita layak mengingat kembali statemen al-Ghazali, “tak ada suatu yang lebih sempurna melebihi bentuk dunia yang ada saat ini.”
Ciri wujud yang menempati hierarki yang tinggi dalam tangga “maratib al-wujud” adalah kemampuannya untuk bertindak (al-fi‘l). Tindakan adalah konsekwensi wujud yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan berkehendak. Manusia adalah wujud yang demikian itu.
Tindakan biasanya lahir karena didahului oleh fase sebelumnya yang bersifat mental, dan karena itu tak tampak di luar: yaitu, pengetahuan (al-‘ilm) dan kehendak (al-iradah).
Tentu saja, binatang juga bisa bertindak, dan karena itu ia memiliki martabat wujud yang lebih tinggi dari, misalnya, tumbuh-tumbuhan atau bebatuan. Tetapi tindakan binatang secara kualiatif berbeda dari tindakan manusia.
Meskipun dilandasi oleh kehendak juga (mungkin kehendak dalam tingkatnya yang primitif, awal sekali), tindakan binatang jelas tidak dilandasi oleh pengetahuan. Sementara tindakan manusia didasari oleh kedua hal itu.
Dalam hal ini, tindakan manusia boleh dikatakan agak mirip dengan tindakan Tuhan. Sebab tindakan Tuhan juga berasaskan dua hal tersebut: al-iradah dan al-‘ilm.
Sekali lagi, menegaskan kembali apa yang sudah saya tulis sebelumnya, kemiripan semacam ini dimungkinkan karena memang ada “nafkhah ilahiyyah” (tiupan Tuhan) dalam penciptaan manusia. Karena itu, manusia kemudian semacam Imago Dei, citra-nya Tuhan – istilah yang biasa dipakai dalam teologi Kristen.
Hanya saja, dari segi derajat dan martabat, tindakan manusia tentu saja berbeda dan jauh berada di bawah derajat tindakan Tuhan. Tindakan manusia bersifat derivatif, dalam pengertian berasal dari, dan dilandaskan pada tindakan Tuhan. Tindakan Tuhanlah yang memungkinkan manusia bertindak. Tindakan Tuhan adalah syarat-kemungkinan (condition of possibility) bagi tindakan manusia.
Mari kita ikuti penjelasan al-Ghazali mengenai tindakan Tuhan ini:
“Wa-annahu subhanahu wa-ta‘ala la maujuda illa wahuwa haditsun bi-fi‘lihi, wa-fa’idlun min ‘adlihi, ‘ala ahsan al-wujuhi wa-akmaliha wa-atammiha wa a‘daliha… wa la-yutashawwaru al-zulmu mina-l-Lahi”—dan sungguh tak ada sesuatu yang maujud (ada) kecuali terjadi secara temporal (haditsun) melalui tindakan Tuhan, dan memancar dari keadilan-Nya, seturut dengan bentuk yang paling indah, sempurna, lengkap, dan adil; tak ada kezaliman dalam tindakan Tuhan.
Di sini kita berkenalan dengan gagasan yang amat penting dalam akidah Islam: keadilan dalam af’al atau tindakan Tuhan. Tindakan Tuhan adalah tindakan dalam bentuknya yang paling sempurna, paling adil.
Meskipun pada pemahaman manusia yang terbatas tampak ada tindakan Tuhan yang seolah-olah tak adil, bahkan jahat (seperti bencana yang menewaskan ratusan ribu nyawa), tetapi jika diselami lebih jauh, akan tampak keadilan Tuhan di sana.
Kita layak mengingat kembali statemen al-Ghazali: laisa fi-l-imkan abda‘u mimma kan; tak ada suatu yang lebih sempurna melebihi bentuk dunia yang ada saat ini—dengan segala penderitaan di dalamnya.
Lagi-lagi di sini kita berhadapan dengan “misteri agung” yang tak mudah dipahami kecuali oleh mereka yang diberikan “insight”, mata batin yang tajam oleh Tuhan. Inilah masalah “teodisi” yang memang akan terus menjadi teka-teki manusia hingga kapanpun.
Ujian terberat untuk memegang doktrin keadilan Tuhan ini adalah pada saat seseorang berhadapan dengan “situasi liminal”—penderitaan ekstrem yang melebihi kemampuan normal.
Menghadapi situasi ini (semoga Allah menjauhkan kita darinya!), sikap yang dianjurkan Islam, terutama dalam perspektif akidah Asy‘ariyyah, adalah menaruh kepercayaan yang tanpa syarat (un-conditional faith) terhadap keadilan Tuhan.
Iman yang tanpa syarat berarti: seseorang percaya total bahwa tindakan Tuhan, walau tampak “tidak fair” di permukaan, adalah adil jika dilihat dalam “the grand scheme of things”, gambar besar peristiwa.
Ketika menghadapi situasi liminal semacam ini, seseorang bisa memilih di antara dua alternatif ini: atau bersikap nihilistik total, atau menaruh kepercayaan total bahwa apapun yang terjadi adalah karena suatu “tujuan” baik. Yang terakhir itu adalah sikap iman yang tanpa syarat.
Sementara sikap yang nihilistik lain memandang hal ini secara berbeda: segala hal terjadi murni karena “chance,” kebetulan, “random,” seperti dadu yang dilempar ke papan permainan—tak ada tujuan, nihil hikmah.
Jika seseorang sedang tertimpa musibah, itu karena apes saja, karena ia sedang mendapatkan “undian” yang sial. Sikap nihilistik semacam ini menggambarkan “tawakkal yang negatif,” sementara sikap beriman “tawakkal yang positif.”
Anda, tentu saja, boleh memilih jalan yang nihilistik. Tetapi, jelas, itu bukan jalan seorang beriman.
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.