KKN Sudah Usang. Tidak Mendapat Pengalaman, Tidak Juga Membangun Desa, Mending Diganti Magang

Nasib Introvert KKN di Desa Sendiri, Malah Merasa Paling Asing Karena Selama Ini Kurang Srawung.MOJOK.CO

Ilustrasi Nasib Introvert KKN di Desa Sendiri, Malah Merasa Paling Asing Karena Selama Ini Kurang Srawung (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COWarga tidak puas dengan KKN. Mahasiswa bingung menerapkan ilmunya. Semata-mata hanya demi pemenuhan kewajiban belajar. Mending diganti magang saja.

Serombongan pemuda harapan bangsa berbaris dengan penuh semangat. Mereka nampak mempesona berbalut jas almamater. Dengan riang mereka menjelaskan belasan halaman presentasi. Para pemirsa duduk sambil sesekali menguap. Kadang sibuk sendiri dengan gawai atau rasan-rasan. Antusiasme para pemuda tadi tidak meluap sampai pada para pemirsa. Terhalang dinding tak kasat mata yang menjegal manfaat.

Kira-kira seperti ini situasi KKN. Gambaran yang mendasari polemik tentang program kampus warisan Orba ini. Warga desa menilai para mahasiswa tidak membawa manfaat. Sedangkan mahasiswa menilai warga desa tidak merespons baik kehadiran mereka. Tidak pula memperoleh pengalaman sebagai bekal mereka setelah wisuda.

Polemik ini hanya berpusar pada siapa yang salah. Padahal program KKN sendiri yang sudah usang. KKN memang sulit memberi manfaat nyata. Tidak pula memberi pengalaman tepat bagi peserta. Jadi, kenapa program ini dipertahankan? Sampai harus mengorbankan warga dan mahasiswa dalam perdebatan tanpa muara?

Ekspektasi besar ditumbuk realitas

Saya penasaran, sejak kapan KKN harus membangun desa? Mau tidak mau saya harus bertanya pada mereka yang KKN di dua-tiga dekade silam. Tepatnya saat program ini masih dipuja-puja banyak orang. Mendengar kisah mereka, saya cuma manggut-manggut sambil bergumam “pantesan”.

KKN di masa Orba memang monumental. Programnya padat karya dan padat dana. Sebagai contoh adalah program utama saat ibu saya KKN. Program unit beliau adalah membangun jembatan. Bukan jembatan seadanya, tapi jembatan permanen dengan cor beton. Untuk pelaksanaan program ini, tentara dilibatkan bersama masyarakat. Donatur program ibu saya juga tidak main-main.

Unit lain yang KKN berbarengan dengan ibu saya membuat saluran irigasi. Ada juga yang melakukan pengerasan jalan. Menurut ibu saya, program semacam itu memang lumrah. Mahasiswa tinggal melaksanakan program yang sebenarnya sudah dicanangkan. Mereka hadir sebagai perencana serta pengawas proyek.

Pantas saja kegiatan ini punya stigma “membangun desa.” Karena memang mula-mula memang jadi perpanjangan tangan pembangunan daerah. Ekspektasi besar ini terbawa sampai sekarang, ketika KKN dilakukan secara mandiri. Akhirnya, ya terkesan tidak membangun. Dan memang tidak akan bisa membangun apapun.

Baca halaman selanjutnya: Sudah saatnya kampus mengganti KKN dengan magang saja!

Membangun desa bukan ajang uji coba

Tanpa harus berdebat panjang, logika KKN untuk membangun desa ini sudah patah bawah. Selain karena dilaksanakan mandiri, aktivitas memang tidak jadi bagian program pembangunan desa dari pemerintah. Tugas dari kampus ini tidak memiliki instrumen yang cukup untuk membangun desa.

Urusan pembangunan desa bukan barang sederhana. Tidak bisa terus menerus trial and error. Apalagi tanpa mengkaji lebih dalam kebutuhan desa dengan pembangunan yang dilakukan. Urusan ini juga seharusnya jadi kewenangan pemerintah.

Oleh sebab itu sering terjadi beda pandangan antara warga dengan mahasiswa peserta. Warga berharap adanya pembangunan infrastruktur. KKN menawarkan implementasi sistem manajemen desa, dan seringkali berbasis digital. Ya wajar saja aktivitas ini dipandang tidak memuaskan. Sedangkan mahasiswa merasa tidak dapat berbuat banyak di desa. Paling aman kalau bukan plangisasi ya membuat lomba 17-an. Karena itu saja yang bisa dilakukan.

Perbedaan kebutuhan desa dan kemampuan KKN seharusnya tidak perlu terjadi. Tapi ketika dipaksakan sebagai pemenuhan SKS, perbedaan ini dibiarkan jadi polemik. Bukan hanya tidak memuaskan warga desa, namun juga mahasiswa. Karena para mahasiswa peserta juga sedang terjebak.

Mahasiswa KKN terjebak jas almamater

Jangan dikira mahasiswa dalam posisi nyaman di program KKN ini. Mereka juga sama-sama terjebak dalam situasi ruwet karena sistem yang usang. Apalagi untuk mahasiswa yang harus membiayai sendiri program mereka. Jas Almamater akhirnya menjadi sekat yang menambah masalah.

Banyak mahasiswa yang kesulitan membawa program bermanfaat bagi desa. Selain perkara kebutuhan, jurusan kuliah juga membatasi karya mereka. Tuntutan untuk bekerja nyata sesuai keilmuan sering berbenturan dengan ekspektasi warga.

Misal Anda kuliah di jurusan Sastra Prancis. Kira-kira program apa yang bisa Anda tawarkan pada desa yang masih punya isu perkara wajib belajar? Memberi les Bahasa Prancis? Anda saja tidak dibekali basis ilmu mengajar. Siapa juga yang membutuhkan les Bahasa Prancis, ketika pendidikan dasar saja belum terpenuhi? Akhirnya program yang dilakukan pasti di luar jurusan.

Program yang kelewat ketat akhirnya menjadi masalah. Diperparah dengan tidak adanya riset mendalam tentang situasi dan kebutuhan desa tujuan. Warga desa belum butuh program tersebut, tapi mahasiswa peserta harus melakukan.

Padahal para mahasiswa ini sedang didesak untuk mengumpulkan pengalaman. Terutama agar siap jadi roda gigi penggerak industri. KKN tidak memberi pengalaman yang cukup bagi mereka. Akhirnya, seperti biasa, kegiatan ini dilaksanakan hanya sebagai syarat lulus semata. Tanpa ada semangat ataupun harapan mendapat pengalaman.

Waktunya berpikir lebih cerdas daripada sekadar KKN

Akhirnya kita harus kembali menilik apa tujuan KKN. Merangkum dari berbagai universitas, saya menemukan beberapa poin. Pertama adalah menghubungkan pendidikan tinggi dengan kebutuhan masyarakat. Berikutnya adalah mendorong pemberdayaan masyarakat. Lalu untuk memberikan ruang adaptasi bagi mahasiswa dalam kehidupan masyarakat. Terakhir adalah menumbuhkan rasa empati mahasiswa pada kondisi masyarakat.

Apakah rangkuman poin di atas dijawab oleh KKN? Jika iya, sudah pasti polemik ini tidak akan muncul. Pelaksanaan yang terkungkung dalam mindset perguruan tinggi memunculkan dinding tak kasat mata. Menghalangi pertemuan organik antara mahasiswa dengan masyarakat.

Nama KKN sendiri terlanjur disemati stigma yang keliru. Maka suka tidak suka, perlu diberangus. Model program baru perlu diwujudkan untuk menjawab poin di atas. Sembari melepaskan mahasiswa dari tuntutan tidak masuk akal dari stigma KKN  selama ini. Saya yakin, para civitas academica masing-masing universitas bisa menemukan solusinya. Masak harus saya juga yang mencari solusi?

Tapi jika masih dipertahankan, maka gambaran di paragraf pertama akan terus ada. Warga tidak puas dengan KKN. Mahasiswa bingung menerapkan ilmunya. Mereka terpisah oleh sekat yang mempersempit gerak. Semata-mata hanya demi pemenuhan kewajiban belajar.

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Warga Desa Sebenarnya Muak dengan Mahasiswa KKN: Nggak Bantu Atasi Masalah Desa, Cuma Bisa bikin Les dan Acara 17 Agustusan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version