Saya hidup pada masa di mana dakwah sedang ada dua arus, khususnya di kalangan anak muda muslim.
Arus pertama, anak muda muslim yang sekuler, baik sadar maupun tak sadar. Yang sadar dan terdaftar, misalnya yang dikelola Aliansi Ateis Internasional mencatat 1757 orang Indonesia yang 56,7 % adalah muslim mengaku sudah ateis, agnostik, sekuler, dan sejenisnya.
Tentu, yang tak terdaftar bisa berkali-kali lipat. Belum lagi yang tak sadar, yang muslim sih tapi sudah tak menjalankan ritual Islam, bahkan tak salat sekalipun. Ritual Islam dianggap tak rasional.
Sebagian lain menganggap tak ada manfaat dari ritual karena sebagian muslim taat ritual tapi menebar kebencian, kekerasan, dan lain-lain. Mereka kecewa pada agama yang seharusnya jadi biang kedamaian, justru jadi penyebab chaos dan teror.
Dr. Haidar Bagir beberapa tahun lalu menulis buku berjudul Buat Apa Shalat?! Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan Kebahagiaan dan Ketenangan Hidup yang di pengantarnya ditulis motifnya menulis buku itu di antaranya karena mendapati sekelompok muslim yang biasa menyebut diri mereka liberal dan mulai kehilangan pandangan tentang signifikansi salat hingga mempromosikan semacam fideisme, yakni berislam secara “rasional” tanpa ritual.
Arus kedua yang tampaknya berseberangan, mereka yang menyebut diri sebagai orang-orang yang berhijrah.
Mereka menjadi sangat taat dalam menjalankan ritual Islam hingga sebagian masjid dipenuhi jamaah bahkan dalam salat subuh sekalipun. Mereka menghiasi dirinya dengan atribusi yang dinilai islami seperti baju gamis, produk-produk yang disebut syar’i, dan lain-lain yang serba-syariah—dalam penafsiran mereka.
Namun, sebagian mereka (tentunya bukan semua) terjebak dalam ritualitas semata, atribusi saja, dan kedangkalan-kedangkalan dalam berislam lainnya.
Dalam pandangan saya, kedua arus ini punya problemnya masing-masing. Tantangannya adalah bagaimana mendakwahi keduanya?
Tantangan itu semakin besar dan kompleks karena terpolarisasinya sebagian besar keduanya dan saling klaim serta tuding: yang rasional menganggap yang hijrah dangkal, yang hijrah menganggap yang rasional itu lebay.
Maka, satu formulasi dakwah yang difokuskan pada satu di antara keduanya berisiko ditolak atau minimal tak efektif untuk yang salah satunya.
Padahal, moderat itu dalam bahasa Al-Quran adalah washatiyah. Washatiyah itu gampangnya “wasit”. Wasit itu di tengah. Artinya, ia memang masih harus berpihak pada yang benar, tapi tak boleh condong pada salah satu.
Mendakwahkan Islam secara rasional agar diterima kelompok rasional riskan membuat yang hijrah menilai dakwah kita bukan untuk mereka atau bahkan sudah bukan dakwah lagi tapi lebay juga karena sok rasional padahal agama itu bukan utamanya rasionalitas bagi mereka tapi ketaatan penuh.
Fokus dalam dakwah bagi kalangan hijrah akan tak memukau dilihat oleh kelompok yang rasional sehingga tak diterima mereka.
Sampai di sini, saya merasakan betul kompleksnya tantangan dakwah Kanjeng Nabi Muhammad yang harus menghadapi Salman Al-Farisi yang sangat rasional dan Bilal bin Rabah yang sangat emosional. Namun, di sanalah justru letak solusinya, yakni belajar pada Kanjeng Nabi yang sukses merangkul Salman dan Bilal sekaligus.
Maka, saya memilih mempromosikan “Islam Cinta”.
Islam Cinta adalah formulasi dakwah Islam yang menekankan spiritualitas Islam yang berpusat pada “Cinta”. Memang, kata Sayyidina Ja’far As-Shadiq, cicit Nabi Saw, “Apalagi Islam kalau bukan Cinta?”
Artinya, utamanya Islam itu memang Cinta. Cinta itulah yang kemudian menjadi fokus berislam pada sufi.
Dengan Cinta, aspek terdalam Islam mengemuka, yakni spiritualitas, bukan hanya ritualitas. Ritualitas penting dan sampai kapanpun tak boleh ditinggalkan (taka da tarekat tanpa syariat, kata hampir seluruh sufi), tapi ia utamanya untuk menggapai spiritualitas.
Salat misalnya, bukan hanya soal kewajiban hamba pada Tuhannya, melainkan mi’raj-nya hamba secara batin pada Tuhannya. Salat adalah momentum “pertemuan” dan “dialog” hamba dan Tuhannya.
Pada titik ini, dakwah Islam Cinta tepat dan efektif ke problem utama kalangan hijrah, yakni mengajak mereka terus hijrah, bukan hanya menuju kecakapan ritual, tapi terus sampai spiritual.
Namun, pada aspek yang lain, spiritualias Islam yang digarap oleh para sufi itu tak kurang kadar filosofisnya. Para sufi yang puncaknya adalah Ibn ‘Arabi disebut “sufi falsafi” karena penjelasannya tentang spiritualitas Islam yang sangat rasional hingga memukau pengkaji filsafat di Barat seperti William C. Chittick.
Begitu filosofisnya Ibn ‘Arabi hingga dalam pertemuannya dengan Ibn Rusyd, salah satu filosof terbesar dalam Islam dan paling rasional, ia memukau Ibn Rusyd hingga Sang Filsuf begitu memuliakan dan mengakui Sang Sufi.
Bahkan, justru Sang Filsuf yang dikritik dan dibuat berpikir dengan isyarat Sang Sufi bahwa bagaimanapun akal memiliki batas.
Begitu pula sufi lain yang sekaligus penyair, Jalaluddin Rumi yang juga memukau Chittick, Annemarie Schimmel, David Fideler (doktor filsafat dan sejarah sains) dan orang-orang di Barat hingga para artis.
Schimmel dalam The Triumphal Sun: A Study of The Works of Jalaluddin Rumi (1980) menyebut Rumi sebagai pembimbing siapa pun yang merasa terasing dengan dirinya sendiri dan penyingkap rahasia terbesar dari cinta.
Adapun Fideler yang menggauli karya-karya Rumi seperti para penyelam menggauli lautan, menyebut puisi-puisi Rumi yang diliputi rasa cinta terhadap Tuhan dapat menghentikan waktu di sekeliling pembacanya, membawanya seakan-akan telah keluar dari dirinya, dan meninggalkan sifat keduniawian.
Adapun dari kalangan artis, Eyonce Giselle Knowles dan Shawan Corey Carter, pasangan penyanyi sekaligus artis Amerika Serikat yang pada 2017 dikaruniai dua orang anak kembar, dinamainya salah satunya Rumi Carter dan saat diwawancarai oleh Elliot Wilson dan Brian Miller, mereka menjelaskan bahwa, “Rumi adalah penyair favorit kami, jadi (nama) itu kami ambil untuk putri kami.”
Sedangkan Sir, diambil dari diksi puisi Rumi favorit mereka: “Bring the pure wine of love and freedom. But Sir, a tornado is coming.”
Bahkan banyak puisi-puisi Rumi yang kemudian dijadikan lagu dan dinyanyikan oleh beberapa artis top Amerika Serikat seperti Madonna, Goldie Hawn, dan Demi Moore, serta artis Eropa seperti Chris Martin, personel grup band Coldplay yang sangat terinspirasi oleh puisi-puisi Rumi.
Nah, pada titik itulah dakwah Islam Cinta membidik arus anak muda muslim rasional dengan corak Islam yang tak kurang rasional hingga memukau para filosof hingga artis, namun justru sangat spiritualis.
Oleh karena itu, dakwah Islam Cinta adalah pilihan saya dalam dakwah bagi kaum milenial dengan dua arus utama tersebut. Satu formula, yakni Islam Cinta, mampu menjadi jawaban bagi dua arus sekaligus yang bahkan sudah terlanjur terpolarisasi.
Begitulah Cinta, ia punya kekuatan yang melampaui segalanya, “menyihir” siapa saja.
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap hari.