Saya ini lemah dalam navigasi. Untuk ingat satu rute, butuh menjalaninya puluhan kali. Kalau hanya beberapa kali, pasti tersesat. Namun, sejak ada Global Positioning System (GPS), saya tak pernah lagi merasa tersesat. Tersesat sih tetap, tapi merasa tersesat sudah nggak lagi.
Kadang saat asyik jalan atau buru-buru, nggak sempat lihat-lihat GPS, begitu lihat ternyata melenceng dari rute yang seharusnya. Itu namanya tersesat kan? Tapi, GPS nggak pernah bilang saya tersesat, melainkan langsung memberi jalan tercepat lagi sesuai di mana saya lewati.
Dari sana, saya jadi berpikir, berislam itu seharusnya begitu. Nggak perlu menyesat-nyesatkan orang lain, meskipun menurut kita seseorang tersesat. Tapi, langsung aja kasih solusi.
Sehingga, pertama, orang yang tersesat nggak tersinggung karena disesat-sesatkan. Sebab, kadang orang itu tak mau dinasihati bahwa dia tersesat hanya karena mukaddimah-nya adalah disesatkan dulu. Sehingga karena sudah nggak enak di awal dan kadung tersinggung, akhirnya nasehatnya justru tertolak.
Kedua, memberi solusi bisa jadi nasihat terbaik, bukan menghakimi.
Saya belajar dari para habib dan kiai di kampung yang memang bukan utamanya menghakimi, tapi fokusnya memberi solusi. Bahkan, mereka sering didatangi umatnya bukan untuk tanya hukum, karena besar kemungkinan mereka sudah tahu, melainkan mencari solusi.
Misalnya, seorang pemuda datang ke seorang habib dan bertanya, “Bib, gimana cara berhenti maksiat, karena nyatanya maksiat itu enak dan saya sulit sekali meninggalkannya?” Atau pemuda lain datang ke seorang kiai, “Kiai, biar bisa rajin salat dan khusyuk itu gimana?”
Saya makin sreg bahwa berislam itu memang seharusnya seperti GPS ketika membaca riwayat Abu Hurairah dalam shahih Bukhari-Muslim bahwa pernah ada seorang laki-laki datang menemui Nabi Muhammad lalu sontak berkata, “Celaka saya, wahai Nabi!” Lalu Nabi bertanya, “Emang kenapa?”
Orang itu menjawab, “Saya terlanjur bersetubuh dengan istri saya di siang hari di bulan Ramadan saat kami berpuasa.”
Kemudian Nabi bertanya kembali, “Apa kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai kafarat puasa yang kau tinggalkan dengan sengaja?”
Lelaki itu menjawab, “Tidak!” (Saya membayangkan, puasa sebulan aja jebol sehari, apalagi dua bulan) Lalu Nabi bertanya lagi, “Apakah kamu mampu memberi makan 60 orang miskin sebagai ganti puasa yang kau tinggalkan?”
Lelaki itu lagi-lagi menajwab, “Tidak!” Nabi lantas diam. Lalu ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi.
Kemudian Nabi berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?”
Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian Nabi mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya pada orang miskin.”
Lelaki itu menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.”
Maka Nabi tersenyum lalu berkata, “Kalau begitu, berikan kurma itu kepada keluargamu.” Maka denda puasanya pun lunas.
Sikap Nabi seperti GPS bukan?! Meski orang salah, tak disalah-salahkan lagi, langsung diberi solusi hingga benar-benar bisa menjalaninya.
Tapi kadang kita sudah kasih solusi, mereka tetap saja tak keluar dari ketersesatan atau terjebak dalam kemaksiatan lagi dan lagi. Untuk mereka, bukankah dalam Al-Quran (QS. Al-‘Ashr: 3), kebenaran itu digandeng dengan kesabaran?
Nabi Nuh saja, menurut Ibnu Katsir dengan mengutip pendapat Qatadah, berdakwah selama 300 tahun (bahkan pendapat lain menyebut masa dakwahnya 950 tahun, yakni seumur hidup) dengan followers hanya 80 orang saja menurut riwayat Ibnu Abbas.
Kalau di Twitter atau Instagram, maka jelas itu akunnya takkan centang biru. Makanya saya malu untuk tak sabar dalam dakwah, karena baru beberapa bulan saja di Tiktok, followers sudah ratusan ribu. Sebab, sabar tak ada batasnya, sebagaimana Nabi Nuh. Kalau ada yang bilang bahwa sabar ada batasnya, maka batasnya adalah tidak sabar.
Itu baru dari segi kuantitas. Dari segi kualitas, belajarlah kesabaran pada Nabi Muhammad yang pernah dicaci (dengan tuduhan tukang sihir, mandul, dan lain-lain), dilempar kotoran dan batu hingga luka, dan berbagai ujian dari musuhnya.
Namun Nabi selalu membalas dengan doa sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim: “Aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka (orang Thaif yang mencaci dan melempar batu ke Nabi) orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.”
Lagi pula, seberapa sesat atau bermaksiat sih mereka sehingga harus tak sabar menghadapinya dan berlaku kasar?
Bukankah pada Fir’aun yang bukan hanya menentang Tuhan, tapi mengaku Tuhan sekalipun, Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan oleh Allah untuk berdakwah dengan lembut?
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44).
Lagipula, andai mereka benar-benar tak keluar dari jurang kesesatan dan kemaksiatan, bukankah mereka tetap punya hak untuk hidup dengan tenang? Bukankah orang ateis sekalipun tetap Tuhan kasih kehidupan dan rezeki? Lagipula, siapa yang tahu akhir hidup dari orang-orang itu, tetap sesat atau jangan-jangan mendapat hidayah?
Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi pernah bersabda:
“Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya lalu dia beramal dengan amalan ahli neraka, lantas ia memasukinya.
Dan sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, lantas ia memasukinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Plus juga, jika kita sudah lelah berdakwah dengan kata-kata pada mereka, lalu memilih memaki atau bersikap kasar, bukankah mereka justru akan semakin merasa kita yang justru salah dengan sikap kita yang buruk? Bukankah dakwah bukan hanya dengan lisan, tapi juga sikap yang baik sehingga suatu saat mereka akan sadar?
Dan akhirnya, kalau dengan dakwah lisan dan teladan tetap mereka memilih untuk tersesat, bukankah Allah telah tegaskan bahwa hidayah itu hak preogratif Allah yang haram kita membajaknya, sehingga kata Allah siapa saja yang memilih untuk tetap ingkar dari hidayah meski telah maksimal didakwahi, biarlah mereka ingkar dan urusannya dengan Allah saja?
Kita ini memang harus sering-sering merenung dan menyadari jobdesk kita dalam urusan dakwah mendakwahi ini.
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap hari.